Sebuah Kisah
Zaman sekarang ini, manusia hanya tergiur dengan apa yang disebut materi dunia tanpa memperhatikan bagaimana kehidupan akhirat kelak. padahal dunia akhirat itu kekal dan abadi.
Hari-hari berlalu yang dilewati seakan sudah bertahun lamanya, namun yang perlu diakui ialah hx baru beberapa minggu lalu. Iya, hanya beberapa minggu lalu. Berita itu aku sambut dengan hati yang diusahakan untuk berlapang dada. Benar, aku berusaha berlapang dada. Terkadang, terasa nusrah Ilahi begitu hampir saat kita benar-benar berada di tepi tebing, tunggu saat untuk menjunam jatuh ke dalam gaung. Maha Suci Allah yang mengangkat aku, meletakkan aku kembali di jalan tarbiyyah dan terus memimpin untukku melangkah dengan tabah.
Aku hanya seorang "Insyirah". Tiada kelebihan yang teristimewa, tidak juga punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku juga dua kaki, lihat ku juga menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini. Aku tidak buta, tidak juga tuli maupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah juga aku bisa berkata dengan lidahku yang lembut dan tidak bertulang. Sama seperti manusia lain.
Aku bukan seperti bunda dari Syeikh Qadir al-Jailani, aku juga tidak sehebat srikandi Sayyidah Khadijah dalam berbakti, aku bukan sebaik Sayyidah Fatimah yang setia menjadi pengiring ayahanda dalam setiap langkah perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang Insyirah yang sedang mengembara di bumi Tuhan, jalanku kelak juga sama... Negeri Barzakh, insya Allah. Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam perkara ini.
Sejak dari hari istimewa tersebut, ramai sahabat yang memuji wajahku berseri dan mereka yakin benar aku sudah dikhitbah apabila melihat kedua tanganku memakai cincin di jari manis. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu soalan yang maha banyak, tetapi diam ku kerana aku belum mampu memperkenalkan insan itu. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian.
Ibu bertanyakan soalan yang sewajarnya aku jawab dengan penuh tatasusila.
"Hari menikah nanti, pakai baju warna apa?"
Aku menjawab tenang.. "Warna putih, bersih..."
"Alhamdulillah, ibu akan usahakan dalam tempoh terdekat."
"Ibu, 4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah (baca :JILBAB). Jangan berlebihan."
Ibu angguk perlahan.
Beberapa hari ini, aku menyelak satu per satu... helaian demi helaian naskhah yang begitu menyentuh sanubariku sebagai hamba Allah. Malam Pertama... Sukar sekali aku ungkapkan perasaan yang bersarang, mau saja aku menangis sejadi2nya tetapi sudah aku ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan tarikhnya krn aku akan sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.
Sejak hari pertunangan itu, aku semakin banyak mengulang al-Quran. Aku mau sebelum tibanya hari yang aku nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam tubuh. Mudah-mudahan aku tenang... As-Syifa'ku adalah al-Quran, yang setia menemani dalam resahku menanti. Benar, aku sedang memujuk gelora hati. Mahu pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang yang mendahului.
"Kak Insyirah, siapa tunang kakak? Mesti hebat orangnya. tampan gak?"
Aku tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku masih mau merahasiakan tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahwa aku sudah bertunangn, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.
"Insya Allah, 'dia' tiada rupa tetapi sangat mendekatkan kakak dengan Allah. Itu yang paling utama."
Berita itu juga buat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata mereka, aku senyapkan sesuatu yang perlu disebarkan. Aku tersenyum lagi.
"Jangan lupa jemput ana di hari menikahnya, jangan lupa!"
Aku hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku taampakkan ialah senyuman dan terus tersenyum. Mereka mengandai aku sedang berbahagia apabila sudah dikhitbahkan dengan 'dia' yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabatku juga merasa kehilanganku apabila setiap waktu terluang aku habiskan masa dengan as-Syifa'ku,Al-Quran, tidak lain krna aku mau kalamullah meresap dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku menanti hari itu.
"kapan antii menikah?"
Aku tiada jawaban khusus.
"Insya Allah, tiba waktunya nanti anti akan tahu..." Aku masih menyimpan saatnya keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku sendiri tidak tahu kapan saatnyanya.
"Jemput ana, tau!" Khalilah tersenyum megah.
"Kalau anti tak datang pun ana tak berkecil hati, doakan ana banyak-banyak!" Itu saja pesanku. Aku juga tidak tahu di mana mau melangsungkan pernikahanku, aduh semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai insan berkecil hati.
"Insya Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."
Rahsiaku adalah rahasia Allah, krna itu, aku tidak mampu memberitahukan waktunya. Cuma, hanya mampu menyiapkan diri sebaik2nya. Untung aku dilamar dan dikhitbah dahulu tanpa menikah secara terkejut seperti orang lain. Semuanya aku telah persiapkan, baju permikahanyya, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...
"tak usah berlebihan ya..."
Ibu angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.
"Insyirah, jam makan!"
Aku tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.
"Tafaddal, ana puasa."
sahabta juga semakin galak mengusik.
"Wah, Insyirah diet ya. Maklumlah hari bahagia dah dekat... Tarikhnya tak tetap lagi kah?"
"Bukan diet, mau mengosongkan perut. Maaf, harinya belum ditetapkan lagi."
Sehingga kini, aku tidak tahu bila harinya yang pasti. Maafkan aku sahabat, bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu sahaja.
..........................
.............
"innalillahi wainna ilaihi rajiun..."
"Tenangnya... Subhanallah. Allahuakbar."
"Ya Allah, tenangnya..."
"Moga Allah memberkatinya...."
Allah, itu suara sahabat-sahabatku, teman-teman seperjuanganku.
Akhirnya, aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. teman2 pada ramai berdatangan di walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri.
Akhirnya, mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.
Akhirnya, mereka kenali sosok 'dia' yang aku rahsiakan dari pengetahuan umum.
Akhirnya, mereka sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang mengkhitbah ku.
Dalam sadar dan tidak sadar...
Hampir setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan ku... Sentiasa ada suara sayu yang menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras, hanya Tuhan yang tahu.
"Ya Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan dengan Engkau. Yang menyedarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menydarkan aku tentang dunia sementara, yang menydarkan aku tentang alam akhirat. Engkau satukan kami dalam majlis yang Engkau ridhai, aku hamba Mu yang tak punya apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui..."
Akhirnya, Khalilah bertanya kepada ibu beberapa minggu kemudian...
"Insyirah bertunang dengan siapa, ma?"
Ibu tenang menjawab... "Dengan kematian wahai anakku. Kanker tulang yang mulanya hanya pada tulang belakang sudah merebak dengan cepat pada tangan, kaki juga otaknya. Kata dokter, Insyirah hanya punya beberapa minggu sja sebelum kanernya membunuh."
"Allahuakbar..." Terduduk Khalilah mendengar, air matanya tak mampu ditahan.
"Buku yang sering dibacanya itu, malam pertama..."
Ibu angguk, tersenyum lembut... "Ini nak, bukunya." Senaskah buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni tertera tajuk 'Malam Pertama di Alam Kubur'.
"Ya Allah, patut la Insyirah selalu menangis... Khalilah tak tahu ma."
"Dan sejak dari hari 'khitbah' tersebut, selalu Insyirah mahu berpuasa. Katanya mahu mengosongkan perut, mudah untuk dimandikan..."
Khalilah masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Matanya basah menatap kalam dari diari Insyirah yang diberikan oleh ibu.
"Satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku di risik oleh MAUT. Dan satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti harinya dengan mendekatkan diri ku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya, kerana ibuku bernama Ummu Sulaim, baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH meminta. Dan ibu mengambil 'ibrah bukan dari namanya (Ummu Sulaim) malah akhlaqnya sekali. Ummu Sulaim, seteguh dan setabah hati seorang ibu."
* Kisah ini bukan kisah ana (Insyirah), ianya kisah KITA (semua yang sedang membaca) *
Mulai hari ini, jangan bersoal tika melihat ana memakai cincin. Kerana, ana sudah bertunang! Bertunang dengan kematian, tidak tahu bila ana akan dinikahkan dan tidak tahu bagaimana rezeki di malam pertama. Tetapi, sekurang-kurangnya apabila sudah dirisik dan bertunang, kita sama-sama akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya walaupun bukan yang terbaik untuk hari pernikahan dengan KEMATIAN. Wallahua'lam.
Cukuplah kematian itu mengingatkan kita... Cukuplah kita sadar kita akan berpisah dengan segala nikmat dunia. Cukuplah kita sedar bahawa ada hari yang lebih kekal, oleh itu sentiasalah berwaspada. Bimbang menikah tergesa-gesa, tahu-tahu sudah disanding dan diarak seluruh kampung walau hanya dengan sehelai kain putih tak berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar