Tahun 2004 yang lalu, Majelis Ulama Indonesia pernah mengkampanyekan Gerakan Kembali ke Rumah. Seruan ini ditujukan untuk penyadaran kaum perempuan dalam peran utama mereka yakni sebagai ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Sayang, gaungnya tenggelam oleh jargon yang didengungkan para aktivis perempuan.
Kesadaran akan pentingnya tugas-tugas ibu yang tak tergantikan oleh siapapun ini, bahkan sudah menjadi trend di negara maju sejak lama. Di Amerika (yang sering menjadi barometer penggiat Feminisme), gerakan keluar rumah mulai ditinggalkan oleh kaum perempuan. Mereka berbondong-bondong memutuskan back to family. Berawal dari meluasnya sindrom Cinderella Complex, yakni perasaan akan kegamangan sebagai “public woman”, bermunculanlah organisasi-organisasi yang mendukung kembalinya kaum ibu kepada tugas domestik, sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik utama anak-anak. Tak heran jika angka statistic partisipasi perempuan dalam karier di ranah publik terus menurun (USA Today, 10/05/1991).
Terabaikannya peran ibu sebagai pelahir generasi dan pendidik utama anak-anak, telah melahirkan sisi-sisi kelam dunia anak. Memang, terabaikannya peran ibu bukanlah “penyebab” tunggal, karena ada faktor sistemik seperti lingkungan dan negara yang berpengaruh. Namun fakta membuktikan, banyak anak-anak “gagal” lahir dari sebuah rumah tangga dimana tidak ada figur sentral sebagai pendidik. Islam telah menuntun tugas domestik seorang ibu tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Dia tidak dapat dinilai dengan materi, namun Allah akan menggantinya dengan pahala dan surga. Fatimah, seorang putri Rasulullah yang mulia saja harus bersusah payah dalam mengurus rumah tangganya.
Selain itu ibu yang sadar akan perannya juga terlibat dengan aktivitas politik berdasarkan aqidah Islam, sebagaimana firman Allah : “Haruslah ada segolongan umat diantara kalian yang menyeru kepada kebaikan (islam), menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali imran : 103). Dengan aktivitas politik inilah seorang ibu dapat menyuarakan Islam untuk mengoreksi penguasa yang lalai dengan hukum-hukum Allah dan dapat berpengaruh pada generasi dambaan umat. Karena kesadaran politik Islam artinya memahami dan menyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (Politik) harus diatur dengan syariat Islam. Selain itu seorang ibu yang tergabung dengan aktivitas politik, dapat melakukan pembinaan terhadap kader-kader politik perempuan dalam partai Islam dan membina kesadaran politik perempuan di luar partai.
Dengan demikian para perempuan terutama kaum ibu, hendaknya memahami betul peran dan tanggung jawabnya sebagai muslimah sholihah, sebagai seorang isteri, ibu dan anggota masyarakat. Saat semuanya dilakukan dalam tataran pemeliharaan urusan umat dan diatur dengan syariat Islam maka telah terwujud aktivitas politik perempuan. Sehingga tidak akan terjadi jurang pemisah antara peran handal seorang ibu dan keterlibatannya diaktivitas politik Islam. Karena peran handal seorang ibu berarti juga beraktivitas politik.
Maka tidaklah pantas kita sebagai perempuan malu dan merasa tidak bisa mengaktualisasikan diri bila hanya berkutat di sektor domestik atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Dari sebuah rumahlah, generasi-generasi Islam akan muncul. Kokohnya sebuah negara berasal dari kokohnya bangunan keluarga. Sebagai muslimah yang beriman, siapa lagi panutan kita kalau tidak Rasulullah dan keluarganya?. Wallahu’alam bi Showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar