Sabtu, 04 September 2010

MeMbAnGuN InTeLeKtUaLiTaS MuSLiMaH (LET'Z GO..BE an INTELECTUAL MUSLIMAH)

Kemenangan-kemenangan dalam sejarah pertempuran Islam oleh sebagian orang hanya dilihat dari kepemimpinan para komandan yang memimpin pasukan Islam tersebut. Bagi musuh-musuh Islam mungkin hal itu dianggap benar. Akan tetapi, yang sesungguhnya harus diketahui ialah bahwa kemenangan-kemenangan itu dipimpin oleh tiga komandan.

Pertama,

Qiyadah Rabbaniyah yang merupakan bentuk kepemimpinan itu sendiri, yaitu menjadikan penghambaan kepada Allah Swt dengan penuh keikhlasan.

Kedua, Qiyadah para laki-laki yang memang banyak ditulis dalam sejarah keemasan perjuangan Islam.

Dan satu qiyadah lagi,
yang bekerja dengan tenang dan tanpa banyak bicara, yang banyak dilupakan oleh penulisan sejarah. Ia adalah kepemimpinan para wanita muslimah. Yang membekali para tentara dengan bekal terlebih dulu, jauh sebelum mereka memasuki arena perjuangan. Yang memBACK up mereka dengan kerinduan kepada jihad di jalan Allah. Memberinya kepercayaan akan keuniversalan Islam baik dari sisi ajaran maupun peruntukannya secara teritorial.


Sesungguhnya, seorang wanita memiliki peran yang sangat besar dalam mempengaruhi dan mewarnai serta membentuk pola fikir dan kemampuan akal seorang anak, keluarganya dan kemudian masyarakatnya. Untuk itulah Islam telah memberikan perhatian yang besar terhadap akal wanita, bagaimana agar memiliki kemampuan akal yang baik. Karena dari kemampuan inilah, ia akan melahirkan pribadi-pribadi yang besar, sesudah dengan kekuatan keimanan dan ibadah, tentunya.


Islam membentuk intelektualitas muslimah semenjak pertama kali ia datang dan bukan sebuah karya yang baru belakangan ada. Tetapi karya itu ada semenjak pertama kali Islam ada. Bagaimana Islam membentuk intelektualitas muslimah ?



l. Membentuk intelektualitas muslimah yang kritis dan bebas memilih dengan benar
 

Artinya, Islam ingin agar para muslimah memiliki akal (FIKROH) yang mampu membenahi dan meluruskan kondisi individu dalam lingkup keluarga, maupun kondisi yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Dengan begitu seorang muslimah -dalam sebuah ibarat- mampu memilih mana yang "busa dan mana yang keju" dalam segala sisi kehidupannya.

Semenjak kemunculannya pertama kali, Islam telah membangun intelektualitas yang kritis dan kondusif bagi para muslimah. Dengan jalan meletakkan agama yang baru ini dihadapan kebiasan dan hukum yang berlaku sebelum datangnya Islam, kemudian diperintahkan akal manusia untuk memilih dengan penerimaan yang rasional sekali (qonaah `aqliyah), sehingga seorang muslimah dengan kritis bisa memilih mana yang lebih baik antara Islam dan hukum kebiasaan yang ada sebelum datangnya Islam. Karena sesungguhnya ketika Islam meminta para laki-laki maupun wanita untuk masuk Islam, ia memintanya untuk masuk Islam dengan penerimaan yang bisa diyakini oleh akal(proses berfikir)nya, kemudian baru bagaimana kebenaran akal yang diyakininya itu meresap dalam diri.

Sesungguhnya perbaikan-perbaikan yang dilakukan dalam Islam akan menjadi sangat kering kerontang, tidak ada artinya, manakala ia mengabaikan pembentukan aka l(proses berfikir yg mustanir tdk melenceng dr yg telah ditetapkan ISLAM) yang kritis dan tanggap bagi para muslimah. Lihatlah bagaimana kebebasan menerima atau menolak calon suami yang merupakan hak bagi seorang muslimah.

Pada dasarnya, jauh sebelum kebenaran ditegakkan dan dikokohkan, yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan iklim yang sesuai bagi orang-orang yang akan berinteraksi dengan kebenaran tersebut, dalam kapasitasnya sebagai sesuatu yang baru. Atau dalam makna lain adalah perlu disiapkannya kemampuan akal yang cocok yang mampu berinteraksi dengan kebenaran yang sudah ditegakkan, atau bahkan diberikan dengan gampang kepadanya untuk ditegakkan. Kalau tidak, maka betapa banyak dimasa kini para wanita dan muslimah yang gagal berinteraksi dengan kebenaran yang telah ditegakkan bagi mereka, karena tidak adanya kesiapan akal mereka untuk mengikuti. Akal mereka tidak terbiasa untuk kritis, bertanya dan berdiskusi. Tetapi mereka terbiasa menjalankan apa yang hanya diperintahkan kepada dirinya. Cara-cara yang dilakukan Islam dalam membentuk intelektualitas muslimah yang kritis adalah dengan jalan sebagai berikut :

a. Membakukan standar dan tolok ukur dari urusan-urusan yang melingkupi dirinya sebagai muslimah, yang dengan itu ia bisa menghadapi masyarakat maupun kaum pria ketika mereka berusaha mengusik kebebasannya. Ukuran itu tentu saja adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dengannya segala sesuatu diukur. Sehingga kalau terjadi perselisihan, maka semua meyakini bahwa syari'at rabbani-lah yang akan menghukumi perselisihan itu. Syari'at Islam telah memberi perhatian besar terhadap hak-hak wanita, dalam sebuah peraturan yang harus diterapkan baik oleh individu maupun oleh sebuah pemerintahan dengan hukum wajib, dan bukan sunnah ataupun sekedar penganjuran.

b. Dengan adanya ketentuan dan syari�at tersebut, setiap muslimah menjadi tahu apa yang menjadi hak dan apa yang menjadi kewajibannya karena kebakuan tolok ukur tersebut. Sehingga, setiap permasalahan yang mereka hadapi dengan mudah bisa diselesaikan dengan kesucian standard tersebut, tanpa bisa dikibuli oleh siapapun sebagaimana hukum-hukum buatan manusia.

c. Islam sangat menganjurkan kepada para muslimah untuk mengasah akal
mereka agar menjadi kritis dengan jalan mengajarkan kepada mereka hal-hal yang dihalalkan dan hal-hal yang diharamkan. Disamping itu, ia juga menyuruh mereka belajar pekerjaan lain diluar pekerjaan pokoknya sebagai muslimah, seperti mengobati orang yang sakit dan mengajari sesama kaum muslimah. Karena itu ilmu dan menuntutnya adalah modal utama untuk membentuk kemampuan akal yang kritis. Tanpa keduanya, sangat sulit bisa mewujudkan kemampuan akal yang besar. Tanpa jerih payah untuk mencari tahu dan banyak belajar, tidak akan ada akal yang kritis, yang tajam dan mampu meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hidup ini. Intelektualitas yang kritis dan tajam itu bisa dilihat ketika ia menghadapi masalah yang besar, yang membutuhkan pemikiran yang jernih dan penjabaran daya nalar tajam. Atau ketika ada berbagai pilihan yang sulit dan dibutuhkan memilih mana yang benar dari banyaknya pilihan itu. Saat itulah kemampuan akal itu diuji, sehingga akan nampak apakah seseorang memiliki kemampuan daya ketajaman akal dan kekritisan yang baik atau tidak. Namun, yang perlu diingat ialah bahwa ketika Islam memberi kebebasan memilih dalam berbagai hal bagi kaum muslimah, maka ia memberikan sebuah kebebasan yang bertanggung jawab dan bukan kebebasan yang berantakan, bercerai berai (`asyfa-i) ataupun memilih tanpa pengetahuan.

sangat besar perhatian Islam terhadap pembentukan intelektualitas muslimah yang tangguh, kritis, yang selalu hidup dengan tegas ketika ia harus memilih. Agar bisa memilih yang baik dengan tanpa dipaksa oleh segala macam bentuk kediktatoran. Ia adalah akal Islami yang cerdas, yang tidak keluar dari lingkaran keIslaman seujung jaripun, sekalipun yang dipilih adalah Rasulullah SAW.

(akan direvisi jika mendapat kritikan)

WASALAMU'ALAIKUM.WRWB..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar