Studi Hadits: Kepemimpinan Pada Quraisy
Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka.”
Takhrij Al Hadits (Otentisitas Hadits)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada (di dalam rumah beliau), lalu berkata: “Para Imam itu dari Quraisy.” (Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya’ dengan lafazh: Dari Mu’awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (Idem, juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tentang sanad hadits itu berkata: “Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan (inqithâ’).” (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia.” (Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: “Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari kalangan mereka.” (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).
Dalam Sunan At-Tirmidzi, juz 4, hal. 503, diriwayatkan hadits dari Amr bin Al ‘Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda: “Quraisy adalah pemimpin manusia (wulâtun nâs) dalam kebaikan dan keburukan hingga hari qiyamat” dan Imam At-Tirmidzi berkata: “[i]Hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih.” Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz 8, hal. 144, diriwayatkan hadits dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Quraisy: “Kalian adalah manusia yang paling layak memegang urusan (pemerintahan) ini selama kalian berada dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dikupas habis sebagaimana kulit kayu ini dikupas! —Beliau menunjuk sebuah kayu yang ada ditangannya.” Dan Imam Syafi’i meriwayatkannya dengan lafazh yang sama dalam Al-Musnad bagian Mu’amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa telah sampai padanya bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Persilahkan Quraisy tampil kedepan (untuk memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan (untuk memimpin). Belajarlah dari Quraisy dan jangan mengajari mereka.” (Imam Syafi’i, Idem, hal. 194).
Dalam kitab Majmu’ Az-Zawâid karya Al-Haitsami dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Tetaplah bersama Quraisy selama mereka tetap bersama kalian. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka angkatlah pedang kalian diatas pundak kalian, lalu musnahkahlah pemimpin-pemimpin (quraisy) itu. Jika kalian tidak melakukannya, maka jadilah sebagai kaum petani yang payang hidupnya dimana kalian akan makan hanya dari hasil jeritan kalian.” Al-Haitsami berkata: Hadits ini telah diriwatkan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath, dan para perawi As Shaghîr terpercaya (lihat juz 5, hal. 228).
Tentang hadits “Para Imam dari Quraisy” Al-Halabi berkata dalam Sirah Halabiyah, juz 2, hal. 480: “Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan sekitar 40 shahabat.” Imam Ibnu Hazm menilai hadits tersebut mutawatir. Dia berkata: “Riwayat hadits ini datang secara tawatur.” (Al-Fashal fil Milal wal Ahwâ’ wan Nihal, juz 4, hal. 89).
Imam Ibnu Taimiyyah cenderung menilai hadits itu mutawatir dari segi maknanya saja dan bukan dari segi sanadnya (Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 2, hal. 85-86). Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah itulah yang benar. Sebab, diterimanya penilaian itu tidak berdasarkan banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits, tetapi pada dipenuhinya syarat-syarat tawatur oleh sebuah hadits.
Fiqh Al-Hadits (Pengertian Hadits)
Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan) dalam mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para mufakkirin kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.
Madzhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi’ah, sebagian kelompok Mu’tazilah, dan sebagian besar kelompok Murji’ah berpendapat bahwa keturunan Quraisy merupakan syarat in’iqaad khilafah< (Imam Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan Al-Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma’âlimil Khilafah, juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata: “Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy.” ( Ibnu Arabi, Ahkâmul Qur’an, juz 4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.[/i]” (Abu Ya’la al Farrâ’[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 20). Mereka berargumentasi dengan dalil hadits “Para Imam dari Quraisy” dan ijma’ shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah berdalil dengan sabda Rasulullah Saw: “Para imam dari Quraisy” ketika beradu argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah imamah. Argumentasi itu disaksikan oleh para shahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-‘Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-Mawardi, Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).
Sedangkan al Khawarij, jumhur kalangan Mu’tazilah, sebagian Murji’ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat al Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah bukan termasuk syarat in’iqad (lihat Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).
Wajhul Istidlal Hadits Ini (Motif Dasar Dalil)
Sesungguhnya hadits-hadits yang ada menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi kepemimpinan kaum muslimin, sekalipun menunjukkan bahwa manusia yang paling berhak untuk memegang jabatan khilafah adalah orang Quraisy, hanya saja hal itu tidak menunjukkan bathilnya kehilafahan dari selain mereka. Juga tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi kekhilafaan hanya untuk Quraisy dan tidak sah jika diakadkan/diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab Quraisy termasuk syarat afdlaliyyah, bukan termasuk syarat in’iqad. Inilah pendapat yang benar dalam perkara ini.
Argumentasinya nampak pada beberapa segi:
Pertama, Sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan dan sanadnya shahih dari Rasulullah Saw seperti hadits Anas: “Para imam adalah dari Quraisy” dan hadits Mu’awiyah “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy” dan yang serupa dengannya sekalipun dari hadits-hadits itu dapat difahami penentuan kekhilafahan Quraisy, hanya saja dalam hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab.
Ketika datang Islam memecahkan masalah dalam realitas yang ada di antara manusia, yaitu keadaan masyarakat yang tidak mau menerima kepemimpinan selain dari Quraisy. Mereka tidak rela kalau yang berkuasa mengatur urusan mereka adalah orang selain Quraisy. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dalam pidato beliau di Saqifah Bani Saaidah Beliau r.a. mengatakan: “Sesungguhnya perkara (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy selama mereka taat kepada Allah dan istiqamah dalam menjalankan perintahNya, dan telah sampai kepada kalian hal itu dan kalian mendengarnya dari nabi kalian.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dalam Al-Kitab Al-Kabir dan itu dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 235). Hal itu juga terdapat pada karya Ibnu Hazm dengan lafazh: Dan tidak akan mengakui bangsa Arab perkara ini (pemerintahan) kacuali dipegang oleh suku dari Quraisy ini., mereka adalah kaum Arab yang terkemuka dari segi keturunan dan negeri, yakni mereka adalah bangsa Arab yang paling mulia dan negeri mereka adalah Makkah yang berupakan wilayah yang mulia (Sirah Ibnu Hisyam Juz 2 hal 659).
Kedua, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu , yang menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (ta’kid) dan ternyata tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya adalah mandub (sunnah) bukan wajib. Jadi syarat nasab Quraisy itu adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat in’iqad.
Ketiga, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut “laqab” (sebutan). Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak mengandung mafhum (Al-Aamidi, Al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushûl, hal. 159). Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy. Sabda Rasulullah Saw “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini berada pada Quraisy” dan sabdanya pula: “Urusan (pemerintahan) ini selalu di tangan quraisy” tidak berarti bahwa urusan ini, yakni pemerintahan dan khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain Quraisy. Dan tidaklah berarti selalu di tangan mereka itu tidak dibenarkan kalau beada di tangan slain mereka. Tetapi berarti urusan pemerintahan itu di tangan mereka dan bisa (benar) juga di tangan selain mereka. Penentuan keberadaan pemerintahan di tangan mereka bukan berarti mencegah keberadaan khilafah di tangan selain mereka.
Keempat, kalau syarat nasab/keturunan Quraisy menjadi syarat in’iqad, kenapa Rasulullah Saw bersabda: “Selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab mafhum mukhalafah dari hadits Mu’awiyah “Selama mereka menegakkan agama (Islam)” berarti bahwasanya jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan (pemerintahan) tersebut keluar dari mereka (Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 333-334). Jika urusan pemerintahan lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum muslimin hidup tanpa Imam yang menyebabkan terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Sesungguhnya hukum syar’i menetapkan bahwa mengangkat imam atan Khalifah itu wajib bagi umat. Umat juga wajib memecat penguasa jika dia menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwasanya dia telah mendatangi Rasulullah Saw dan mendengar beliau bersabda:
“Amma ba’du. Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian adalah kaum yang berhak atas urusan (pemerintahan) ini, selama kalian tidak bermaiksiat kepada Allah. Jika kalian bermaksiat kepada-Nya maka dia niscaya akan mengerahkan kepada kalian sekelompok orang yang akan menguliti (mengupas habis) kalian sebagaimana kayu ini dikuliti –beliau menunjuk pada sebuah kayu yang ada di tangan beliau.” Perawi berkata: “Kemudian beliau Saw mengelupas kulit tongkatnya yang kemudian nampak putih keras.” (Al Musnad, juz 6, hal. 176 hadits No. 4380). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath dari Tsanban berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Peganglah janji setia kepada Quraisy selama mereka setia (tidak khianat) memimpin kalian. Jika mereka tidak melakukan (khianat dalam memimpin umat) maka angkatlah pedang kalian di atas pundak kalian dan musnahkanlah pemimpin-pemimpin (Quraisy) itu.” (Al-Haitsami, Majmau’ az Zawâid, juz 5, hal. 228).
Hadits-hadits ini tidak menjadikan wewenang pemerintahan (wilayatul amri) pada Quraisy dalam kebenaran maupun kebatilan, tetapi Quraisy hanya diberi wewenang dalam kebenaran saja. Jika mereka dalam keadaan batil, dan yang lain dalam kebenaran, Rasulullah menyuruh tidak mengikuti kebatilan dan melawannya dengan kekuatan fisik. Dari keseluruhan hadits yang ada, tak terbayang kecuali bahwa syarat nasab Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah semata, tidak merupakan syarat in’iqad.
Kelima, Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Umar bin Al Khaththab r.a dengan sanad rijalnya tsiqah (terpercaya) bahwasanya dia berkata: “Jika telah sampai ajalku, dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan kekhilafahan kepadanya.” Maka dia menyebutkan hadits yang di dalamnya ada ungkapan: “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah telah mati maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.[/i]” (Al-Musnad, juz. 16 hal. 236).
Lebih-lebih lagi Umar bin Khaththab r.a mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para shahabat r.a. Dan tidak ada satu riwawatpun yang menyebut bahwasanya mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu dan berhujjah bahwa Khilafah mesti di tangan Quraisy dan tidak boleh di tangan keturunan yang lain. Oleh kerena itu pemahaman inilah yang difahami Umar r.a dan tak seorangpun dari shahabat yang mengingkarinya bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqad.
Keenam, jika kita asumsikan bahwa nasab Quraisy harus dipakai untuk mengakadkan (menyerahkan) khilafah kepada seorang dari Quraisy, tentunya syara’ menjelaskan hal itu. Namun syara’ tidak meminta mempertahankan nasab Quraisy di antara manusia. Bagaimana bisa dibayangkan dalam hal ini kemampuan kaum muslimin mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy ?!
Ini telah disepakati oleh kebanyakan mutakallimin bahwasanya taklif tak ada kaitannya kecuali dengan perbuatan hamba yang dia mampu melakukannya (As-Sarkhasy, Muntaha as Sûl fi ilmil Ushul, juz 1, hal. 35). Dan memelihara nasab Quraisy hingga hari kiamat adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqad. Hal ini karena syarat in’iqaad yang akad khilafah tidak bisa disahkan kecuali dengan syarat itu dan seorang calon khilafah harus memenuhinya untuk jabatan khilafah, adalah 7 syarat, yaitu: dia harus seorang muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah ( An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam).
Syarat-syarat itulah yang menjadi syarat in’iqaad khilafah dan selain ketujuh syarat itu tidak layak menjadi syarat in’iqad, sekalipun bisa menjadi syarat afdhaliyat. Jika nashnya terbukti shahih. Atau tersubordinasi dari hukum yang telah ditetapkan dengan nash yang shahih, seperti keberadaan khilafah di tangan Quraisy, atau ia seorang ahli ijtihad, atau seseorang yang memiliki pendapat yang dapat membantu dalam memelihara urusan rakyat dan mengatur kemashlahatan mereka, dan lain-lain.
Oleh karena itu, nasab Quraisy, perannya hanya terbatas pada syarat afdhaliyah yang urgensinya menonjol ketika disodorkan nama-nama calon pemangku jabatan khilafah kepada mayoritas kaum muslimin. Dan disodorkan setiap calon dan kelebihannya atas calon-calon lain agar umat dapat membai’at siapa yang mereka inginkan dengan rela dan memilih orang yang mereka inginkan dengan rela tanpa memperhatikan sesuatu apapun selama orang yang dipilih oleh umat telah memenuhi syarat-syarat in’iqad.
Ya Allah, kami mohon kepadaMu daulah Islamiyah yang mulia, Khilafah Rasyidah yang mengikuti pola kenabian yang dengannya Islam dan pemeluknya menjadi mulia serta kekufuran dan pelakunya menjadi hina, dan jadikanlah kami para penyeru (ummat) untuk taat kepada-Mu, dan menjadi pemimpin yang membawa (seluruh manusia) ke jalan-Mu, ya Allah, dan tetapkanlah kami dengan kemuliaan tersebut dunia akhirat, dengan RahmatMu Ya Arhamar Raahimiin.
Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi Saw bersabda, “Para Imam (pemimpin) itu dari Quraisy. Jika mereka memerintah, maka mereka adil. Jika mereka berjanji, mereka memenuhi. Jika mereka diminta belas kasihan, mereka berbelas kasih. Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demikian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat, dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima taubat dari mereka dan tidak diterima pula tebusan (azab) dari mereka.”
Takhrij Al Hadits (Otentisitas Hadits)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Thayâlisy dalam musnadnya Juz 2 hal. 163. Imam Ahmad juga meriwayatkannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebih pendek: Bahwa Rasulullah Saw berdiri di depan pintu rumah Beliau Saw dan kami ada (di dalam rumah beliau), lalu berkata: “Para Imam itu dari Quraisy.” (Al-Musnad, juz 3, hal. 139 dan juz 4, hal. 421). Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam Kitab Al-Anbiya’ dengan lafazh: Dari Mu’awiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini ada di tangan Quraisy. Tidak seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkal/tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agama (Islam).” (lihat Shahih Bukhari, juz 6, hal. 389). Beliau juga meriwayatkan hadits itu dari Abdullah bin Umar r.a. dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (Idem, juz 6, hal. 389). Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani tentang sanad hadits itu berkata: “Para perawinya (rijâl hadits) tergolong dalam para perawi yang shahih, tetapi dalam sanad ini ada keterputusan (inqithâ’).” (Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 231). Dan hadits Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-Imârah dengan lafazh: “Urusan (pemerintahan khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dua orang di antara manusia.” (Shahih Muslim, juz 12, hal. 201). Imam Muslim meriwayatkan hadits serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazh: “Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemerintahan) ini. Yang muslim mengikuti kaum muslimin dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dari kalangan mereka.” (Shahih Muslim, Juz 12, hal. 200).
Dalam Sunan At-Tirmidzi, juz 4, hal. 503, diriwayatkan hadits dari Amr bin Al ‘Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw bersabda: “Quraisy adalah pemimpin manusia (wulâtun nâs) dalam kebaikan dan keburukan hingga hari qiyamat” dan Imam At-Tirmidzi berkata: “[i]Hadits ini adalah hadits hasan gharib shahih.” Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz 8, hal. 144, diriwayatkan hadits dari ‘Atha’ bin Yasar bahwasanya Rasulullah Saw bersabda kepada orang-orang Quraisy: “Kalian adalah manusia yang paling layak memegang urusan (pemerintahan) ini selama kalian berada dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dari kebenaran maka kalian akan dikupas habis sebagaimana kulit kayu ini dikupas! —Beliau menunjuk sebuah kayu yang ada ditangannya.” Dan Imam Syafi’i meriwayatkannya dengan lafazh yang sama dalam Al-Musnad bagian Mu’amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa telah sampai padanya bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Persilahkan Quraisy tampil kedepan (untuk memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan (untuk memimpin). Belajarlah dari Quraisy dan jangan mengajari mereka.” (Imam Syafi’i, Idem, hal. 194).
Dalam kitab Majmu’ Az-Zawâid karya Al-Haitsami dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Tetaplah bersama Quraisy selama mereka tetap bersama kalian. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka angkatlah pedang kalian diatas pundak kalian, lalu musnahkahlah pemimpin-pemimpin (quraisy) itu. Jika kalian tidak melakukannya, maka jadilah sebagai kaum petani yang payang hidupnya dimana kalian akan makan hanya dari hasil jeritan kalian.” Al-Haitsami berkata: Hadits ini telah diriwatkan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath, dan para perawi As Shaghîr terpercaya (lihat juz 5, hal. 228).
Tentang hadits “Para Imam dari Quraisy” Al-Halabi berkata dalam Sirah Halabiyah, juz 2, hal. 480: “Hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan sekitar 40 shahabat.” Imam Ibnu Hazm menilai hadits tersebut mutawatir. Dia berkata: “Riwayat hadits ini datang secara tawatur.” (Al-Fashal fil Milal wal Ahwâ’ wan Nihal, juz 4, hal. 89).
Imam Ibnu Taimiyyah cenderung menilai hadits itu mutawatir dari segi maknanya saja dan bukan dari segi sanadnya (Minhâjus Sunnah An-Nabawiyyah, juz 2, hal. 85-86). Apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah itulah yang benar. Sebab, diterimanya penilaian itu tidak berdasarkan banyaknya perawi yang meriwayatkan hadits, tetapi pada dipenuhinya syarat-syarat tawatur oleh sebuah hadits.
Fiqh Al-Hadits (Pengertian Hadits)
Syarat keturunan (nasab) Quraisy telah mendapatkan perhatian besar dalam pengangkatan Imam atau Khalifah dari jumhur para ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar di antara para ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan) dalam mengakadkan khalifah —yang berpendapat bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menjadi khalifah— dengan kalangan yang memasukkannya sebagai syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata. Bahkan para mufakkirin kontemporer semacam Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal 28 dan Dr. Al-Khurbuthli dalam kitab Al-Islam wal Khilafah hal. 59, mereka menolak keshahihan hadits tersebut dan menganggapnya tidak jelas asal usulnya dalam syara’ berdasarkan ketiadaan nash yang shahih yang menunjukkannya.
Madzhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi’ah, sebagian kelompok Mu’tazilah, dan sebagian besar kelompok Murji’ah berpendapat bahwa keturunan Quraisy merupakan syarat in’iqaad khilafah< (Imam Ibnu Hazm, Al-Fashl fil Milal wan Nihal, juz 4, hal. 89; Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 2, hal. 134; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 522-524; dan Al-Qalqassyandi, Mâtsirul Inâfah fi Ma’âlimil Khilafah, juz 1, hal. 38). Imam Malik berkata: “Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy.” ( Ibnu Arabi, Ahkâmul Qur’an, juz 4, hal. 1709). Imam Ahmad berkata: “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy.[/i]” (Abu Ya’la al Farrâ’[/b], Al-Ahkam As-Sulthâniyah, hal 20). Mereka berargumentasi dengan dalil hadits “Para Imam dari Quraisy” dan ijma’ shahabat, sebab Abu Bakar r.a. telah berdalil dengan sabda Rasulullah Saw: “Para imam dari Quraisy” ketika beradu argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang masalah imamah. Argumentasi itu disaksikan oleh para shahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khalifah (lihat Abul Hasan Al-Asy’ari, Maqalât Al-Islamiyyîn, juz 1, hal. 41; Ibul Arabi, Al-‘Awâshim minal Qawâshim, hal 43; Al-Mawardi, Al-Ahkâm As-Sulthâniyyah, hal. 5-6; dan Al-Aijî, Al-Mawâqif, juz 8, hal. 350; dan Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq, hal. 15).
Sedangkan al Khawarij, jumhur kalangan Mu’tazilah, sebagian Murji’ah, Qadli Abu Bakar Al-Bâqilâni, sebagian kelompok Ghulat al Imâmiyyah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnul Hajar Al-‘Asqalani, dan para ulama kontemporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah bukan termasuk syarat in’iqad (lihat Al-Amidi, Al-Fashl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal, juz 4, hal. 89 dan Ghâyatul Maram fi Ilmil Kalam, hal 383; Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2, hal. 524; Syaikh Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab As-Siyâsah As-Syar’iyyah hal. 27; Dr. Abdul Hamid Mutawalli, Mabâdi Nizham al Hukm fil Islam, hal. 613; dan Dr. Al Khurbuthli, Al-Islam wal Khilafah, hal. 35).
Wajhul Istidlal Hadits Ini (Motif Dasar Dalil)
Sesungguhnya hadits-hadits yang ada menyebut persyaratan nasab Quraisy bagi kepemimpinan kaum muslimin, sekalipun menunjukkan bahwa manusia yang paling berhak untuk memegang jabatan khilafah adalah orang Quraisy, hanya saja hal itu tidak menunjukkan bathilnya kehilafahan dari selain mereka. Juga tidak menunjukkan pembatasan bahwa kursi kekhilafaan hanya untuk Quraisy dan tidak sah jika diakadkan/diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, syarat nasab Quraisy termasuk syarat afdlaliyyah, bukan termasuk syarat in’iqad. Inilah pendapat yang benar dalam perkara ini.
Argumentasinya nampak pada beberapa segi:
Pertama, Sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan dan sanadnya shahih dari Rasulullah Saw seperti hadits Anas: “Para imam adalah dari Quraisy” dan hadits Mu’awiyah “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy” dan yang serupa dengannya sekalipun dari hadits-hadits itu dapat difahami penentuan kekhilafahan Quraisy, hanya saja dalam hadits-hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa selain Quraisy tidak boleh memegang jabatan khilafah, tapi menunjukkan bahwa Quraisy punya hak dalam hal itu dari segi keutamaan lantaran posisi sentral Quraisy sebelum Islam dan kedudukan mereka di antara orang-orang Arab.
Ketika datang Islam memecahkan masalah dalam realitas yang ada di antara manusia, yaitu keadaan masyarakat yang tidak mau menerima kepemimpinan selain dari Quraisy. Mereka tidak rela kalau yang berkuasa mengatur urusan mereka adalah orang selain Quraisy. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq r.a. dalam pidato beliau di Saqifah Bani Saaidah Beliau r.a. mengatakan: “Sesungguhnya perkara (pemerintahan/ khilafah) ini berada pada Quraisy selama mereka taat kepada Allah dan istiqamah dalam menjalankan perintahNya, dan telah sampai kepada kalian hal itu dan kalian mendengarnya dari nabi kalian.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dalam Al-Kitab Al-Kabir dan itu dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 235). Hal itu juga terdapat pada karya Ibnu Hazm dengan lafazh: Dan tidak akan mengakui bangsa Arab perkara ini (pemerintahan) kacuali dipegang oleh suku dari Quraisy ini., mereka adalah kaum Arab yang terkemuka dari segi keturunan dan negeri, yakni mereka adalah bangsa Arab yang paling mulia dan negeri mereka adalah Makkah yang berupakan wilayah yang mulia (Sirah Ibnu Hisyam Juz 2 hal 659).
Kedua, sesungguhnya semua hadits yang diriwayatkan itu , yang menjadikan urusan pemerintahan berada pada orang Quraisy telah ada dalam bentuk khabar dan tidak satu hadits pun datang dalam bentuk perintah. Bentuk khabar menurut para ulama ushul sekalipun memberikan pengertian tuntutan (thalab) tetapi tidak terkategori tuntutan yang pasti (thalaban jaaziman) selama tidak disertai dengan indikasi (qarinah) yang menunjukkan penekanan (ta’kid) dan ternyata tidak ada satu qarinah pun yang menyertainya, tak ada dalam satu riwayat yang shahih. Sehingga menunjukkan bahwa status hukumnya adalah mandub (sunnah) bukan wajib. Jadi syarat nasab Quraisy itu adalah syarat afdlaliyyah bukan syarat in’iqad.
Ketiga, sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata nama), bukan sifat. Dalam istilah ilmu ushul disebut “laqab” (sebutan). Dan mafhum isim atau mafhum laqab tidak diamalkan/dipakai secara mutlak. Sebab isim atau laqab tidak mempunyai mafhum. Para ulama ushul, kecuali Ad-Daqqaq, telah bersepakat mengatakan bahwa laqab tidak mengandung mafhum (Al-Aamidi, Al-Ihkâm fi Ushûlil Ahkâm, juz 2, hal. 160 dan Asy-Syaukani, Irsyâdul Fuhûl ila Tahqiiqil Haqqi min Ilmil Ushûl, hal. 159). Oleh karena itu, penentuan Quraisy bukan berarti tidak menjadikan jabatan khalifah untuk selain Quraisy. Sabda Rasulullah Saw “Sesungguhnya urusan (pemerintahan/khilafah) ini berada pada Quraisy” dan sabdanya pula: “Urusan (pemerintahan) ini selalu di tangan quraisy” tidak berarti bahwa urusan ini, yakni pemerintahan dan khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain Quraisy. Dan tidaklah berarti selalu di tangan mereka itu tidak dibenarkan kalau beada di tangan slain mereka. Tetapi berarti urusan pemerintahan itu di tangan mereka dan bisa (benar) juga di tangan selain mereka. Penentuan keberadaan pemerintahan di tangan mereka bukan berarti mencegah keberadaan khilafah di tangan selain mereka.
Keempat, kalau syarat nasab/keturunan Quraisy menjadi syarat in’iqad, kenapa Rasulullah Saw bersabda: “Selama mereka menegakkan agama (Islam).” Sebab mafhum mukhalafah dari hadits Mu’awiyah “Selama mereka menegakkan agama (Islam)” berarti bahwasanya jika mereka tidak menegakkan agama (Islam), maka urusan (pemerintahan) tersebut keluar dari mereka (Ibnu Hajar, Fâth Al-Bârî, juz 16, hal. 333-334). Jika urusan pemerintahan lepas dari tangan mereka, bolehkah kaum muslimin hidup tanpa Imam yang menyebabkan terbengkalainya hukum dan terhentinya jihad?
Sesungguhnya hukum syar’i menetapkan bahwa mengangkat imam atan Khalifah itu wajib bagi umat. Umat juga wajib memecat penguasa jika dia menampakkan kekufuran yang nyata, baik penguasa itu seorang Quraiys atau bukan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwasanya dia telah mendatangi Rasulullah Saw dan mendengar beliau bersabda:
“Amma ba’du. Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian adalah kaum yang berhak atas urusan (pemerintahan) ini, selama kalian tidak bermaiksiat kepada Allah. Jika kalian bermaksiat kepada-Nya maka dia niscaya akan mengerahkan kepada kalian sekelompok orang yang akan menguliti (mengupas habis) kalian sebagaimana kayu ini dikuliti –beliau menunjuk pada sebuah kayu yang ada di tangan beliau.” Perawi berkata: “Kemudian beliau Saw mengelupas kulit tongkatnya yang kemudian nampak putih keras.” (Al Musnad, juz 6, hal. 176 hadits No. 4380). Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan Al-Ausath dari Tsanban berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Peganglah janji setia kepada Quraisy selama mereka setia (tidak khianat) memimpin kalian. Jika mereka tidak melakukan (khianat dalam memimpin umat) maka angkatlah pedang kalian di atas pundak kalian dan musnahkanlah pemimpin-pemimpin (Quraisy) itu.” (Al-Haitsami, Majmau’ az Zawâid, juz 5, hal. 228).
Hadits-hadits ini tidak menjadikan wewenang pemerintahan (wilayatul amri) pada Quraisy dalam kebenaran maupun kebatilan, tetapi Quraisy hanya diberi wewenang dalam kebenaran saja. Jika mereka dalam keadaan batil, dan yang lain dalam kebenaran, Rasulullah menyuruh tidak mengikuti kebatilan dan melawannya dengan kekuatan fisik. Dari keseluruhan hadits yang ada, tak terbayang kecuali bahwa syarat nasab Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah semata, tidak merupakan syarat in’iqad.
Kelima, Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Umar bin Al Khaththab r.a dengan sanad rijalnya tsiqah (terpercaya) bahwasanya dia berkata: “Jika telah sampai ajalku, dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan kekhilafahan kepadanya.” Maka dia menyebutkan hadits yang di dalamnya ada ungkapan: “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah telah mati maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.[/i]” (Al-Musnad, juz. 16 hal. 236).
Lebih-lebih lagi Umar bin Khaththab r.a mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para shahabat r.a. Dan tidak ada satu riwawatpun yang menyebut bahwasanya mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu dan berhujjah bahwa Khilafah mesti di tangan Quraisy dan tidak boleh di tangan keturunan yang lain. Oleh kerena itu pemahaman inilah yang difahami Umar r.a dan tak seorangpun dari shahabat yang mengingkarinya bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqad.
Keenam, jika kita asumsikan bahwa nasab Quraisy harus dipakai untuk mengakadkan (menyerahkan) khilafah kepada seorang dari Quraisy, tentunya syara’ menjelaskan hal itu. Namun syara’ tidak meminta mempertahankan nasab Quraisy di antara manusia. Bagaimana bisa dibayangkan dalam hal ini kemampuan kaum muslimin mengangkat seorang khalifah dari suku Quraisy ?!
Ini telah disepakati oleh kebanyakan mutakallimin bahwasanya taklif tak ada kaitannya kecuali dengan perbuatan hamba yang dia mampu melakukannya (As-Sarkhasy, Muntaha as Sûl fi ilmil Ushul, juz 1, hal. 35). Dan memelihara nasab Quraisy hingga hari kiamat adalah sesuatu yang diluar kemampuan manusia. Oleh karena itu, nasab itu jika diketahui termasuk syarat afdhaliyah, bukan merupakan syarat in’iqad. Hal ini karena syarat in’iqaad yang akad khilafah tidak bisa disahkan kecuali dengan syarat itu dan seorang calon khilafah harus memenuhinya untuk jabatan khilafah, adalah 7 syarat, yaitu: dia harus seorang muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu melaksanakan tugas-tugas khilafah ( An-Nabhani, Nidzamul Hukmi fil Islam).
Syarat-syarat itulah yang menjadi syarat in’iqaad khilafah dan selain ketujuh syarat itu tidak layak menjadi syarat in’iqad, sekalipun bisa menjadi syarat afdhaliyat. Jika nashnya terbukti shahih. Atau tersubordinasi dari hukum yang telah ditetapkan dengan nash yang shahih, seperti keberadaan khilafah di tangan Quraisy, atau ia seorang ahli ijtihad, atau seseorang yang memiliki pendapat yang dapat membantu dalam memelihara urusan rakyat dan mengatur kemashlahatan mereka, dan lain-lain.
Oleh karena itu, nasab Quraisy, perannya hanya terbatas pada syarat afdhaliyah yang urgensinya menonjol ketika disodorkan nama-nama calon pemangku jabatan khilafah kepada mayoritas kaum muslimin. Dan disodorkan setiap calon dan kelebihannya atas calon-calon lain agar umat dapat membai’at siapa yang mereka inginkan dengan rela dan memilih orang yang mereka inginkan dengan rela tanpa memperhatikan sesuatu apapun selama orang yang dipilih oleh umat telah memenuhi syarat-syarat in’iqad.
Ya Allah, kami mohon kepadaMu daulah Islamiyah yang mulia, Khilafah Rasyidah yang mengikuti pola kenabian yang dengannya Islam dan pemeluknya menjadi mulia serta kekufuran dan pelakunya menjadi hina, dan jadikanlah kami para penyeru (ummat) untuk taat kepada-Mu, dan menjadi pemimpin yang membawa (seluruh manusia) ke jalan-Mu, ya Allah, dan tetapkanlah kami dengan kemuliaan tersebut dunia akhirat, dengan RahmatMu Ya Arhamar Raahimiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar