Oleh: Ust. Badrul Munir
Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan tentang dalil-dalil wajibnya
menegakkan khilafah. Dari penjelasan di situ, sebenarnya sudah sangat
jelas duduk permasalahan hukumnya. Kecuali mereka yang memang hanya
sekedar mencari alibi untuk tidak turut berjuang menunaikan kewajiban
yang agung ini, bahkan berusaha menghalang-halangi langkah perjuangan
para pejuangnya.
Dalam tulisan ringkas ini, penulis sengaja menyuguhkan beberapa
pandangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang wajibnya mengangkat
seorang imam atau khalifah. Sengaja dalam tulisan singkat ini hanya
memaparkan pandangan beberapa ulama yang merupakan representasi dari
empat madzhab yang diakui ASWAJA.
Niat tulus penulis adalah agar generasi kaum
muslimin yang telah tertipu oleh sejarah dan terlanjur menjadi “the
lost generation” kembali lagi pada jalan yang lurus. Sungguh ini hanya
sekedar upaya kecil yang tidak ada nilainya bila di bandingkan dengan
saudara-saudara kita di berbagai belahan dunia yang telah rela
mengorbankan tidak hanya harta, tetapi juga nyawanya demi tegaknya
khilafah. Merekalah orang-orang yang telah membenarkan janjinya di
hadapan Allah SWT.
Berikut beberapa pendapat dari para ulama yang selama ini kita dengar
dan kita taaati. Mereka telah secara objektif menyampaikan perkara ini
pada kita. Sungguh amat naif, apabila kita tidak mau mendengarnya lagi
hanya karena alasan-alasan syahwat kepentingan, baik pribadi maupun
kelompok.
1) Al-Imam Al-qurthubi (seorang ulama dari madzhab Maliki), ketika menafsirkan ayat 30 dari surah Al-Baqarah, beliau berkata1):
”... هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به
الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين
الائمة إلا ما روي عن الاصم..“
“…ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan
khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta
melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada
perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula
diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham,” yang
menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang yang berkata
dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan madzhabnya.
Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal
tersebut melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka menegakkan
hujjah, jihad, mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang
haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa'I, zakat atas yang berhak,
dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka
Allah akan membalas mereka atas hal tersebut.Tidak diwajibkan atas
mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut.
Dalil kami (kata Imam Al-qurthubi) adalah firman Allah Ta'ala:
إني جاعل في الارض خليفة
"sungguh Kami jadikan di bumi itu khalifah" (TQS Al Baqarah: 30)
Dan firman-Nya Ta'ala:
يا داود إنا جعلناك خليفة في الارض
"Wahai Dawud sesungguhnya Kami jadikan kamu khalifah di bumi" (TQS Shad:26)
Dan firman-Nya:
وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الارض
"Allah telah menjanjikan bagi mereka yang beriman dari kalian dan beramal shalih untuk istikhlaf di bumi" (TQS An Nur:55).
2) Imam Zakariya An Nawawi, dari madzhab Syafi’i, mengatakan2):
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب
خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ
عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِب ، وَعَنْ غَيْره أَنَّهُ يَجِب
بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ ،
“ Dan mereka (para ulama’ kaum muslimin) telah sepakat bahwasanya
wajib bagi kaum muslimin mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini
berdasrkan syara’ bukan akal. Adapun yang diriwayatkan dari Al Ashom
bahwasanya dia mengatakan: tidak wajib, atau dari selainnya, yang
mengatakan wajib berdasarkan akal, bukan syara’, maka dua pandangan itu
adalah bathil.”
3) Imam 'Alauddin al-Kasaniy, seorang ulama besar dari madzhab Hanafiy menyatakan3):
وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ
بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ
الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ
، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ
الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ
الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
“ Dan karena sesungguhnya mengangkat seorang imamul a’dzom
itu fardhu. Tidak ada perbedaan di antara para ahlul haq (ahlus
sunnah) - dan tidak usah dianggap apa yang dikatakan oleh sebagian
pengikut qodariyyah - berdasakan ijma’ shahabat r.a. atas hal itu, dan
karena kebutuhan yang sangat urgen terhadap keberadaan imam, untuk
menerapkan hukum-hukum syariah, membela orang yang didzolimi dari yang
mendzolimi, menghentikan pertentangan yang merupakan sumber kerusakan,
dan lain sebagainya yang tidak mungkin terealisir tanpa adanya seorang
imam.”
4) Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbaliy, seorang ulama madzhab Hanbaliy menyatakan4):
...وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما
يصلح للذكر والأنثى ... ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام
وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا
خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه ...
“…ayat ini adalah dalil atas wajibnya mengangkat seorang imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk
menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum
tentang khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut
diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Ashom.”
Jadi jelaslah bahwa para ulama dari empat madzhab yang mu’tabar di
kalangan aswaja berpandangan sama tentang wajibnya mengangkat seorang
khalifah. Bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang menyangkal
kewajiban ini adalah tergolong dalam kelompok Mu’tazilah dan Qodariyyah.
Tentu saja, ketika mereka menulis pandangan-pandang tersebut di atas,
khilafah masih tegak berdiri dengan kokohnya. Sehingga terminologi imam
dan khilafah serta amirul mukminin telah begitu dikenal luas kala itu.
Sebagai buktinya, Imam an Nawawi menjelaskan penggunaan kata imam,
kahlifah, dan amirul mukminin di tengah-tengah kaum muslimin pada waktu
itu menunjuk pada sato konotasi yang sama, yaitu khalifah. Ummat
terkadang menyebut penguasa mereka dengan sebutan imam, amirul mukminin,
dan juga khalifah. Beliau mengatakan5):
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )
“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul
Mukminin”. [Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi,
Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, juz X hal 49; Syeikh Khatib
Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz IV, hal 132]
Sebagai penguat pandangan para imam di atas, kami tegaskan sekali lagi
bahwa menegakkan khilafah dengan mengangkat seorang khalifah, telah
ditetapkan berdasarkan ijma’ shahabat r.a. Hal ini ditegaskan oleh Allamah Ibnu Hajar al-Haitami, ketika beliau menyatakan6):
اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على
أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث
اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع
المذكور
“Ketahuilah juga bahwa para shahabat r.a. telah berijma’ atas wajibnya
mengangkat seorang imam pasca selesainya zaman kenabian, bahkan mereka
menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting, di
mana mereka lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah dari pada
mengubburkan jenazah Rasulullah SAW...”
Demikianlah pandangan ulama yang masih belum terkontaminasi oleh
pengaruh sistem yang dikenal umat sekarang ini. Merekalah ulama yang
mukhlis yang kepadanya kita layak menyandarkan pendapat. Bukan berarti
saat ini tidak ada ulama seperti mereka. Buktinya, sudah semakin banyak
ulama yang menyadari dan akhirnya ikut berperan aktif dalam upaya
perjuangan penegakan khilafah. Kami yakin, pada akhirnya hanya kebenaran
yang sanggup bertahan dalam perang melawan kebathilan. Wallaahu waliyyut taufiiq wa ilaihil musta’aan.
Daftar Maroji’:
1). Al Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al Qurthubi, Al Jaami' li Ahkamil Qur'an, juz 1 hal 264-265
2) Imam Zakaria An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 6, hal. 291
3) Imam 'Alauddin al-Kasaniy, Bada'iush Shanai' fii Tartibis Syarai', juz 14 hal. 406
4) Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbaliy, Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, juz 1 hal. 204
5) Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi,
Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, juz X hal 49; Syeikh Khatib
Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz IV, hal 132
6) Allamah Ibnu Hajar al-Haitamiy, Ash Shawaa'iqul Muhriqah, Juz 1, hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar