Minggu, 11 Desember 2011

KEKERASAN DALAM TIMBANGAN SYARIAT (Yang Boleh dan Yang Terlarang)

Di tengah banyaknya aksi kekerasan saat ini, mendudukkan penggunaan kekerasan secara syar‘î—mana yang absah dan mana yang tidak—penting dikedepankan agar dapat dilahirkan sikap yang benar. Kekerasan pada saat ini dilakukan dalam berbagai perspektif:
Pertama, dalam rangka merespon serangan musuh;
kedua, dalam rangka menghilangkan kemungkaran (izâlah al-munkar) atau mengubah kemungkaran ( taghyîr al-munkar);
ketiga, dalam rangka amar makruf nahi munkar;
keempat, sebagai metode menyerukan Islam atau mengemban dakwah Islam dan mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm atau sebagai metode agar Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.

Dengan menganalisis nash-nash syariat berkenaan dengan penggunaan kekuatan fisik, akan kita dapati bahwa penggunaan kekuatan fisik (kekerasan) saat ini ada yang absah dan ada yang tidak.

Merespon serangan musuh.

Serangan orang-orang kafir terhadap  kaum Muslim pada saat ini terjadi dalam dua bentuk.

Pertama, serangan peradaban (pemikiran) dalam perang peradaban;
kedua, serangan fisik (militer) seperti invasi ke Afganistan, Irak, Palestina, dll.

Islam menentukan respon serangan pemikiran dengan melakukan ash-shirâ’ al-fikrî (perang pemikiran), yaitu dengan menyerang balik peradaban dan pemikiran kufur secara pemikiran, meruntuhkan argumentasinya, menjelaskan keburukannya, dan menyingkap kezalimannya; kemudian menjelaskan pemikiran Islam dengan didukung dengan hujah yang gamblang.

Pemikiran kufur jelas tidak bisa diruntuhkan dengan menghancurkan bangunan fisik milik orang-orang kafir. Ia akan runtuh hanya jika dijelaskan kebatilan dan keburukannya sekaligus diruntuhkan argumentasinya.  Hal ini hanya bisa dilakukan dengan aktivitas ash-shirâ’ al-fikrî (perang pemikiran).

Berkaitan dengan serangan yang kedua, Allah berfirman:

]أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا[

Telah diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dizalimi.  (QS al-Hajj [22]: 39).

Ar-Razi berpendapat bahwa frasa   karena mereka dizalimi dalam ayat di atas mengandung maksud bahwa mereka diizinkan berperang disebabkan keadaan mereka sedang dizalimi. Menurut asy-Syuwaiki ayat ini menjelaskan tindakan perang membalas serangan, yakni menolak atau membalas serangan kekuatan dengan menggunakan kekuatan. Bahkan Allah Swt. berfirman:

]فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ[

Siapa saja yang menyerang kalian maka seranglah secara seimbang sebagaimana  serangan mereka terhadap kalian.  (QS al-Baqarah [2]: 194).

Jika satu negeri Islam diserang musuh maka kaum Muslim wajib melakukan jihâd difâ‘î (jihad defensif) untuk mempertahankannya dan membalas serangan itu dengan memerangi dan mengusir musuh.

Serangan militer atau pendudukan suatu wilayah negeri Islam biasanya dilakukan oleh negara asing. Upaya menggalang kekuatan untuk jihâd difâ‘î  akan sempurna hanya jika dilakukan oleh negara.  Dalam konteks Islam, negara yang dimaksud adalah Daulah Khilafah Islamiyah.  Invasi atas Afganistan, Irak, Bosnia, dan lain-lain menunjukkan perlunya Daulah Khilafah Islamiyah sebagai solusi paripurna.  Upaya menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah sangat mendesak dilakukan.  Hanya saja, tidak boleh dilakukan dengan kekerasan—sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Taghyîr al-munkar atau izâlah al-munkar.


Al-Munkar  (kemungkaran) adalah semua yang dicela dan diharamkan oleh syariat.  Meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan terkategori sebagai kemungkaran. Kemungkaran bisa dilakukan oleh individu semisal meninggalkan shalat, tidak mau membayar zakat; biasa juga oleh jamaah atau negara. Pihak yang melakukan taghyîr al-munkar (mengubah kemungkaran) atau menghilangkannya (izâlah al-munkar) juga bisa individu, jamaah, atau negara.
Penguasa Islam adalah pelaksana pemeliharaan urusan rakyat dengan hukum-hukum syariat. Secara syar‘î, dialah yang bertanggung jawab melarang kemungkaran, baik yang terjadi dari individu ataupun jamaah.  Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيِّتِهِ»

Imam adalah seorang pengatur dan pemelihara maka dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengaturan dan pemeliharaannya. (HR Muslim).

Allah telah mewakilkan kepada penguasa untuk memaksa orang, baik individu maupun jamaah, agar melaksanakan seluruh kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah dan agar tidak tergelincir melakukan keharaman yang diharamkan oleh Allah.  Jika hal ini menuntut penggunaan kekuatan maka ia wajib menggunakan kekuatan. Dengan demikian, negaralah yang paling pokok dibebani untuk menghilangkan kemungkaran menggunakan kekuatan. Sebab, secara syar‘î, negara bertanggung jawab atas implementasi Islam dan pemaksaan orang untuk melaksanakan hukum Islam.

Adapun berkaitan dengan individu, jika ia melihat kemungkaran maka ia berkewajiban mengubahnya. Abu Sa‘id al-Khudzri menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ اْلإِمَانِ»

Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu,  hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).

Tidak ada keringan (rukhshah) dalam ketidaksukaan akan kemungkaran;  menghilangkannya dilakukan sesuai dengan kemampuan.  Aktivitas taghyîr al-munkar yang dijelaskan dalam hadis ini bersifat individual, yakni berlaku bagi seseorang yang melihat kemungkaran.  Hadis tersebut tidak ada hubungannya dengan aktivitas jamaah.  Sebab, Rasul bersabda, “man ra’a minkum (siapa di antara kalian yang melihat),” artinya kewajiban itu hanya bagi seseorang yang melihat, sedangkan bagi mereka yang tidak melihatnya tidak termasuk dalam seruan hadis ini.  Rasul juga tidak mengatakan, “idzâ ra‘aytum (jika kalian melihat), tetapi mengatakan man ra’a minkum (siapa di antara kalian yang melihat).”

Semua ketentuan di atas berkenaan dengan kemungkaran yang dilakukan oleh individu atau jamaah.  Adapun kemungkaran yang berasal dari negara atau penguasa seperti memakan harta rakyat secara zalim, menelantarkan urusan rakyat, mengabaikan kewajiban, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka Islam mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk mengoreksi, mengingkari, dan berupaya mengubahnya.  Perubahan dan pengingkaran dalam bentuk mengoreksi penguasa dilakukan dengan lisan dan tidak boleh menggunakan kekuatan fisik, kecuali hanya ketika tampak kekufuran secara terang-terangan. ‘Ubadah bin Shamit, sebagaimana dituturkan Junadah bin Abi Ummayyah, berkata:

«…وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»

…agar kami tidak  merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda beliau) “Jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan yang dapat dibuktikan berdasar keterangan dari Allah.” (HR al-Bukhari).

Hanya saja, hadis ini berlaku bagi penguasa dalam sistem Islam, tidak bagi penguasa sistem selain Islam.

Adapun amar makruf nahi mungkar merupakan aktivitas yang secara syar‘î wajib. Aktivitas memerintah dan melarang adalah aktivitas lisan atau melalui tulisan dan bukan dengan kekuatan fisik. Allah berfirman:

]اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ[

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).

Menyeru, mengingatkan, dan mendebat adalah aktivitas lisan; bisa juga dengan tulisan, dan bukan dengan aktivitas fisik atau kekerasan.

Mengubah dâr al-kufr menjadi dâr al-Islâm.


Realitas yang ada adalah bahwa negeri Islam saat ini merupakan dâr al-kufr karena di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam dan keamanannya tidak sepenuhnya berada di tangan kaum Muslim.  Kaum Muslim wajib mengubahnya menjadi Dâr al-Islâm.  Upaya perubahan ini harus dilakukan melalui perubahan yang bersifat mendasar dan total (taghyîr al-judzûrî). Upaya ini juga tidak mungkin terlaksana secara sempurna melalui aktivitas individual, karena individu tidak mampu melakukannya; hanya akan tercapai dengan aktivitas kolektif. Oleh karena itu, upaya ini mengharuskan adanya partai politik.

Sebagian ada yang memilih aktivitas bersenjata untuk mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm dengan argumentasi hadis yang dituturkan ‘Ubadah bin Shamit di atas. Mereka juga melandaskan argumentasinya pada hadis penuturan ‘Auf bin Malik berikut:

»قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ«

Dikatakan, “Wahai Rasulullah, apakah tidak kami perangi saja dengan pedang?”  Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. (HR Muslim).

Jika kita menganalisis hadis tentang inkâr al-munkar dan kedua hadis di atas, semuanya tidak bisa menjadi dalil bagi aktivitas kolektif bersenjata dalam rangka mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm.  Ini bisa dilihat dari beberapa segi.
Pertama, hadis inkâr al-munkar berkaitan dengan aktivitas individual, bukan kolektif, seperti telah dijelaskan di atas, sedangkan aktivitas individual tidak mampu mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm.

Kedua, hadis di atas berkenaan dengan dâr al-Islâm, bukan Dâr al-Kufr. Manâth (obyek) kedua hadis tersebut adalah seorang penguasa Dâr al-Islâm (Daulah Islamiyah) yang melakukan kekufuran secara terang-terangan, misalnya menerapkan sebagian hukum kufur. Dalam kondisi seperti ini, tindakan penguasa tersebut wajib diubah dengan pedang. Teks hadis illâ an taraw kufr[an] bawâh[an] (kecuali kalian melihat kekufuran secara terang-terangan), artinya awalnya belum melihatnya, lalu melihatnya, maka wajib mengubahnya dengan pedang.  Teks hadis mâ aqâmû fîkum ash-shalâh (selama mereka masih menegakkan shalat), maksudnya selama mereka hukum Islam. Artinya, ketika penguasa tidak lagi menegakkan hukum Islam, ia wajib diubah dengan pedang.

  Jadi teks kedua hadis di atas menunjukkan bahwa tampaknya kufr bawâhan dan tidak adanya implementasi hukum Islam terjadi jika sebelumnya diterapkan hukum Islam, yakni di Dâr al-Islâm. Contoh yang tepat adalah ketika Mushthafa Kemal menghapus sistem Khilafah di Istambul. Pada kondisi itu, kaum Muslim wajib memeranginya dengan pedang, yakni menggunakan kekuatan fisik atau militer.  Namun sayang, hal ini tidak dilakukan.

Adapun berkaitan dengan dâr al-kufr, untuk mengubahnya menjadi Dâr al-Islâm, Allah mewajibkan kita untuk meneladani Rasulullah. Rasulullah tidak menggunakan kekuatan fisik untuk itu. Beliau hanya membatasi diri dengan melakukan aktivitas ash-shirâ’ al-fikrî (pertarungan pemikiran),  kifâh as-siyâsî (perjuangan politik) dan terus mencari pertolongan (thalâb an-nushrah).  Bahkan, pada saat Baiat Aqabah II, utusan kaum Muslim Madinah menawarkan diri untuk memerangi orang Quraisy. Akan tetapi, beiau menolak seraya bersabda:

«لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ»

Kita belum diperintahkan melakukan yang demikian (berperang).

Realitas menunjukkan bahwa penggunaan senjata tidak cukup untuk mengubah penguasa agar menerapkan sistem Islam dan menunaikan kewajiban Islam. Sebab,  aktivitas ini memerlukan negarawan dan politikus Islam.  Urusan pemerintahan bukanlah perkara mudah dan sederhana, sekalipun pemimpin militer mampu meraih kekuasaan, sangat mungkin yang terjadi adalah pemerintahan militeristik dan kepemimpinannya bersifat militeristik (qiyâdah ‘asykariyyah). Aktivitas pemerintahan tidak cukup dengan modal keahlian militer, tetapi memerlukan pengalaman dan keahlian politis mengurus urusan masyarakat dan kekontinuan pengurusannya. Ini hanya ada pada diri negarawan dan politikus yang dilatih secara kontinu melalui partai (kelompok) politik.

Upaya mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm ketika belum ada Daulah Islamiyah haruslah sesuai dengan metode Rasulullah, yaitu ‘an tharîq al-umah  (melalui jalan/kekuatan umat).  Hal ini tercapai melalui aktivitas kolektif dengan tegaknya partai politik yang beraktivitas secara politik dengan melakukan tatsqîf (pembinaan) terhadap kaum Muslim agar berkepribadian islami dan menyiapkan mereka untuk mengemban dakwah;  ash-shirâ’ al-fikrî untuk menentang pemikiran kufur, menjelaskan kebatilannya, dan menelanjangi keburukannya; sekaligus menjelaskan kesahihan, kebaikan, serta keadilan pemikiran dan sistem Islam; kifâh as-siyâsiy dengan menentang para pembesar kekufuran dan memutus keterikatan masyarakat kepada mereka; thalâb an-nushrah mencari pertolongan dengan maksud mengubah kekuatan yang ada di tengah umat menjadi kekuatan untuk menerapkan sistem Islam.  Dengan begitulah Rasul berhasil  mewujudkan penerapan sistem Islam melalui tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah.

Tanggung jawab Daulah Islamiyah


Ketika Daulah Islamiyah sudah tegak, kaum Muslim yang masih tinggal di dâr al-kufr tetap tidak diminta (tidak boleh) menggunakan kekuatan bersenjata mengubah negeri tempat tinggalnya (dâr al-kufr) menjadi bagian dari Dâr al-Islâm.  Hal ini berdasar persetujuan Rasul terhadap kaum Muslim yang tetap tinggal di Makkah ketika sudah berdiri Daulah Islamiyah di Madinah; mereka tetap hidup diatur dengan hukum kufur di Makah.  Sekalipun nash kewajiban jihad sudah turun, Rasul tidak meminta mereka untuk mengubah Makkah atau menggabungkan Makkah ke dalam Daulah Islamiyah di Madinah dengan menggunakan kekuatan senjata.  Kewajiban mereka adalah mendakwahkan Islam dengan hikmah (argumentasi yang jelas), peringatan yang baik, dan dengan mendebat pemikiran kufur dengan cara yang lebih baik.
Daulah Islamlah yang akan mengubahnya dengan kekuatan militer melalui jihad.  Hanya saja jihad (perang) dilakukan dalam rangka mengemban Islam kepada umat lain, bukan dalam rangka penjajahan seperti yang dilakukan barat.  Sekalipun sebab kewajiban jihad ofensif adalah adanya kekufuran, bukan berarti jihad dilakukan untuk memaksa orang kafir agar memeluk Islam. Jihad ofensif justru dilakukan dalam rangka membebaskan umat lain dari kezaliman sistem selain Islam dan memberikan keadilan Islam.

Sulaiman bin Buraidah menceritakan bahwa setiap kali Rasulullah mengangkat seseorang menjadi pemimpin pasukan atau ekspedisi, beliau secara khusus berpesan akan kebaikan kepadanya dan umumnya kepada kaum Muslim; lalu tidak boleh membunuh manula, wanita, dan anak-anak; tidak mencincang, dan sebagainya. Beliau kemudian bersabda:
«فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
Serulah mereka pada tiga hal; yang mana saja mereka terima, terimalah dan tahanlah diri kalian dari (memerangi) mereka. Serulah mereka pada Islam; jika mereka menerimanya, terimalah dan tahanlah dari (memerangi) mereka. Kemudian, serulah mereka untuk mengubah (menggabungkan) negara mereka ke negara Muhajirin (Dâr al-Islâm) dan beritahukan, jika mereka melakukannya maka bagi mereka hak seperti hak bagi kaum Muhajirin dan atas mereka kewajiban seperti kewajiban kaum muhajirin; jika mereka menolak mengubah negeri mereka maka beritahulah mereka bahwa mereka akan menjadi seperti orang Arab di tengah-tengah kaum Muslim, tidak berlaku bagi mereka hukum yang berlaku bagi kaum Mukmin; jika mereka menolak maka mintalah mereka membayar jizyah; jika mereka menerima seruanmu maka terimalah dari mereka dan cukupkanlah dari mereka; jika mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah atas mereka dan perangilah mereka. (HR Muslim).

Dari hadis ini jelas bahwa jihad adalah pembebasan penduduk negeri yang diperangi, bukan penjajahan. Sebab, setelah futûhât mereka memiliki persamaan derajat dengan kaum Muslim dari sisi hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam catatan sejarah, penduduk berbagai negeri justru bersukacita ketika negerinya dibebaskan oleh pasukan Islam dari tirani kerajaan dan diktator. Rakyat Afrika, setelah dibebaskan oleh kaum Muslim, dapat hidup sejahtera hingga pada masa Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak ada orang yang mengambil harta zakat. Ketika Perang Salib, pasukan Salib menyerbu negeri Islam dan mereka menyeru saudara Kristen mereka di timur (di negeri Islam). Namun, yang menyeru justru mengalami shock, karena saudara Kristen mereka di negeri Islam menjawab bahwa kaum Muslim telah melindungi mereka sejak berabad-abad dan mereka tidak ingin sistem Islam lenyap dari mereka. Inilah pukulan hebat yang membuat pasukan Salib limbung dan hancur semangatnya.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus