Pengantar
Islam tidak hanya mengajarkan fikrah (konsep) yang berisi hukum-hukum dan solusi-solusi bagi manusia dalam menggapai kehidupan bahagia, tetapi juga tharîqah (metode) untuk mewujudkannya, yaitu tegaknya Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruh dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Al-Khalidi, Qawâ’id Zidzâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 230).
Seluruh ulama kaum Muslim, baik para imam mazhab maupun para mujtahid besar, tanpa kecuali telah bersepakat bulat atas kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, melainkan juga kalangan Syiah, termasuk Khawarij dan Muktazilah. Kalaupun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tertolak, karena bertentangan dengan nash-nash syariah yang sharîh (jelas), bukan semata-mata bertentangan dengan pendapat manyoritas ulama kaum Muslim.
Pertanyaannya sekarang: apa bentuk sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang hanya ada satu di seluruh dunia tersebut, kesatuan atau federasi? Telaah kitab Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam kali ini akan membahas pasal 16 tentang bentuk sistem pemerintahan Islam, yang berbunyi: “Sistem pemerintahan adalah sistem kesatuan dan bukan sistem federasi.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 89).
Kesatuan, Bukan Federasi
Federasi berasal dari bahasa Belanda “federatie”, atau dari bahasa Latin “foeduratio” yang artinya “perjanjian”. Dalam pengertian modern, federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan saat beberapa negara bagian bekerjasama dan membentuk negara federal. Masing-masing negara bagian memiliki beberapa otonomi khusus, sementara pemerintahan pusat mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional. Dalam sistem pemerintahan federasi setiap negara bagian memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahannya dengan cukup bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/federasi).
Dengan kata lain, dalam sistem pemerintahan federasi kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah bagian terkait bidang-bidang tertentu saling bebas satu sama lain. Misalnya, dalam hubungan luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama sekali bebas dari campur tangan pemerintah negara bagian. Begitu juga soal kebudayaan, kesehatan, dan sebagainya pemerintah negara bagian biasanya bebas tanpa ada campur tangan dari pemerintah federal.
Sebaliknya, negara dalam Islam adalah Khilafah. Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim seluruh dunia. Khilafah bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dunia (global state); kaum Muslim di seluruh dunia hanya memiliki satu negara. Pemerintahan (al-hukm) dalam Islam bersifat sentralisasi atau terpusat. Artinya, pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum-hukum hanya berada di tangan orang yang telah diamanati oleh rakyat, yaitu Khalifah dan orang-orang yang mewakilinya. Begitu juga dengan keuangannya. Semua wilayah berada dalam satu sistem keuangan dan satu APBN untuk kepentingan seluruh rakyat tanpa melihat wilayah; apakah wilayahnya kaya atau miskin. Semua wilayah mendapatkan pendanaan sesuai kebutuhan sekalipun wilayah yang tidak memiliki pendapatan sama sekali (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 14). Dengan demikian, bentuk sistem pemerintahan Islam adalah kesatuan, bukan federasi.
Dalil Kesatuan Khilafah
Pertama: as-Sunnah. Abdullah bin Amr bin Ash ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu kepadanya ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sekuat kemampuannya. Kemudian, jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang lain tersebut! (HR Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa setelah seorang pemimpin (imam) dibaiat, maka kaum Muslim wajib menaati dia, dan tidak boleh membiarkan adanya pemimpin yang lain. Abu Said al-Khudri ra. Juga mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا
Jika dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya! (HR Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa kaum Muslim tidak boleh memiliki lebih dari seorang pemimpin di seluruh dunia.
Semua ini menunjukkan keharaman memecah kesatuan umat ke dalam dua pemerintahan atau lebih. Artinya, haram menjadikan negara Islam terdiri dari beberapa negara, melainkan wajib hanya satu negara. Jadi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, bukan federasi. Bahkan Islam mengharamkan dengan tegas sistem selain sistem kesatuan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 90).
Kedua: Ijmak Sahabat. Setelah Rasulullah saw. wafat, para Sahabat berkumpul di Syaqifah Bani Saidah untuk mengangkat pengganti Nabi saw. dalam memimpin negara. Waktu itu hampir terjadi gerakan separatisme oleh kaum Anshar ketika Hubab bin Mundzir ra. menuntut agar kaum Muslim memiliki dua orang pemimpin, untuk kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Menanggapi tuntutan ini, Abu Bakar ra. mengatakan, “Tidak dihalalkan kaum Muslim memiliki dua orang pemimpin. Betapapun baiknya hal itu, tetap saja urusan dan hukum-hukum mereka akan mengalami perselisihan, jamaah mereka akan dihantui perpecahan, dan mereka akan saling memperebutkan kekuasaan. Saat itulah sunnah akan ditinggalkan, bid’ah bermunculan, fitnah membesar, sementara tidak ada seorang pun yang bisa memperbaikinya.” (HR Baihaqi).
Abu Bakar ra. ini dengan tegas melarang kaum Muslim dipimpin oleh lebih dari satu orang. Ini menjadi dalil bagi kesatuan pemerintah Islam. Sebab, pernyataan Abu Bakar itu didengar oleh para Sahabat, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. (Al-Khalidi, Qawâ’id Zidzâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 316).
Pendapat Para Ulama
Berikut ini adalah perkataan beberapa ulama mengenai kewajiban dalam hal kesatuan pemerintahan bagi kaum Muslim:
1. Apabila dilakukan akad penyerahan imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda, maka akad imamah keduanya tidak sah, sebab umat tidak boleh memiliki dua orang imam dalam satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyeleneh yang membolehkan hal itu (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilâyât ad-Diniyyah, hlm. 9).
2. Tidak boleh bagi kaum Muslim dalam waktu yang bersamaan di seluruh dunia memiliki dua orang imam, baik keduanya sepakat maupun bermusuhan (Asy-Sya’rani, Al-Mîzan al-Kubra, II/153).
3. Para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh dilakukan akad kepada dua orang khalifah pada masa yang sama, baik wilayah Darul Islam itu luas atau tidak (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, XII/182).
4. Tidak boleh akad imamah kepada dua orang imam atau lebih, sekalipun di wilayah-wilayah yang saling berjauhan, sebab hal itu akan menimbulkan perbedaan pendapat dan pecahnya persatuan (Al-Khathib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtâj ila Ma’rifah Ma’ân al-Minhâj, IV/162).
5. Tidak dihalalkan adanya imam di seluruh dunia kecuali hanya satu, dan urusannya dipegang oleh orang yang pertama kali dibaiat (Ibnu Hazm, Al-Muhallaa bi al-Atsar, VIII/422).
Demikianlah, bahwa kewajiban bersatu dalam satu pemerintahan serta keharaman menyerahkan imamah kepada dua orang atau lebih merupakan pendapat mayoritas ulama yang diperhitungkan oleh umat. Bahkan sebagian dari mereka menganggap masalah ini sebagai ijmak. Karena itu, tidak ada yang menyangkal kewajiban ini kecuali segelintir kelompok marginal yang tidak populer.
Menjawab Syubhat
Sekalipun mayoritas ulama telah mengharamkan akad imamah kepada dua orang atau lebih, ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa baiat atas dua orang imam itu dibolehkan. Di antara mereka, yang paling banyak dikutip—khususnya oleh mereka yang tidak menginginkan tegaknya Khilafah sebagai negara dunia (global state)—adalah pendapat Imam al-Haramain al-Juwaini.
Dalam hal ini, Imam al-Haramain al-Juwaini berkata:
Adapun masalah yang menjadi perdebatan di antara berbagai mazhab adalah kondisi saat pengawasan imam tidak mampu lagi menjangkau seluruh wilayah kekuasaannya. Itu bisa terjadi karena beberapa sebab yang tidak samar lagi, di antaranya adalah perluasan wilayah dan penyebaran Islam ke berbagai negeri yang berbeda hingga sampai ke daratan yang ada di seberang lautan, atau terdapat suatu kaum yang hidup di tempat terpencil yang tidak terjangkau oleh pengawasan imam, atau kadang terdapat juga wilayah Islam yang dipisahkan oleh darul kufur sehingga pengawasan imam terhalang untuk sampai kepada kaum Muslim yang ada di belakang darul kufur itu. Jika apa yang kami sebutkan itu telah terbukti kuat, maka sebagian membolehkan adanya pengangkatan imam bagi negeri yang tidak terjangkau oleh pengawasan imam tersebut (Imam al-Haramain, Ghiyâts al-Umam fi Tiyâts adz-Dzulam, tahqiq: Dr. Musthofa Hilmi dan Dr. Fuad Abdul Mun’im, hlm. 128).
Dari perkataan Imam al-Haramain al-Juwaini ini jelas bahwa pada asalnya kesatuan pemerintahan itu wajib. Adapun kebolehan lebih dari satu pemimpin ini dibenarkan ketika ada kondisi darurat yang menghalangi penyatuan tersebut. Hal itu dilakukan agar kemaslahatan umat dan hukum-hukum syariah tidak terlantar karena tidak adanya pemerintah.
Artinya, kebolehan banyak imam itu sekadar pengecualian akibat adanya kondisi darurat. Namun, keadaan darurat itu hanya diberlakukan sebatas kadarnya. Jika keadaan darurat tersebut telah hilang, maka hilang pulalah hukumnya, dan masalahnya harus dikembalikan ke hukum asalnya. Dalam hal ini, kaidah fikih menyatakan:
مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ
Sesuatu yang boleh karena adanya suatu uzur (kondisi darurat), maka kebolehannya menjadi batal dengan hilangnya uzur (kondisi darurat) tersebut (Al-Luhji, خdhâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, hlm. 44).
Dengan demikian, sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, bukan federasi. Kaum Muslim di seluruh dunia wajib bersatu di bawah satu pemerintahan dan haram mengangkat dua imam atau lebih. Bahkan dengan kesatuan inilah umat Islam telah mengalami zaman keemasannya, meraih reputasi sebagai umat yang solid dan tak terkalahkan. Semoga Allah SWT menganugerahkan kesatuan itu kembali melalui Negara Khilafah yang akan segera tegak kembali melalui pertolongan-Nya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/federasi.
Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said, Al-Muhallaa bi al-Atsar (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2003.
Al-Juwaini, Imam al-Haramain, Ghiyâts al-Umam fi Tiyâts adz-Dzulam, tahqiq: Dr. Musthofa Hilmi dan Dr. Fuad Abdul Mun’im (Dar ad-Da’wah), tanpa tahun.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm (Beirut: Maktabah al-Muhtashib), Cetakan II, 1983.
Al-Khathib Asy-Syarbini, Muhammad bin Ahmad Syamsuddin, Mughni al-Muhtâj ila Ma’rifah Ma’ân al-Minhâj (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 2000.
Al-Luhji, Syaikh Abdullah bin Said Muhammad Ubbadi, خdhâh al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, (tanpa penerbit), Cetakan III, 1410.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Muhyiddin, Syarh Shahih Muslim, (Beirut: Darul Fikr), 1995.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilâyât ad-Diniyyah (Beirut: Darul Fikr), 1960.
Asy-Sya’rani, Abu al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari asy-Syafii, Al-Mîzan al-Kubra (Beirut: Darul Fikr), tanpa tahun.
Sumber :
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/03/02/khilafah-negara-kesatuan/
__________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar