Oleh: Nurwana Sari Hamzah, S.Farm., Apt
Umat islam telah selesai menunaikan serangkaian ibadah haji dan perayaan Idul Adha di bulan Dzulhijjah. Pada bulan ini menjadi salah satu bulan haram yang ditetapkan oleh Allah SWT, memiliki banyak keistimewaan, keutamaan serta sarat akan hikmah. Disebut bulan yang istimewa karena terdapat ibadah utama yang tidak bisa dikerjakan di bulan lainnya, yaitu wukuf di Arafah sebagai puncak ibadah haji, Hari Raya Idul Adha dan pelaksanaan ibadah kurban. Serta keutamaan yang menjadi ladang pahala bagi seorang Muslim untuk mengerjakan amal saleh. Dan yang tak kalah penting adalah Hikmah yang mengajarkan pengorbanan sebagai wujud ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana pengorbanan yang dicontohkan hamba Allah, Nabi Ibrahim as ketika keluarga beliau diuji.
Esensinya bahwa ibadah haji merupakan simbol persatuan umat Islam. Dimana jutaan umat Islam dari seluruh dunia melebur menjadi satu tanpa memandang etnis, ras, serta kedudukan dan harta. Pengorbanan kaum muslimin bisa dilihat dari sisi finansial, fisik serta waktu untuk berkorban menunaikan ibadah haji. Mereka datang dari penjuru bumi untuk berkumpul dan melaksanakan ibadah haji sebagai wujud ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Seraya menggemakan kalimat tauhid yang agung sebagai bentuk pengesaan terhadap Allah semata.
Idul Adha juga disebut sebagai hari raya kurban. Yaitu hari raya sukacita dimana teraktualisasinya keimanan seorang hamba yang mulia. Kata kurban dalam bahasa Arab bermakna mendekatkan diri. Dalam literatur fiqh Islam, dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama menamakannya dengan istilah an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam Alquran dengan firman-Nya,”Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (QS. al-Kautsar: 2).
Maka dari itu, Ibadah haji dan perayaan Idul Adha jangan dijadikan sebatas seremonial belaka dan simbolisme ritual yang kurang bermakna. Yang menggilas spirit perjuangan yang besar menuju persatuan umat. Sepatutnya momentum ini dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan ketaatan dan kepatuhan total kepada Allah SWT.
Islam adalah agama yang syamil (meliputi segala sesuatu) berupa pengaturan segala perkara: akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah, uqubat (sanksi hukum), dan sebagainya. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Selain itu, merupakan agama yang kamil (sempurna), yang tidak sedikit pun memiliki kekurangan. Konsekuensi keimanan seorang hamba adalah ketaatan mutlak pada syariat islam secara totalitas. Totalitas dan kesempurnaan Islam tentu tidak akan tampak kecuali jika kaum Muslim mengamalkan Islam secara kaffah (total) dalam seluruh aspek kehidupan.
Ibadah haji sendiri mengandung nilai spiritual, historis dan politis yang tinggi bagi umat islam. Sebuah napak tilas yang membangkitkan kekuatan ruhiyah seorang Muslim yang akan melahirkan semangat ibadah, perjuangan dan pengorbanan. Meskipun termasuk ibadah, namun aspek politik ibadah haji tidak bisa dipisahkan.
Dalam khutbah politik Rasulullah saat Haji Wada’ tahun 10 H, beliau mewasiatkan beberapa hal, diantaranya; Beliau mengingatkan kaum muslimin bahwa kesucian darah, harta, harga diri seorang muslim setara dengan kesuciaan Mekkah, setara dengan keagungan haji dan setara dengan kemuliaan bulan-bulan haram. Selain dihapuskannya segala macam bentuk riba juga menghapuskan sekat-sekat yang didasarkan pada keturunan,ras, bangsa Arab atau non Arab. Beliau berpesan,” Ingatlah, tak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa non-Arab. Tak ada pula keunggulan bangsa non-Arab atas bangsa Arab. Tidak pula orang berkulit putih atas orang berkulit hitam. Tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih. Kecuali karena ketakwaannya.”(HR Ahmad).. Persatuan umat islam ini juga menjadi salah satu khutbah Beliau. Rasulullah mengingatkan umatnya bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Mereka dipersatukan oleh ikatan Aqidah islam.
Sayangnya, saat ini masih banyak Muslim yang mengaku mengimani Allah SWT, tetapi mengabaikan ketaatan pada syariatNya. Padahal iman yang hakiki menuntut pelaksanaan seluruh syariat islam. Terjadinya pemisahan agama dari kehidupan menjadikan umat islam hanya memahami islam secara parsial sehingga islam dipahami hanya sebagai ritual yang bersifat pribadi. Fungsi islam tidak lagi sebagai aqidah politik, tapi hanya sebatas aqidah ritual, meski jumlah jamaah haji yang setiap tahun semakin bertambah, namun tetap bertambah banyak pula penderitaan dan permasalahan kaum muslimin di berbagai negara yang tidak terselesaikan.
Berbagai syariat yang patutnya dijadikan momen memetik hikmah dari para Rasul dan momentum menguatkan tauhid seakan tak memiliki pengaruh. Fungsi khalifah sebagai perisai umatpun tidak terwujud sehingga berkumpulnya umat dalam ibadah haji sebagai momentum muhasabah dan memberikan problem solving bagi setiap persoalan di negri-negeri muslim tidak terwujud pula. Inilah kondisi Kaum muslimin dalam sistem demokrasi saat ini yang mustahil bisa mewujudkan keimanan secara totalitas.
Untuk menjalankan ketaatan total ini, mutlak membutuhkan payung politik yang disebut negara yang akan mengintegrasikan manusia di dalamnya dengan aturan yang sama, tujuan yang satu, dan dari latar belakang yang berbeda. sebab mustahil menerapkan syariat islam secara total tanpa negara. Pentingnya kekuasaan ini digambarkan oleh imam Al Ghazali dalam Al Iqtishad Fi al I’tiqad, ”Maka dari itu kewaajiban adanya imam (khalifah) termasuk hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. Ketahuilah itu!”.
Wallahu a’lam bi ash showwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar