Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah di era modern ini adalah gagasan yang tidak rasional dan utopis, di samping tidak relevan di tengah kondisi banyaknya negara yang sudah memiliki sekat-sekat ideologis dan geografis masing-masing, termasuk di Dunia Islam. Wajar jika ungkapan 'tidak rasional', 'utopis', atau 'tidak relevan' sering juga ditujukan ke tubuh Hizbut Tahrir (HT), yang memang merupakan salah satu partai dakwah yang konsisten memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah.
Untuk mengetahui alasan, mengapa HT dari sejak kemunculannya sampai sekarang tetap konsisten memperjuangkan Khilafah, berikut ini kami mewancarai Ustadz Hafidz Abdurrahman, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
HT termasuk di Indonesia selama ini dikenal konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Mengapa harus Khilafah?
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan: Pertama, karena menegakkan Khilafah hukumnya wajib, bahkan bisa disebut sebagai kewajiban paling agung (a‘zham wâjibâti ad-dîn). Kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, memerintahkan agar kita menaati ûlî al-amri (pemimpin) dari kalangan kita, yang dalam bahasa al-Quran, ûlî al-amri minkum. Konteks ûlî al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ûlî al-amri minkum, sementara ûlî al-amri minkum tidak ada.
Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan: Man Mâta walaysa fî unuqihi bay'ah mâta mîtatan jâhiliyah (Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah). Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain. Sekalipun hadis ini isinya berita, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Selain itu, Ijma Sahabat juga telah menyatakan kewajiban mengangkat pemimpin yang menggantikan Nabi saw. dalam ihwal pemerintahan. Semuanya ini menjadi landasan syar‘i, mengapa kaum Muslim harus menegakkan Khilafah.
Kedua, karena Khilafah adalah penjaga (hâris) Islam dan umatnya. Tanpanya, kata Imam al-Ghazali, Islam dan umatnya akan lenyap. Inilah yang dilukiskan Nabi saw., bahwa imam/khalifah itu sebagaijunnah (perisai). Karenanya, para ulama kaum Muslim, baik Syiah, Sunni, Muktazilah maupun Khawarij, telah sepakat atas kewajiban tersebut. Jadi, sangat logis jika persoalan ini dinyatakan sebagai perkarama‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah.
Ketiga, selain fakta sejarah, kenyataan empirik saat ini juga membuktikan urgensi Khilafah dalam membela kepentingan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dicap terorisme, siapa yang membela? Nggakada. Saat kaum Muslim dinodai kehormatannya, negeri mereka dijajah, kekayaan mereka dijarah, siapa yang membela dan mempertahankannya? Nggak ada. Bandingkan keadaannya dengan saat Khilafah masih ada.
Sekalipun demikian, tetap harus dicatat, bahwa Khilafah bukan tujuan perjuangan HT, tetapi metode untuk merealisasikan tujuan untuk memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah).
Bisa diperjelas, Ustadz, apa yang dimaksud dengan memulai kembali kehidupan Islam(Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah)?
Memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah) artinya kita mengembalikan kehidupan yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. setelah berhasil diwujudkan seiring dengan berdirinya negara di Madinah, yang kemudian setelah beliau wafat, dipertahankan oleh Khulafaur Rasyidin hingga terjadinya revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk pada tanggal 3 Maret 1924 M. Revolusi itu telah berhasil menghancurleburkan kehidupan Islam, bersamaan dengan keberhasilannya menghancurkan Khilafah.
Karena itu, perjuangan untuk mewujudkan kehidupan Islam saat ini tidak harus dimulai dari nol, sebab pondasinya masih ada. Ketika Nabi saw. di utus, umat Islam ketika itu memang belum ada, kemudian beliaulah yang membidani kelahirannya. Sejak saat itu hingga sekarang umat Islam tetap eksis dengan Islam yang diajarkan oleh Nabi. Akidah Islam yang menjadi pondasinya pun masih berdiri kokoh di dalam diri mereka; meskipun ada sejumlah perkara yang harus dibersihkan sehingga keyakinan mereka bisa connect dengan hukum-hukum yang dihasilkannya.
Demikian halnya kehidupan yang hendak diwujudkan HT di tengah-tengah masyarakat juga sama sekali bukan hal yang baru, karena sebelumnya sudah dicontohkan pada zaman Nabi saw. dan para khalifah setelahnya. Inilah yang disebut Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah. Tentu, ini lebih mudah diwujudkan oleh umat Islam ketimbang membangun kehidupan yang sama sekali baru, dan tidak pernah mereka kenal sebelumnya, baik kehidupan yang bercorak kapitalis maupun sosialis.
Artinya, dulu Khilafah pernah tegak?
Ya, bahkan lebih lama daripada usia sistem pemerintahan kapitalis maupun sosialis.
Bisa ustadz memberikan bukti-bukti historis tentang ini.
Bukti-bukti historis adanya Khilafah telah banyak diabadikan oleh ulama kaum Muslim dalam buku-buku sejarah, seperti Târîkh al-Khulafâ' karya as-Suyuthi. Fakta tersebut juga telah dituturkan oleh para sejarahwan Muslim secara mutawâtir sehingga fakta keberadaannya tak terbantahkan oleh siapapun. Akan tetapi, bukti yang paling otentik adalah apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushuluddin. Kitab-kitab fikih dan usuluddin dipenuhi pembahasan tentang imâm (khalifah) dan imâmah (khilafah). Kitab-kitab tersebut tidak saja menjelaskan tentang kedudukan imam dan imamah, tetapi juga tentang struktur di bawahnya; seperti wazîr tafwîdh dan tanfîdz, wâlî, qâdhi, dan sebagainya. Mengapa pembahasan tersebut dianggap sebagai bukti otentik? Karena apa yang dibahas di dalamnya adalah fakta yang memang secara real terjadi pada saat itu; fakta itu kemudian dijelaskan hukumnya. Artinya, semua yang dibahas di dalamnya merupakan fakta yang memang ada pada saat itu; bukan hipotesis, yang faktanya tidak ada, selain asumsi yang diada-adakan.
Tapi, ustadz, banyak yang tidak mengerti, bagaimana langkah-langkah HT sehingga kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah bisa kembali tegak?
Memang, karena perjuangan HT itu merupakan perjuangan ideologis, bukan pragmatis. Perjuangan ideologis itu kan sama artinya dengan mengubah kehidupan saat ini, yang notabene bukan kehidupan Islam, hingga menjadi kehidupan Islam. Artinya, realitas kehidupan saat inilah yang harus disesuaikan dengan Islam, dan bukan sebaliknya. Itulah esensi perjuangan ideologis.
Karena itu, ibarat orang yang hendak membangun rumah, harus ada arsitek yang menggambar maket rumah yang hendak dibangun hingga tergambar dengan jelas bentuk, ukuran, bahan, jumlah SDM yang dibutuhkan dan biayanya; termasuk saluran air, listrik, telpon, dan lingkungan di sekitarnya. Maket kehidupan Islam yang hendak diwujudkan oleh HT itu jelas sudah tergambar dengan sangat deskriptif, yang semuanya itu telah dituangkan dalam buku-bukunya; baik berkaitan dengan sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, maupun politik luar negeri dan hubungan internasionalnya. Semuanya itu bisa terwujud kalau ada SDM yang qualifide.
Karena itu, HT juga menyiapkan buku-buku untuk mencetak SDM yang dibutuhkan, baik dengan buku-buku yang menjelaskan maket di atas maupun buku-buku yang berkaitan dengan pembentukan SDM, seperti as-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Setelah SDM-nya tersedia, SDM tersebut tinggal di-drive agar bisa mewujudkan apa yang tertuang di dalam maket tadi supaya sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan; dimulai dengan pembangunan pondasi (marhalah ta'sis), yang dilakukan pada fase tatsqif (pembinaan); dilanjutkan dengan pembudayaan ide dan gagasan yang ingin diwujudkan, dengan cara membangun interaksi ideologis dengan umat, yang dilakukan pada fase tafâ‘ul ma‘a al-ummah. Setelah itu berhasil, yang ditandai, misalnya, dengan perubahan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan umat maka umatlah yang akan memberikan mandat kepada siapa saja yang mereka kehendaki untuk mengimplementasikan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan mereka. Inilah yang disebut fase istilâm al-hukm. Ini bisa terjadi jika ada nushrah (pertolongan) yang diberikan oleh mereka yang memiliki (ahl an-nushrah)-nya.
Uniknya, semuanya tadi berlangsung secara alamiah. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.; sebuah perubahan fundamental, tetapi smart, dan tanpa pertumpahan darah. Subhânallâh!
Dari penjelesan ustadz, aspek fikriyyah (pemikiran) demikian menonjol dalam perjuangan HT. Mengapa ini penting?
Oh, iya. Karena pemikiran itulah yang menjadi ruh, yang menentukan hidup dan matinya perjuangan. Inilah yang sekaligus membedakan HT dengan kelompok lain.
Tadi Ustadz menyinggung thalab an-nusrah. Bisa Ustadz perjelas maksudnya?
Thalab an-nushrah itu secara harfiah berarti mencari pertolongan (memobilisasi dukungan). Untuk apa? Tentu untuk dakwah; supaya dakwah yang diemban tetap eksis, sekaligus memberikan ruang kepada para pengembannya agar bisa mengemban dakwah.
Nushrah (dukungan/pertolongan) itu bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, dalam konteks himâyah(perlindungan), seperti himâyah Abu Thalib kepada Nabi saw., Abu Daghanah kepada Abu Bakar, Wail as-Sahami kepada Umar, dan sebagainya. Tuntunan Nabi saw. menyatakan, bahwa himâyah ini bisa diberikan oleh orang non-Muslim. Kedua, dalam konteks istilâm al-hukm (penyerahan mandat), seperti penolakan Nabi saw. atas mandat kekuasaan yang diberikan oleh kaum Kafir Quraisy, sebaliknya beliau menerima mandat dari kaum Muslim Anshar. Tuntunan ini menegaskan, bahwa nushrah dalam konteksistilâm al-hukm itu hanya bisa diterima jika yang memberikan adalah kaum Muslim.
Metode HT seperti itu sering disebut utopis. Bagaimana komentar Ustadz?
Mengapa dianggap utopis? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena dianggap sulit. Kedua, karena tidak tahu. Padahal yang sulit bukan berarti tidak mungki, buktinya perjuangan Rasulullah saw sulit, tapi berhasil.
Demikian juga tidak tahu, bukan berarti tidak ada. Ada yang tidak tahu jalan ke Jakarta, kan bukan berarti Jakarta itu tidak ada. Kalau Anda tidak, atau belum tahu cara menegakkan Khilafah, jangan sebut hal itu tidak ada sehingga dianggap mustahil.
Semuanya tadi kan proses politik. Ingat, dalam proses politik tidak ada yang utopis. Sebab, tidak ada yang tetap dalam kamus politik. Mengapa? Karena politik itu kan seni kemungkinan. Jadi, semuanya serba mungkin. Apa yang tidak mungkin saat ini, dengan izin Allah, bisa menjadi kemungkinan pada waktu yang akan datang.
Tidak perlu dikhawatirkan, karena proses tadi tidak mengubah apapun kecuali pemikiran. So, yang berubah itu kan hanya pemikirannya, bukan fisiknya. Itu artinya, siapa saja yang menjadi tokoh atau pemimpin pada zaman Jahiliah toh tetap bisa menjadi tokoh dan pemimpin setelah zaman Islam, setelah pemikiran mereka berubah menjadi pemikiran Islam. Ya, kan? Coba, siapa yang menafikan ketokohan Umar, Abu Bakar, dan Hamzah sebelum dan setelah masuk Islam. Nah, jadi semuanya tadi membuktikan, bahwa perubahan seperti ini justru alami, dan smart.
Bisa Ustadz berikan bukti-bukti historis 'keberhasilan' metode seperti itu?
Ya, perjuangan Rasulullah itu.
Kembali ke Khilafah, Ustadz. Apa mungkin Khilafah merupakan solusi terhadap seluruh persoalan umat manusia sekarang?
Ya, Khilafahlah solusinya, meski persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Artinya, Khilafah sebagai solusi memang iya. Tetapi, bagaimana Khilafah menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia saat ini, itu kan masih harus dirinci lagi.
Bisa Ustadz memberikan contoh sederhana, bahwa Khilafah adalah solusi?
Sebagai negara kesatuan, Khilafah bisa mengerahkan potensi dana, logistik, SDM dari seluruh negeri untuk membantu daerah bencana di salah satu negerinya. Bencana di Indonesia, misalnya, tidak seharusnya diselesaikan oleh penduduk Indonesia sendiri, karena mereka merupakan satu-kesatuan. Bisa saja logistiknya dari Malaysia, dananya dari Saudi, SDM-nya dari yang lain. Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme.
Ada kritikan lain tentang sistem Khilafah ini, yaitu kekhawatiran bahwa Khilafah hanya memberikan kebaikan untuk kaum Muslim. Bagaimana menurut pendapat Ustadz.
Oh, tidak. Justru dengan Khilafah, Islam sebagai rahmatan li al-'âlamîn yang notabene berlaku untuk Muslim dan non-Muslim secara nyata bisa diwujudkan. Orang non-Muslim bisa hidup di dalam negara Khilafah, tetap sebagai orang non-Muslim; sementara mereka bebas menjalankan agamanya, tradisi pernikahan, termasuk makan dan minum mereka. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama dengan orang Muslim, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.
Terakhir, Ustadz. Dalam konteks Indonesia, bisa Ustadz memberikan gambaran harapan dan tantangan untuk tegaknya Khilafah?
Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam; meski itu bukan berarti tanpa hambatan. Hambatannya, saya kira, justru terletak pada sejumlah penyesatan intelektual dan politik yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat di negeri ini menjadi 'tak sadarkan diri'. [Hafidz Abdurrahman]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar