Sabtu, 24 September 2011

Bolehkah Menasehati Penguasa Di Tempat Umum, Baik Secara Langsung Maupun Dengan Demonstrasi?

Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:

الدِّينُالنَّصِيحَةُلِلَّهِوَلِرَسُولِهِوَلأَئِمَّةِالْمُسْلِمِينَوَعَامَّتِهِمْ


Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)


Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:

مَنْرَأَىمِنْكُمْمُنْكَرًافَلْيُغَيِّرْهُبِيَدِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِلِسَانِهِ

Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim)

Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikannya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk menasehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.”[1]

Adapun jenis kemungkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemungkaran tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua:

Pertama, kemungkaran yang dilakukan secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;

Kedua, kemungkaran yang dilakukan secara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.

Jenis kemungkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemungkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemungkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:

مَنْسَتَرَعَوْرَةًفَكَأَنَّمَااِسْتَحْيَامَوْءُوْدَةًمِنْقَبْرِهَا



Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.” (H.r. Ibn Hibban)

Berbeda dengan jenis kemungkaran yang kedua, yaitu kemungkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemungkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemungkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemungkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:

1. Jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau kemungkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemungkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
2. Jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemungkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau kemungkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat (membongkar kemungkaran).


Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang menga-takan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.” [2]


Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum.[3]

Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapannya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib.[4] Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:

سَيِّدُالشُّهَدَاءِحَمْزَةُبْنُعَبْدِالمُطَلِّبِوَرَجُلٌقَالَإِلَىإِمَامٍجَائِرٍفَأَمَرَهُوَنَهَاهُفَقَتَلَهُ


Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim)

Apa yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.” [5] pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.



Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah.

(KH. Hafidz Abdurrahman)

(Footnotes)

1. H.r. al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, hadits no. 4520 dan 4976.
2. Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22.
3. Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal. 112-113.
4. Meski sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau masirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa.
5. Abu Syuja’, al-Firdaus min Ma’tsur al-Khaththab,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar