Rabu, 06 September 2023

Spirit Haji Menuju Ketaatan Hakiki

 Oleh: Nurwana Sari Hamzah, S.Farm., Apt

Umat islam telah selesai menunaikan serangkaian ibadah haji dan perayaan Idul Adha di bulan Dzulhijjah. Pada bulan ini menjadi salah satu bulan haram yang ditetapkan oleh Allah SWT, memiliki banyak keistimewaan, keutamaan serta sarat akan hikmah. Disebut bulan yang istimewa karena terdapat ibadah utama yang tidak bisa dikerjakan di bulan lainnya, yaitu wukuf di Arafah sebagai puncak ibadah haji, Hari Raya Idul Adha dan pelaksanaan ibadah kurban. Serta  keutamaan yang menjadi ladang pahala bagi seorang Muslim untuk  mengerjakan amal saleh. Dan yang tak kalah penting adalah  Hikmah yang mengajarkan pengorbanan sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana pengorbanan yang dicontohkan hamba Allah, Nabi Ibrahim as ketika keluarga beliau diuji.

Esensinya bahwa ibadah haji  merupakan simbol persatuan umat Islam. Dimana jutaan umat Islam dari seluruh dunia melebur menjadi satu tanpa memandang etnis, ras, serta kedudukan dan harta.  Pengorbanan kaum muslimin bisa dilihat dari sisi finansial, fisik serta waktu untuk berkorban menunaikan ibadah haji. Mereka datang dari penjuru bumi untuk berkumpul dan  melaksanakan ibadah haji sebagai wujud ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Seraya menggemakan kalimat tauhid yang agung sebagai bentuk pengesaan terhadap Allah semata. 

Idul Adha juga disebut sebagai hari raya kurban. Yaitu hari raya sukacita dimana teraktualisasinya keimanan seorang hamba yang mulia. Kata kurban dalam bahasa Arab bermakna mendekatkan diri. Dalam literatur fiqh Islam, dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama menamakannya dengan istilah an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam Alquran dengan firman-Nya,”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. al-Kautsar: 2).

Maka dari itu, Ibadah haji dan perayaan Idul Adha jangan dijadikan sebatas seremonial belaka dan simbolisme ritual yang kurang bermakna. Yang menggilas spirit perjuangan yang besar menuju persatuan umat. Sepatutnya momentum ini dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan ketaatan dan kepatuhan total kepada Allah SWT.

Islam adalah agama yang syamil (meliputi segala sesuatu) berupa pengaturan segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah, uqubat (sanksi hukum), dan sebagainya. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Selain itu, merupakan agama yang kamil (sempurna), yang tidak sedikit pun memiliki kekurangan. Konsekuensi keimanan seorang hamba adalah ketaatan mutlak pada syariat islam secara totalitas. Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslim mengamalkan Islam secara kaffah (total) dalam seluruh aspek kehidupan.

Ibadah haji sendiri mengandung nilai spiritual, historis dan politis yang tinggi bagi umat islam. Sebuah napak tilas yang membangkitkan kekuatan ruhiyah seorang Muslim yang akan melahirkan semangat ibadah, perjuangan dan pengorbanan. Meskipun termasuk ibadah, namun aspek politik ibadah haji tidak bisa dipisahkan. 

Dalam khutbah politik Rasulullah saat Haji Wada’ tahun 10 H, beliau mewasiatkan beberapa hal, diantaranya; Beliau mengingatkan kaum muslimin bahwa kesucian darah, harta, harga diri seorang muslim setara dengan kesuciaan Mekkah, setara dengan keagungan haji dan setara dengan kemuliaan bulan-bulan haram. Selain dihapuskannya segala macam bentuk riba juga menghapuskan sekat-sekat yang didasarkan pada keturunan,ras, bangsa Arab atau non Arab. Beliau berpesan,” Ingatlah, tak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa non-Arab. Tak ada pula keunggulan bangsa non-Arab atas bangsa Arab. Tidak pula orang berkulit putih atas orang berkulit hitam. Tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih. Kecuali karena ketakwaannya.”(HR Ahmad).. Persatuan umat islam ini juga menjadi salah satu khutbah Beliau. Rasulullah mengingatkan umatnya bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Mereka dipersatukan oleh ikatan Aqidah islam. 

Sayangnya, saat ini masih banyak Muslim yang mengaku mengimani Allah SWT, tetapi mengabaikan ketaatan pada syariatNya. Padahal iman yang hakiki menuntut pelaksanaan seluruh syariat islam. Terjadinya pemisahan agama dari kehidupan menjadikan umat islam hanya memahami islam secara parsial sehingga islam dipahami hanya sebagai ritual yang bersifat pribadi. Fungsi islam tidak lagi sebagai aqidah politik, tapi hanya sebatas aqidah ritual, meski jumlah jamaah haji yang setiap tahun semakin bertambah, namun tetap bertambah banyak pula penderitaan dan permasalahan kaum muslimin di berbagai negara yang tidak terselesaikan. 

Berbagai syariat yang patutnya dijadikan momen memetik hikmah dari para Rasul dan momentum menguatkan tauhid seakan tak memiliki pengaruh. Fungsi khalifah sebagai perisai umatpun tidak terwujud sehingga berkumpulnya umat dalam ibadah haji sebagai momentum muhasabah dan memberikan problem solving bagi setiap persoalan di negri-negeri muslim tidak terwujud pula. Inilah kondisi Kaum muslimin dalam sistem demokrasi saat ini yang mustahil bisa mewujudkan keimanan secara totalitas. 

Untuk menjalankan ketaatan total ini,  mutlak membutuhkan payung politik yang disebut negara yang akan mengintegrasikan manusia di dalamnya dengan aturan yang sama, tujuan yang satu, dan dari latar belakang yang berbeda. sebab mustahil menerapkan syariat islam secara total tanpa negara. Pentingnya kekuasaan ini digambarkan oleh imam Al Ghazali dalam Al Iqtishad Fi al I’tiqad, ”Maka dari itu kewaajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. Ketahuilah itu!”.

Wallahu a’lam bi ash showwab

Kamis, 25 April 2013

Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis. Bagaimana Syariatnya?

Syariat Memuliakan Tamu


Memuliakan tamu merupakan salah  satu kewajiban bagi umat islam.Rasulullah saw bersabda:

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja" (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu pula hadits riwayat Imam Bukhari yang lain bahwa Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya."Para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, "Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.


definisi tamu yang dimaksud mencakup tamu mukmin maupun kafir. Baik laki - laki maupun Perempuan. Semua tamu wajib dimuliakan dan dihormati berdasarkan hadits tersebut. Bagi seorang muslim diperintahkan untuk k memenuhi hak-hak tamu sesuai kemampuannya.

Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis. bagaimana syariatnya?

Lantas bagaimana jika tamu yang dimaksud adalah tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang telah terbukti tega mendzalimi, menjajah dan   membunuh kaum Muslim, dan menistakan kesucian agama Islam? Apakah ketentuan hadits tersebut berlaku?

Jawabnya jelas Haram , karena telah terbukti menzholimi, merampas harta, merusak  kehormatan, dan menumpahkan ribuan nyawa kaum muslimin.

Maka dari itu nampak larangan menampakkan sikap loyalitas dan berkasih sayang kepada orang-orang kafir penjajah.

sebagaimana firman Allah dalam surat AL Mumtahanah (60) ayat (1)
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus."

sebagaimana dalam QS. Ali ‘Imran (3): 118-119

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.


Kedua, Keharaman menyakiti kaum Muslim.

Allah swt berfirman dalam surah  Al Ahzab (33):58


" Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata .

Nabi saw  bersabda:

«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat .(HR. Imam Bukhari dan Muslim)


"Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]
Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang."



مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة

"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”.
 (HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. )

Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".

(HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid)

Kesimpulan :

1. Seorang Muslim, terlebih  penguasa Muslim diharamkan  menerima bahkan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi umat islam.
2. SIkap seorang muslim terlebih penguasa kafir adalah tegas terhadap orang kafir penjajah dan berkasih sayang terhadap sesama muslim. 
3. Kewajiban penguasa Muslim adalah mengayomi dan  membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan bahkan pembunuhan dari kafir imperialis.


Filsafat Penyebab Keruntuhan Islam

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya. Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M.

Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.

Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.
Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).
Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi6 atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.

Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Filsafat dalam Islam

Filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.
Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).
Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).

Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.

Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.

Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).

Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.

Seiring dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-’Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.

Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a‘lam. [] Mohammad Maghfur Wachid

Imam Mahdi dan Khilafah

Soal:
Keyakinan kaum Muslim akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah semakin meningkat. Namun, ada sebagian yang percaya, bahwa Khilafah akan berdiri sendiri, karena sudah merupakan janji Allah. Caranya, dengan menurunkan Imam Mahdi. Pertanyaannya, benarkan Imam Mahdi yang akan mendirikan Khilafah? Ataukah kaum Muslim yang mendirikannya, kemudian lahirlah Imam Mahdi? 


Jawab:

1- Kalaupun ada hadits yang menunjukkan Imam Mahdi akan mendirikan, maka hadits tersebut tetap tidak boleh dijadikan alasan untuk menunggu berdirinya Khilafah. Karena berjuang untuk menegakkan Khilafah hukumnya tetap wajib bagi kaum Muslimin, sebagaimana hadits Nabi:
مَ
نْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً


“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dengan tanpa mempunyai hujah. Dan, siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hr. Muslim)[1]

Manthuq hadits di atas menyatakan, bahwa “Siapa saja yang mati, ketika Khilafah sudah ada, dan di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Atau “Siapa yang mati, ketika Khilafah belum ada, dan dia tidak berjuang untuk mewujudkannya, sehingga di atas pundaknya ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan mati jahiliyah.” Karenanya, kewajiban tersebut tidak akan gugur hanya dengan menunggu datangnya Imam Mahdi.

2- Memang banyak hadits yang menuturkan akan lahirnya Imam Mahdi, namun tidak satupun hadits-hadits tersebut menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah. Hadits-hadits tersebut hanya menyatakan, bahwa Imam Mahdi adalah seorang Khalifah yang saleh, yang akan memerintah dengan adil, dan akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan penyimpangan. Dari Abi Sa’id al-Hudhri ra. berkata, dari Nabi saw. bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَمْتَلِيءَ الأَرْضُ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ أَوْ عِتْرَتِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا
Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah bumi ini dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Setelah itu, lahirlah seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), atau keturunanku, sehingga dia memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. (Hr. Ibn Hibban)[2]


Dalam riwayat lain, dari Abdullah, dari Nabi Rasulullah saw. beliau bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمْلِكَ النَّاسَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمَهُ اسْمِي وَاسْمَ أَبِيْهِ اسْمُ أَبِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً
Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah manusia ini diperintah oleh seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), yang namanya sama dengan namaku, dan nama bapaknya juga sama dengan nama bapakku. Dia kemudian memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan.  
(HR. Ibn Hibban)[3]




3- Hanya saja, terdapat riwayat yang menyatakan, bahwa Imam Mahdi tersebut lahir setelah berdirinya Khilafah, bukan sebelumnya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَدِيْنَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيَخْرُجُوْنَهُ وَهُوَ كاَرِهٌ فَيُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسِفَ بِهِمْ بِالبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أهْلِ العِرَاقِ فَيُبَايِعُوْنَهُ، ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ الشَّامِ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيُظْهِرُوْنَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةِ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيْمَةَ كَلْبٍ فَيُقَسِّمُ المَالَ وَيَعْمَلُ فِي النَّاسِ.. وَيُلْقِيَ الإِسْلاَمَ بِجِرَانِهِ فِي الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِيْنَ ثُمَّ يَتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الُمسْلِمُوْنَ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَلْبَثُ تِسْعَ سِنِيْنَ
“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang Khalifah. Kemudian seorang lelaki penduduk Madinah melarikan diri ke kota Makkah. Penduduk Makkah pun mendatanginya, seraya memintanya dengan paksa untuk keluar dari rumahnya, sementara dia tidak mau. Lalu, mereka membai’atnya di antara Rukun (Hajar Aswad) dengan Maqam (Ibrahim). Disiapkanlah pasukan dari Syam untuknya, hingga pasukan tersebut meraih kemenangan di Baida’, tempat antara Makkah dan Madinah. Tatkala orang-orang melihatnya, dia pun didatangi oleh para tokoh Syam dan kepala suku dari Irak, dan mereka pun membai’atnya. Kemudian muncul seorang (musuh) dari Syam, yang paman-pamannya dari suku Kalb. Dia pun mengirimkan pasukan untuk menghadapi mereka, hingga Allah memenangkannya atas pasukan dari Syam tersebut, hingga al-Mahdi merebut kembali daerah Syam dari tangan mereka. Itulah suatu hari bagi suku Kalb yang mengalami kekalahan, yaitu bagi orang yang tidak mendapatkan ghanimah Kalb. Al-Mahdi lalu membagi-bagikan harta-harta tersebut dan bekerja di tengah-tengah masyarakat… menyampaikan Islam ke wilayah di sekitarnya. Tidak lama kemudian, selama tujuh atau, dia pun meninggal dunia, dan dishalatkan oleh kaum Muslim. Dalam riwayat lain dinyatakan, tidak lama kemudian, selama sembilan tahun. ” 
 (HR. At-Thabrani)



Hadits di atas, dengan jelas menyatakan, bahwa akan lahir Khalifah baru setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam lafadz:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ
“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang Khalifah. Kemudian keluarlah seorang lelaki..” (Hr. At-Thabrani)
 
Dengan demikian, pandangan yang menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah Rasyidah Kedua jelas merupakan pandangan yang lemah. Demikian juga pandangan yang menyatakan, bahwa tidak perlu berjuang untuk menegakkan Khilafah, karena tugas itu sudah diemban oleh Imam Mahdi, sehingga kaum Muslim sekarang tinggal menunggu kedatangannya, adalah juga pandangan yang tidak berdasar.

Jadi jelas sekali, bahwa Imam Mahdi bukanlah orang yang mendirikan Khilafah, dan dia bukanlah Khalifah yang pertama dalam Khilafah Rasyidah Kedua yang insya Allah akan segera berdiri tidak lama lagi. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi setiap Muslim yang khawatir akan mati dalam keadaan jahiliyah, selain bangkit dan berjuang bersama-sama para pejuang syariah dan Khilafah hingga syariah dan Khilafah tersebut benar-benar tegak di muka bumi ini. Allah Akbar.


[1] Lihat, Muslim, Sahih Muslim, juz , hal.
[2] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.
[3] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.

Khilafah Ajaran Ahlus Sunnah Vs Demokrasi Ajaran Penjajah

Khilafah Ajaran Aswaja

Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah), menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam [khalifah] dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16).

Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW). Dan disebut wal jamaah, karena mengikuti ijma’ shahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31)

Dari pengertian Aswaja di atas, jelas sekali bahwa ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat dengan ajaran Aswaja. Sebab Khilafah sangat terkait dengan istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di sini maksudnya adalah kaum muslimin yang hidup di bawah kepemimpinan khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisahkan dengan Aswaja.

Kesatuan Aswaja dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi, jika kita menelaah kitab-kitab yang membahas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung : Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat pasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (khalifah) (pasal 61-62).

Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,“Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.

Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,“Ketahuilah bahwa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb al-khalifah…).

Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam kitab-kitab tafsir, hadits, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahwa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut paham Aswaja. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di antara umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham haitsu kaana ‘an asy-syariah asham...). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,“Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Jelaslah, bahwa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Aswaja dalam berkehiduan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut Aswaja. Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib kalau ada individu atau kelompok yang mengklaim penganut Aswaja, tapi mengingkari atau bahkan mencemooh Khilafah. Pengingkaran penganut Aswaja terhadap Khilafah adalah batil, karena tindakan itu sesungguhnya adalah upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah. Ini jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.

Demokrasi Bukan Ajaran Aswaja

Adapun sistem bernegara dan bermasyarakat sekarang, yaitu sistem demokrasi, sama sekali bukan ajaran Aswaja, melainkan konsep kafir penjajah yang sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Banyak ulama masa kini yang mengecam demokrasi dan memfatwakan haramnya menerapkan sistem demokrasi. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin (1990) menegaskan : “Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (ad-dimuqrathiyah nizham kufrin yahrumu akhdzuha aw tathbiquhaa aw ad-da’watu ilaihaa). Demokrasi disebur sistem kufur, tiada lain karena menyerahkan hak menetapkan hukum pada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata (QS Al-An`am : 57). Kecaman serupa terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj dalam kitabnya Ad-Damghah Al-Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyah. Menurut Belhaj, umat Islam haram mengikuti demokrasi, karena termasuk perbuatan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) (hal 18-19).

Karena itu, sesungguhnya telah jelas sekali bahwa demokrasi bukanlah konsep Aswaja. Demikian pula, segala sesuatu yang terkait dengan demokrasi itu, yakni paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang menjadi ide dasar demokrasi. Juga bentuk pemerintahan yang lahir dari sistem demokrasi, yaitu sistem republik, baik republik parlementer maupun presidensial.

Semua konsep itu (demokrasi, sekularisme, republik) bukanlah konsep Aswaja, melainkan ajaran-ajaran asing yang kafir yang sudah berada di luar lingkaran Islam (laisa minal Islam). Semua konsep asing itu terwujud di Dunia Islam bukanlah terjadi secara damai dan atas kesadaran umat Islam itu sendiri, melainkan terjadi melalui paksaan, yaitu penjajahan yang kejam pada abad ke-19 dan ke-20. Terlebih lagi setelah Khilafah Islam di Turki hancur tahun 1924. Penjajahan itu selanjutnya membuat sistem pendidikan sekular yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang walau agamanya Islam (dan mungkin mengklaim berpaham Aswaja), tapi ideologinya sekular-liberal. Tidak kenal atau percaya lagi dengan Khilafah, tapi kenalnya demokrasi, sekularisme, dan sistem republik. Sungguh ironis dan menyedihkan.

Kita sebagai umat Islam, khususnya Aswaja, wajib kembali kepada ajaran yang benar dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu kembali pada Khilafah, bukan pada demokrasi. Kalau kita mengikuti demokrasi, berarti kita sudah terjerumus ke dalam dosa sebagaimana sabda Nabi SAW :

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk ke lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka juga. Para shahabat bertanya, “Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah SAW menjawab,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari dan Muslim).
Fungsi Khilafah : Menegakkan SyariahKhilafah bukan ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan ditujukan untuk menerapkan syariah Islam. Khilafah, menurut Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia (ri’asatun ‘aammatun lil muslimina jami’an fi ad-dunya li iqamati ahkam asy-syar`i al-islami wa haml ad-dakwah al-islamiyah ila al-alam). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Beirut : Darul Ummah, 2003, 2/14).

Jadi, Khilafah itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan sekedar metode (thariqah) untuk menerapkan hukum-hukum syariah Islam dalam segala aspeknya di dalam negeri. Syariah Islam itulah yang nantinya akan menyelesaikan segala masalah manusia (mu’alajat li masyakil al-insan), khususnya masalah publik semisal masalah dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Dan Khilafah berfungsi sebagai institusi pelaksana untuk syariah Islam ini. Inilah fungsi Khilafah dalam negeri, yakni menerapkan Syariah Islam khususnya dalam bidang-bidang yang tidak dapat tegak kecuali dengan adanya Khilafah.

Penutup

Khilafah adalah ajaran asli Aswaja, sedang demokrasi bukan ajaran Aswaja, melainkan ajaran kafir penjajah yang dipaksakan atas umat Islam. Upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah, adalah upaya yang nyata-nyata merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Sudah saatnya umat Islam, khususnya yang berpaham Aswaja, untuk kembali kepada Khilafah dan membuang sistem demokrasi yang kufur. [ ] M. Shiddiq Al-Jawi