Di tengah banyaknya aksi kekerasan saat ini, mendudukkan penggunaan
kekerasan secara syar‘î—mana yang absah dan mana yang tidak—penting
dikedepankan agar dapat dilahirkan sikap yang benar. Kekerasan pada saat
ini dilakukan dalam berbagai perspektif:
Pertama, dalam rangka merespon serangan musuh;
kedua, dalam rangka menghilangkan kemungkaran (izâlah al-munkar) atau mengubah kemungkaran ( taghyîr al-munkar);
ketiga, dalam rangka amar makruf nahi munkar;
keempat,
sebagai metode menyerukan Islam atau mengemban dakwah Islam dan
mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm atau sebagai metode agar
Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Dengan
menganalisis nash-nash syariat berkenaan dengan penggunaan kekuatan
fisik, akan kita dapati bahwa penggunaan kekuatan fisik (kekerasan)
saat ini ada yang absah dan ada yang tidak.
Merespon serangan musuh.
Serangan orang-orang kafir terhadap kaum Muslim pada saat ini terjadi dalam dua bentuk.
Pertama, serangan peradaban (pemikiran) dalam perang peradaban;
kedua, serangan fisik (militer) seperti invasi ke Afganistan, Irak, Palestina, dll.
Islam
menentukan respon serangan pemikiran dengan melakukan ash-shirâ’
al-fikrî (perang pemikiran), yaitu dengan menyerang balik peradaban dan
pemikiran kufur secara pemikiran, meruntuhkan argumentasinya,
menjelaskan keburukannya, dan menyingkap kezalimannya; kemudian
menjelaskan pemikiran Islam dengan didukung dengan hujah yang gamblang.
Pemikiran
kufur jelas tidak bisa diruntuhkan dengan menghancurkan bangunan fisik
milik orang-orang kafir. Ia akan runtuh hanya jika dijelaskan
kebatilan dan keburukannya sekaligus diruntuhkan argumentasinya. Hal
ini hanya bisa dilakukan dengan aktivitas ash-shirâ’ al-fikrî (perang
pemikiran).
Berkaitan dengan serangan yang kedua, Allah berfirman:
]أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا[
Telah diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. (QS al-Hajj [22]: 39).
Ar-Razi
berpendapat bahwa frasa karena mereka dizalimi dalam ayat di atas
mengandung maksud bahwa mereka diizinkan berperang disebabkan keadaan
mereka sedang dizalimi. Menurut asy-Syuwaiki ayat ini menjelaskan
tindakan perang membalas serangan, yakni menolak atau membalas serangan
kekuatan dengan menggunakan kekuatan. Bahkan Allah Swt. berfirman:
]فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ[
Siapa
saja yang menyerang kalian maka seranglah secara seimbang sebagaimana
serangan mereka terhadap kalian. (QS al-Baqarah [2]: 194).
Jika satu negeri Islam diserang musuh maka kaum Muslim wajib melakukan jihâd difâ‘î (jihad defensif) untuk mempertahankannya dan membalas serangan itu dengan memerangi dan mengusir musuh.
Serangan
militer atau pendudukan suatu wilayah negeri Islam biasanya dilakukan
oleh negara asing. Upaya menggalang kekuatan untuk jihâd difâ‘î akan
sempurna hanya jika dilakukan oleh negara. Dalam konteks Islam, negara
yang dimaksud adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Invasi atas
Afganistan, Irak, Bosnia, dan lain-lain menunjukkan perlunya Daulah
Khilafah Islamiyah sebagai solusi paripurna. Upaya menegakkan Daulah
Khilafah Islamiyah sangat mendesak dilakukan. Hanya saja, tidak boleh
dilakukan dengan kekerasan—sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Taghyîr al-munkar atau izâlah al-munkar.
Al-Munkar
(kemungkaran) adalah semua yang dicela dan diharamkan oleh syariat.
Meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan terkategori
sebagai kemungkaran. Kemungkaran bisa dilakukan oleh individu semisal
meninggalkan shalat, tidak mau membayar zakat; biasa juga oleh jamaah
atau negara. Pihak yang melakukan taghyîr al-munkar (mengubah
kemungkaran) atau menghilangkannya (izâlah al-munkar) juga bisa
individu, jamaah, atau negara.
Penguasa Islam adalah pelaksana
pemeliharaan urusan rakyat dengan hukum-hukum syariat. Secara syar‘î,
dialah yang bertanggung jawab melarang kemungkaran, baik yang terjadi
dari individu ataupun jamaah. Rasulullah saw. bersabda:
«اَلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيِّتِهِ»
Imam
adalah seorang pengatur dan pemelihara maka dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas pengaturan dan pemeliharaannya. (HR Muslim).
Allah
telah mewakilkan kepada penguasa untuk memaksa orang, baik individu
maupun jamaah, agar melaksanakan seluruh kewajiban yang telah
diwajibkan oleh Allah dan agar tidak tergelincir melakukan keharaman
yang diharamkan oleh Allah. Jika hal ini menuntut penggunaan kekuatan
maka ia wajib menggunakan kekuatan. Dengan demikian, negaralah yang
paling pokok dibebani untuk menghilangkan kemungkaran menggunakan
kekuatan. Sebab, secara syar‘î, negara bertanggung jawab atas
implementasi Islam dan pemaksaan orang untuk melaksanakan hukum Islam.
Adapun
berkaitan dengan individu, jika ia melihat kemungkaran maka ia
berkewajiban mengubahnya. Abu Sa‘id al-Khudzri menuturkan bahwa ia
pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
«مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَاِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ
اْلإِمَانِ»
Siapa saja di antara kalian yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak
mampu, hendaklah dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dengan
hatinya. Akan tetapi, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.
(HR Muslim).
Tidak ada keringan (rukhshah) dalam
ketidaksukaan akan kemungkaran; menghilangkannya dilakukan sesuai
dengan kemampuan. Aktivitas taghyîr al-munkar yang dijelaskan dalam
hadis ini bersifat individual, yakni berlaku bagi seseorang yang
melihat kemungkaran. Hadis tersebut tidak ada hubungannya dengan
aktivitas jamaah. Sebab, Rasul bersabda, “man ra’a minkum (siapa di
antara kalian yang melihat),” artinya kewajiban itu hanya bagi
seseorang yang melihat, sedangkan bagi mereka yang tidak melihatnya
tidak termasuk dalam seruan hadis ini. Rasul juga tidak mengatakan,
“idzâ ra‘aytum (jika kalian melihat), tetapi mengatakan man ra’a minkum
(siapa di antara kalian yang melihat).”
Semua ketentuan
di atas berkenaan dengan kemungkaran yang dilakukan oleh individu atau
jamaah. Adapun kemungkaran yang berasal dari negara atau penguasa
seperti memakan harta rakyat secara zalim, menelantarkan urusan rakyat,
mengabaikan kewajiban, atau menyalahi hukum-hukum Islam, maka Islam
mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk mengoreksi, mengingkari,
dan berupaya mengubahnya. Perubahan dan pengingkaran dalam bentuk
mengoreksi penguasa dilakukan dengan lisan dan tidak boleh menggunakan
kekuatan fisik, kecuali hanya ketika tampak kekufuran secara
terang-terangan. ‘Ubadah bin Shamit, sebagaimana dituturkan Junadah bin
Abi Ummayyah, berkata:
«…وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»
…agar
kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda
beliau) “Jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan yang
dapat dibuktikan berdasar keterangan dari Allah.” (HR al-Bukhari).
Hanya saja, hadis ini berlaku bagi penguasa dalam sistem Islam, tidak bagi penguasa sistem selain Islam.
Adapun
amar makruf nahi mungkar merupakan aktivitas yang secara syar‘î wajib.
Aktivitas memerintah dan melarang adalah aktivitas lisan atau melalui
tulisan dan bukan dengan kekuatan fisik. Allah berfirman:
]اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ[
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS an-Nahl [16]: 125).
Menyeru,
mengingatkan, dan mendebat adalah aktivitas lisan; bisa juga dengan
tulisan, dan bukan dengan aktivitas fisik atau kekerasan.
Mengubah dâr al-kufr menjadi dâr al-Islâm.
Realitas
yang ada adalah bahwa negeri Islam saat ini merupakan dâr al-kufr
karena di dalamnya tidak diterapkan hukum Islam dan keamanannya tidak
sepenuhnya berada di tangan kaum Muslim. Kaum Muslim wajib mengubahnya
menjadi Dâr al-Islâm. Upaya perubahan ini harus dilakukan melalui
perubahan yang bersifat mendasar dan total (taghyîr al-judzûrî). Upaya
ini juga tidak mungkin terlaksana secara sempurna melalui aktivitas
individual, karena individu tidak mampu melakukannya; hanya akan
tercapai dengan aktivitas kolektif. Oleh karena itu, upaya ini
mengharuskan adanya partai politik.
Sebagian ada yang
memilih aktivitas bersenjata untuk mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr
al-Islâm dengan argumentasi hadis yang dituturkan ‘Ubadah bin Shamit di
atas. Mereka juga melandaskan argumentasinya pada hadis penuturan ‘Auf
bin Malik berikut:
»قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ«
Dikatakan,
“Wahai Rasulullah, apakah tidak kami perangi saja dengan pedang?”
Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di
tengah-tengah kalian. (HR Muslim).
Jika kita menganalisis
hadis tentang inkâr al-munkar dan kedua hadis di atas, semuanya tidak
bisa menjadi dalil bagi aktivitas kolektif bersenjata dalam rangka
mengubah dâr al-kufr menjadi Dâr al-Islâm. Ini bisa dilihat dari
beberapa segi.
Pertama, hadis inkâr al-munkar berkaitan dengan
aktivitas individual, bukan kolektif, seperti telah dijelaskan di atas,
sedangkan aktivitas individual tidak mampu mengubah dâr al-kufr
menjadi Dâr al-Islâm.
Kedua, hadis di
atas berkenaan dengan dâr al-Islâm, bukan Dâr al-Kufr. Manâth (obyek)
kedua hadis tersebut adalah seorang penguasa Dâr al-Islâm (Daulah
Islamiyah) yang melakukan kekufuran secara terang-terangan, misalnya
menerapkan sebagian hukum kufur. Dalam kondisi seperti ini, tindakan
penguasa tersebut wajib diubah dengan pedang. Teks hadis illâ an taraw
kufr[an] bawâh[an] (kecuali kalian melihat kekufuran secara
terang-terangan), artinya awalnya belum melihatnya, lalu melihatnya,
maka wajib mengubahnya dengan pedang. Teks hadis mâ aqâmû fîkum
ash-shalâh (selama mereka masih menegakkan shalat), maksudnya selama
mereka hukum Islam. Artinya, ketika penguasa tidak lagi menegakkan hukum
Islam, ia wajib diubah dengan pedang.
Jadi teks kedua
hadis di atas menunjukkan bahwa tampaknya kufr bawâhan dan tidak adanya
implementasi hukum Islam terjadi jika sebelumnya diterapkan hukum
Islam, yakni di Dâr al-Islâm. Contoh yang tepat adalah ketika Mushthafa
Kemal menghapus sistem Khilafah di Istambul. Pada kondisi itu, kaum
Muslim wajib memeranginya dengan pedang, yakni menggunakan kekuatan
fisik atau militer. Namun sayang, hal ini tidak dilakukan.
Adapun
berkaitan dengan dâr al-kufr, untuk mengubahnya menjadi Dâr al-Islâm,
Allah mewajibkan kita untuk meneladani Rasulullah. Rasulullah tidak
menggunakan kekuatan fisik untuk itu. Beliau hanya membatasi diri
dengan melakukan aktivitas ash-shirâ’ al-fikrî (pertarungan pemikiran),
kifâh as-siyâsî (perjuangan politik) dan terus mencari pertolongan
(thalâb an-nushrah). Bahkan, pada saat Baiat Aqabah II, utusan kaum
Muslim Madinah menawarkan diri untuk memerangi orang Quraisy. Akan
tetapi, beiau menolak seraya bersabda:
«لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ»
Kita belum diperintahkan melakukan yang demikian (berperang).
Realitas
menunjukkan bahwa penggunaan senjata tidak cukup untuk mengubah
penguasa agar menerapkan sistem Islam dan menunaikan kewajiban Islam.
Sebab, aktivitas ini memerlukan negarawan dan politikus Islam. Urusan
pemerintahan bukanlah perkara mudah dan sederhana, sekalipun pemimpin
militer mampu meraih kekuasaan, sangat mungkin yang terjadi adalah
pemerintahan militeristik dan kepemimpinannya bersifat militeristik
(qiyâdah ‘asykariyyah). Aktivitas pemerintahan tidak cukup dengan modal
keahlian militer, tetapi memerlukan pengalaman dan keahlian politis
mengurus urusan masyarakat dan kekontinuan pengurusannya. Ini hanya ada
pada diri negarawan dan politikus yang dilatih secara kontinu melalui
partai (kelompok) politik.
Upaya mengubah dâr al-kufr
menjadi Dâr al-Islâm ketika belum ada Daulah Islamiyah haruslah sesuai
dengan metode Rasulullah, yaitu ‘an tharîq al-umah (melalui
jalan/kekuatan umat). Hal ini tercapai melalui aktivitas kolektif
dengan tegaknya partai politik yang beraktivitas secara politik dengan
melakukan tatsqîf (pembinaan) terhadap kaum Muslim agar berkepribadian
islami dan menyiapkan mereka untuk mengemban dakwah; ash-shirâ’
al-fikrî untuk menentang pemikiran kufur, menjelaskan kebatilannya, dan
menelanjangi keburukannya; sekaligus menjelaskan kesahihan, kebaikan,
serta keadilan pemikiran dan sistem Islam; kifâh as-siyâsiy dengan
menentang para pembesar kekufuran dan memutus keterikatan masyarakat
kepada mereka; thalâb an-nushrah mencari pertolongan dengan maksud
mengubah kekuatan yang ada di tengah umat menjadi kekuatan untuk
menerapkan sistem Islam. Dengan begitulah Rasul berhasil mewujudkan
penerapan sistem Islam melalui tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah.
Tanggung jawab Daulah Islamiyah
Ketika
Daulah Islamiyah sudah tegak, kaum Muslim yang masih tinggal di dâr
al-kufr tetap tidak diminta (tidak boleh) menggunakan kekuatan
bersenjata mengubah negeri tempat tinggalnya (dâr al-kufr) menjadi
bagian dari Dâr al-Islâm. Hal ini berdasar persetujuan Rasul terhadap
kaum Muslim yang tetap tinggal di Makkah ketika sudah berdiri Daulah
Islamiyah di Madinah; mereka tetap hidup diatur dengan hukum kufur di
Makah. Sekalipun nash kewajiban jihad sudah turun, Rasul tidak meminta
mereka untuk mengubah Makkah atau menggabungkan Makkah ke dalam Daulah
Islamiyah di Madinah dengan menggunakan kekuatan senjata. Kewajiban
mereka adalah mendakwahkan Islam dengan hikmah (argumentasi yang jelas),
peringatan yang baik, dan dengan mendebat pemikiran kufur dengan cara
yang lebih baik.
Daulah Islamlah yang akan mengubahnya dengan
kekuatan militer melalui jihad. Hanya saja jihad (perang) dilakukan
dalam rangka mengemban Islam kepada umat lain, bukan dalam rangka
penjajahan seperti yang dilakukan barat. Sekalipun sebab kewajiban
jihad ofensif adalah adanya kekufuran, bukan berarti jihad dilakukan
untuk memaksa orang kafir agar memeluk Islam. Jihad ofensif justru
dilakukan dalam rangka membebaskan umat lain dari kezaliman sistem
selain Islam dan memberikan keadilan Islam.
Sulaiman bin
Buraidah menceritakan bahwa setiap kali Rasulullah mengangkat seseorang
menjadi pemimpin pasukan atau ekspedisi, beliau secara khusus berpesan
akan kebaikan kepadanya dan umumnya kepada kaum Muslim; lalu tidak
boleh membunuh manula, wanita, dan anak-anak; tidak mencincang, dan
sebagainya. Beliau kemudian bersabda:
«فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ
خِصَالٍ أَوْ خِلاَلٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ
وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ
مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ
إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا
عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي
عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلاَ
يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ
يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ
الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ»
Serulah
mereka pada tiga hal; yang mana saja mereka terima, terimalah dan
tahanlah diri kalian dari (memerangi) mereka. Serulah mereka pada
Islam; jika mereka menerimanya, terimalah dan tahanlah dari (memerangi)
mereka. Kemudian, serulah mereka untuk mengubah (menggabungkan) negara
mereka ke negara Muhajirin (Dâr al-Islâm) dan beritahukan, jika mereka
melakukannya maka bagi mereka hak seperti hak bagi kaum Muhajirin dan
atas mereka kewajiban seperti kewajiban kaum muhajirin; jika mereka
menolak mengubah negeri mereka maka beritahulah mereka bahwa mereka akan
menjadi seperti orang Arab di tengah-tengah kaum Muslim, tidak berlaku
bagi mereka hukum yang berlaku bagi kaum Mukmin; jika mereka menolak
maka mintalah mereka membayar jizyah; jika mereka menerima seruanmu maka
terimalah dari mereka dan cukupkanlah dari mereka; jika mereka menolak
maka mohonlah pertolongan kepada Allah atas mereka dan perangilah
mereka. (HR Muslim).
Dari hadis ini jelas bahwa jihad
adalah pembebasan penduduk negeri yang diperangi, bukan penjajahan.
Sebab, setelah futûhât mereka memiliki persamaan derajat dengan kaum
Muslim dari sisi hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika dalam catatan sejarah, penduduk berbagai negeri
justru bersukacita ketika negerinya dibebaskan oleh pasukan Islam dari
tirani kerajaan dan diktator. Rakyat Afrika, setelah dibebaskan oleh
kaum Muslim, dapat hidup sejahtera hingga pada masa Umar bin ‘Abdul
‘Aziz tidak ada orang yang mengambil harta zakat. Ketika Perang Salib,
pasukan Salib menyerbu negeri Islam dan mereka menyeru saudara Kristen
mereka di timur (di negeri Islam). Namun, yang menyeru justru mengalami
shock, karena saudara Kristen mereka di negeri Islam menjawab bahwa
kaum Muslim telah melindungi mereka sejak berabad-abad dan mereka tidak
ingin sistem Islam lenyap dari mereka. Inilah pukulan hebat yang
membuat pasukan Salib limbung dan hancur semangatnya.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.
BalasHapus