Kamis, 25 April 2013

Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis. Bagaimana Syariatnya?

Syariat Memuliakan Tamu


Memuliakan tamu merupakan salah  satu kewajiban bagi umat islam.Rasulullah saw bersabda:

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menyambung tali persahabatan; dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik-baik saja atau hendaklah dia diam saja" (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu pula hadits riwayat Imam Bukhari yang lain bahwa Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya pada saat istimewanya."Para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw, apakah saat istimewa itu? Beliau bersabda, "Hari dan malam pertamanya. Bertamu itu adalah tiga hari. Kalau lebih dari tiga hari, maka itu adalah sedekah.


definisi tamu yang dimaksud mencakup tamu mukmin maupun kafir. Baik laki - laki maupun Perempuan. Semua tamu wajib dimuliakan dan dihormati berdasarkan hadits tersebut. Bagi seorang muslim diperintahkan untuk k memenuhi hak-hak tamu sesuai kemampuannya.

Menyambut Tamu Penguasa Kafir Imperialis. bagaimana syariatnya?

Lantas bagaimana jika tamu yang dimaksud adalah tamu dari kalangan penguasa kafir imperialis yang telah terbukti tega mendzalimi, menjajah dan   membunuh kaum Muslim, dan menistakan kesucian agama Islam? Apakah ketentuan hadits tersebut berlaku?

Jawabnya jelas Haram , karena telah terbukti menzholimi, merampas harta, merusak  kehormatan, dan menumpahkan ribuan nyawa kaum muslimin.

Maka dari itu nampak larangan menampakkan sikap loyalitas dan berkasih sayang kepada orang-orang kafir penjajah.

sebagaimana firman Allah dalam surat AL Mumtahanah (60) ayat (1)
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus."

sebagaimana dalam QS. Ali ‘Imran (3): 118-119

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.


Kedua, Keharaman menyakiti kaum Muslim.

Allah swt berfirman dalam surah  Al Ahzab (33):58


" Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata .

Nabi saw  bersabda:

«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, ia tidak akan mendzaliminya dan tidak akan menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan dari seorang muslim maka dengan hal itu Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat .(HR. Imam Bukhari dan Muslim)


"Barangsiapa yang membela saudaranya saat tidak ada di dekatnya, maka Allah akan membelanya di dunia dan di akhirat”. [HR. Imam Asyi Syihab dari Anas bin Malik ra, dalam Musnad Asy Syuihab]
Wujud pembelaan seorang Muslim terhadap saudara-saudaranya yang pada saat ini dijajah dan dianiaya oleh Amerika Serikat adalah menolak kunjungan mereka, dan tidak menyambutnya dengan keramahan dan kasih sayang."



مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَة

"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah akan menolak api neraka di Hari Kiamat dari wajahnya”.
 (HR. Imam Tirmidziy dari Abu Darda' ra. )

Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang melindungi kehormatan saudaranya pada saat tidak berada di dekatnya, maka Allah pasti akan membebaskannya dari api neraka".

(HR. Ishaq bin Rahwiyyah dari Asma' binti Yazid)

Kesimpulan :

1. Seorang Muslim, terlebih  penguasa Muslim diharamkan  menerima bahkan menyambut kedatangan penguasa kafir yang jelas-jelas memusuhi dan memerangi umat islam.
2. SIkap seorang muslim terlebih penguasa kafir adalah tegas terhadap orang kafir penjajah dan berkasih sayang terhadap sesama muslim. 
3. Kewajiban penguasa Muslim adalah mengayomi dan  membebaskan saudara-saudara Muslimnya dari penjajahan bahkan pembunuhan dari kafir imperialis.


Filsafat Penyebab Keruntuhan Islam

Lahirnya filsafat di Dunia Islam memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi ilmu kalam yang mendahuluinya. Sebelumnya, para mutakallimin memang telah menggunakan mantiq (logika) dalam tradisi kalam mereka, baik untuk membantah maupun menyusun argumentasi. Dalam hal ini, bukti paling akurat dapat dilacak dalam kitab al-Fiqh al-Akbar, karya Abu Hanifah (w. 147 H/768 M). Selain menggunakan mantik, beliau juga menggunakan istilah filsafat, seperti jawhar (substabsi) dan ‘aradh (aksiden), yang notabene banyak digunakan Aristoles dalam buku-bukunya. Ini membuktikan, bahwa mantik sebagai teknik pengambilan kongklusi (kesimpulan) telah digunakan oleh ulama kaum Muslim pada abad ke-2 H/8 M.

Hanya saja, ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa filsafat telah dikaji secara mendalam pada zaman itu. Bukti di atas hanya membuktikan pemanfaatan logika mantik dalam menghasilkan kongklusi. Kesimpulan ini juga tidak dapat digunakan untuk menarik kongklusi yang lebih luas mengenai kemungkinan logika telah dipelajari secara mendalam oleh para mutakallimin, sebagaimana logika yang diuraikan oleh Ibn Sina. Sebab, bukti yang akurat menunjukkan, bahwa perkembangan pemikiran filsafat Yunani di negeri Islam baru terjadi setelah aktivitas penerjemahan pada zaman Abbasiyah.

Meski demikian, penggunaan logika (mantik), diakui atau tidak, telah membuka celah masuknya filsafat di Dunia Islam. Karena itu, pasca generasi Washil, filsafat Yunani kemudian dipelajari secara mendalam oleh ulama Muktazilah, separti Dhirar bin Amr, Abu Hudhail al-‘Allaf, an-Nazhzham, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, lahir karya mereka, seperti Kitâb ar-Radd ‘alâ Aristhâlîs fî al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya Dhirar bin ‘Amr, Al-Jawâhir wa al-A‘râdh dan Tathbît al-A‘râdh, karya Abu Hudhail al-‘Allaf, Kitâb al-Manthiq dan Kitâb al-Jawâhir wa al-A‘râdh, karya an-Nazhzham.
Di samping itu, penyebaran filsafat ini semakin meningkat, khususnya sejak al-Makmun, murid Abu Hudhail al-‘Allaf, tokoh Muktazilah Baghdad, mendirikan Baitul Hikmah tahun 217 H/813 M; sebuah pusat kajian filsafat yang dipimpin oleh Yuhana bin Masawih. Di kota ini juga al-Kindi (w. 260 H/873 M) banyak berinteraksi dengan para penerjemah filsafat dari bahasa Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M) dan Ibn Na‘imah (w. 220 H/830 M). Di sinilah al-Kindi juga dibesarkan sebagai filosof Arab yang pertama. Setelah itu, menyusul nama-nama seperti al-Farabi (w. 339 H/951 M) dan Ibn Sina (w. 428 H/1049 M). Mereka adalah para filosof yang hidup di Timur. Di Barat, lahir nama-nama seperti Ibn Bajjah (478-503 H/1099-1124 M), Ibn Thufail (w. 581 H/1185 M), dan Ibn Rusyd (w. 600 H/1217 M).
Secara umum, ciri filsafat mereka tidak jauh dari filsafat Yunani yang didominasi oleh Plato dan muridnya, Aristoteles. Baik pandangan al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajjah, Ibn Thufail maupun Ibn Rusyd, semuanya nyaris hanya membela pandangan Plato atau Aristoteles. Kadang-kadang mereka terlibat untuk mengkompromikan kedua pandangan tokoh ini, seperti yang dilakukan oleh al-Farabi, atau bahkan mencoba mengkompromikan Islam dengan pandangan kedua filosof Yunani tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-Kindi6 atau Ibn Rusyd. Karena itu, tepat sekali apa yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun yang menyatakan bahwa mereka hanyalah para penjiplak (al-muntahilûn). Artinya, apa yang mereka tulis itu bukan merupakan pemikiran mereka sendiri, melainkan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya. Jumlah mereka, kata an-Nabhani, tidak banyak, sehingga pandangan-pandangan mereka tidak menjadi arus utama pemikiran umat Islam pada zamannya.

Sementara itu, filsafat Persia dan India juga berkembang di Dunia Islam, terutama setelah ditaklukkannya kedua wilayah tersebut pada zaman permulaan Islam. Hanya saja, kalau filsafat Yunani telah melahirkan para filosof Muslim, maka filsafat Persia dan India tidak. Salah satu faktornya adalah karena minimnya referensi kedua filsafat tersebut—kalau tidak boleh dibilang tidak ada—yang bisa dikaji oleh kaum Muslim.

Filsafat dalam Islam

Filsafat itu berasal dari kata philosophia. Menurut Ibn Nadim (w. 380 H/985 M), mengutip keterangan Plutarch (± 100 M), istilah ini mula-mula digunakan oleh Phytagoras (572-497 SM), yang kemudian diarabkan menjadi al-falsafah. Kemungkinan yang mengarabkan pertama kali adalah Yahya bin al-Baitriq (w. 200 H/815 M), penerjemah buku Timeaus, karya Plato. Sebab, kata philosophy (Arab: falsafah) itu ada di dalam buku tersebut. Hanya saja, bukti yang paling otentik penggunaan istilah tersebut dapat ditemukan dalam Kitab al-Falsafah al-Ulâ fî mâ dûna ath-Thabi‘iyyah wa at-Tawhîd, karya al-Kindi.
Philosophia itu sendiri berasal dari bahasa Greek (Yunani Kuno), yaitu philos dan sophia. Philos artinya cinta; atau philia berarti persahabatan, kasih sayang, kesukaan pada, atau keterikatan pada. Sophia berarti hikmah (wisdom), kebaikan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, dan intelegensi. Philosophia, menurut al-Syahrastani (w. 548 H/1153 M), berarti mahabbah al-hikmah (cinta pada kebijaksanaan), dan orangnya (faylasuf) disebut muhibb al-hikmah (orang yang mencintai kebijaksanaan). Ini seperti yang dinyatakan oleh Socrates dalam Mukhtashar Kitâb at-Tuffâhah (Ringkasan Kitab Apel).
Secara khusus, hikmah (wisdom) ini kemudian dibagi menjadi dua: qawliyyah (intelektual) dan ‘amaliyyah (praktis). Sebab, kebahagiaan (happiness) yang dikehendaki oleh filosof adalah substansinya; virtuous activity is identical with happiness (melakukan kebaikan adalah identik dengan kebahagiaan). Kebahagiaan itu sendiri hanya bisa diraih melalui wisdom, baik dengan mengetahui kebenaran (knowledge of the good) maupun melaksanakan kebaikan (virtuous activity).

Istilah filsafat ini kemudian digunakan oleh al-Kindi dengan konotasi: pengetahuan tentang hakikat sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Al-Farabi menyebutnya sebagai pengetahuan tentang eksistensi itu sendiri. Al-Khawarizmi menyebutnya pengetahuan tentang hakikat benda dan perbuatan yang berkaitan dengan mana yang lebih baik sehingga dapat diklasifikasikan: yang teoretis (nazhari) dan yang praktis (‘amali). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa filsafat itu bukan merupakan pengetahuan an sich, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq)? Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr)? Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya. Karena itu, dalam konteks inilah, Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H/1350 M) berkesimpulan, bahwa filsafat adalah paham (isme) di luar agama para nabi. Disamping itu, filsafat memang ajaran yang murni dihasilkan oleh akal manusia.

Jika demikian faktanya, maka jelas filsafat itu—baik sebagai ajaran maupun pengetahuan—tidak ada dalam Islam. Sebab, Islam telah mengajarkan tentang al-haq (kebenaran) dan al-khayr (kebaikan), termasuk cara pandang yang khas tentang keduanya. Bukan hanya itu, Islam juga telah menjelaskan hakikat dan batasan akal, metode berpikir dan pemikiran yang dihasilkannya. Tentang yang terakhir ini, barangkali dapat merujuk buku at-Tafkîr karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dampak Filsafat Terhadap Kemunduran Umat Islam

Harus ditegaskan kembali, bahwa pemikiran filosof pada zaman Kekhilafahan Islam memang bukan merupakan arus utama. Namun, pola berpikir mereka, khususnya penggunaan logika (mantik), telah merambah hampir ke seluruh bidang; mulai dari bidang akidah, usul fikih hingga tasawuf—meski fikih tetap harus dikecualikan dari penggunaan logika tersebut.

Di bidang akidah, penggunaan logika (mantik) ini telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ulama usuluddin sehingga melahirkan ilmu kalam. Lahirnya ilmu kalam bukannya mengakhiri masalah, tetapi justru sebaliknya. Ilmu kalam inilah yang menyebabkan akidah kaum Muslim diwarnai dengan perdebatan demi perdebatan. Akibatnya, akidah mereka telah kehilangan substansinya sebagai pondasi. Sebab, akidah tersebut telah oleng. Para ulama ushuluddin yang juga ulama ushul fikih itu kemudian membawa pola berpikir tersebut dalam bidang ushul fikih. Perdebatan tentang hasan, qabîh, khayr, syarr, sampai muqaddimah (premis) pun terbawa. Karena itu, tidak pelak lagi, ushul fikih pun dipenuhi dengan perdebatan ala mutakallimin. Akibatnya, ushul fikih tersebut telah kehilangan substansinya sebagai kaidah (pondasi), yang digunakan untuk menggali hukum.

Fenomena pertama, diakui atau tidak, telah menyebabkan hilangnya gambaran kaum Muslim tentang qadhâ’ dan qadar, takdir, surga, neraka, serta keimanan yang bulat kepada Allah. Kondisi ini diperparah dengan pandangan sufisme—yang banyak dipengaruhi filsafat Persia dan India—seputar kehidupan panteistik, asketik, dan lain-lain. Semuanya ini pada gilirannya menyebabkan disorientasi kehidupan kaum Muslim.
Kemudian, fenomena kedua telah menyebabkan hilangnya ketajaman intelektual kaum Muslim dalam menyelesaikan persoalan. Daya kreativitas mereka menjadi tumpul. Ushul fikih berkembang, tetapi ijtihad mandeg; bukan semata-mata karena adanya seruan ditutupnya pintu ijtihad, tetapi juga karena hilangnya vitalitas ushul fikih sebagai kaidah istinbâth (penggalian hukum).

Setelah semuanya itu, maka sempurnalah kejumudan kaum Muslim sehingga mereka tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan baru yang silih berganti, yang mereka hadapi. Bertambahnya wilayah baru pada zaman Khilafah Utsmaniyah, diakui atau tidak, telah memunculkan persoalan baru. Akan tetapi, karena kemampuan ijtihad itu telah hilang, masalah pun akhirnya menumpuk. Beban mereka pun semakin hari semakin berat. Karena itu, ketika Barat bangkit dengan renaissance-nya, mereka pun bingung: menerima kemajuan Barat, dengan segala produknya, atau menolaknya. Pada saat itu, ada yang secara ekstrem menolak segala produk Barat, dan ada yang sebaliknya. Hanya saja, tidak ada satupun di antara mereka yang bisa membedakan: mana tsaqâfah, dan mana ‘ulûm; mana hadhârah dan mana madaniyah.

Seiring dengan kakalahan kelompok yang pertama, maka semua produk Barat mulai diambil oleh kaum Muslim, mulai yang bersifat fisik sampai non-fisik. Dari sanalah, perundang-undangan ala Barat mulai diperkenalkan kepada kaum Muslim. Lalu model fikih taqnîn (yang berbentuk undang-undang dengan pasal perpasal) pun mulai muncul; sebut saja kitab al-Ahkâm al-’Adliyyah. Setelah itu, perundang-undangan Barat mulai masuk dan menggantikan perundang-undangan Islam. Kemudian terjadilah pemisahan mahkamah menjadi: sipil dan syariah. Demikian seterusnya hingga sedikit demi sedikit hukum Islam pun lenyap dari peredaran dan tidak lagi diterapkan, selain dalam bidang ahwâl syakhshiyah.

Selanjutnya, tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, pemberlakukan hukum Islam pun diakhiri dengan dibubarkannya institusi Khilafah, dan dibekukannya Islam oleh Kamal Attaturk. Setelah itu, sampai saat ini, kehidupan kaum Muslim terus terpuruk. Wallâhu a‘lam. [] Mohammad Maghfur Wachid

Imam Mahdi dan Khilafah

Soal:
Keyakinan kaum Muslim akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah semakin meningkat. Namun, ada sebagian yang percaya, bahwa Khilafah akan berdiri sendiri, karena sudah merupakan janji Allah. Caranya, dengan menurunkan Imam Mahdi. Pertanyaannya, benarkan Imam Mahdi yang akan mendirikan Khilafah? Ataukah kaum Muslim yang mendirikannya, kemudian lahirlah Imam Mahdi? 


Jawab:

1- Kalaupun ada hadits yang menunjukkan Imam Mahdi akan mendirikan, maka hadits tersebut tetap tidak boleh dijadikan alasan untuk menunggu berdirinya Khilafah. Karena berjuang untuk menegakkan Khilafah hukumnya tetap wajib bagi kaum Muslimin, sebagaimana hadits Nabi:
مَ
نْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً


“Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat dengan tanpa mempunyai hujah. Dan, siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hr. Muslim)[1]

Manthuq hadits di atas menyatakan, bahwa “Siapa saja yang mati, ketika Khilafah sudah ada, dan di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” Atau “Siapa yang mati, ketika Khilafah belum ada, dan dia tidak berjuang untuk mewujudkannya, sehingga di atas pundaknya ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan mati jahiliyah.” Karenanya, kewajiban tersebut tidak akan gugur hanya dengan menunggu datangnya Imam Mahdi.

2- Memang banyak hadits yang menuturkan akan lahirnya Imam Mahdi, namun tidak satupun hadits-hadits tersebut menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah. Hadits-hadits tersebut hanya menyatakan, bahwa Imam Mahdi adalah seorang Khalifah yang saleh, yang akan memerintah dengan adil, dan akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan penyimpangan. Dari Abi Sa’id al-Hudhri ra. berkata, dari Nabi saw. bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَمْتَلِيءَ الأَرْضُ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ أَوْ عِتْرَتِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا
Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah bumi ini dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Setelah itu, lahirlah seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), atau keturunanku, sehingga dia memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. (Hr. Ibn Hibban)[2]


Dalam riwayat lain, dari Abdullah, dari Nabi Rasulullah saw. beliau bersabda:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمْلِكَ النَّاسَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمَهُ اسْمِي وَاسْمَ أَبِيْهِ اسْمُ أَبِيْ فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلاً
Hari kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah manusia ini diperintah oleh seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlu al-Bait), yang namanya sama dengan namaku, dan nama bapaknya juga sama dengan nama bapakku. Dia kemudian memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan.  
(HR. Ibn Hibban)[3]




3- Hanya saja, terdapat riwayat yang menyatakan, bahwa Imam Mahdi tersebut lahir setelah berdirinya Khilafah, bukan sebelumnya. Diriwayatkan dari Ummu Salamah, berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ المَدِيْنَةِ هَارِبًا إِلَى مَكَّةَ فَيَأْتِيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَيَخْرُجُوْنَهُ وَهُوَ كاَرِهٌ فَيُبَايِعُوْنَهُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ وَيُبْعَثُ إِلَيْهِ بَعْثٌ مِنَ الشَّامِ فَيُخْسِفَ بِهِمْ بِالبَيْدَاءِ بَيْنَ مَكَّةَ وَالمَدِيْنَةِ فَإِذَا رَأَى النَّاسُ ذَلِكَ أَتَاهُ أَبْدَالُ الشَّامِ وَعَصَائِبُ أهْلِ العِرَاقِ فَيُبَايِعُوْنَهُ، ثُمَّ يَنْشَأُ رَجُلٌ مِنْ الشَّامِ أَخْوَالُهُ كَلْبٌ فَيَبْعَثُ إِلَيْهِمْ بَعْثًا فَيُظْهِرُوْنَ عَلَيْهِمْ وَذَلِكَ بَعْثُ كَلْبٍ وَالْخَيْبَةِ لِمَنْ لَمْ يَشْهَدْ غَنِيْمَةَ كَلْبٍ فَيُقَسِّمُ المَالَ وَيَعْمَلُ فِي النَّاسِ.. وَيُلْقِيَ الإِسْلاَمَ بِجِرَانِهِ فِي الأَرْضِ فَيَلْبَثُ سَبْعَ سِنِيْنَ ثُمَّ يَتَوَفَّى وَيُصَلِّى عَلَيْهِ الُمسْلِمُوْنَ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَلْبَثُ تِسْعَ سِنِيْنَ
“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang Khalifah. Kemudian seorang lelaki penduduk Madinah melarikan diri ke kota Makkah. Penduduk Makkah pun mendatanginya, seraya memintanya dengan paksa untuk keluar dari rumahnya, sementara dia tidak mau. Lalu, mereka membai’atnya di antara Rukun (Hajar Aswad) dengan Maqam (Ibrahim). Disiapkanlah pasukan dari Syam untuknya, hingga pasukan tersebut meraih kemenangan di Baida’, tempat antara Makkah dan Madinah. Tatkala orang-orang melihatnya, dia pun didatangi oleh para tokoh Syam dan kepala suku dari Irak, dan mereka pun membai’atnya. Kemudian muncul seorang (musuh) dari Syam, yang paman-pamannya dari suku Kalb. Dia pun mengirimkan pasukan untuk menghadapi mereka, hingga Allah memenangkannya atas pasukan dari Syam tersebut, hingga al-Mahdi merebut kembali daerah Syam dari tangan mereka. Itulah suatu hari bagi suku Kalb yang mengalami kekalahan, yaitu bagi orang yang tidak mendapatkan ghanimah Kalb. Al-Mahdi lalu membagi-bagikan harta-harta tersebut dan bekerja di tengah-tengah masyarakat… menyampaikan Islam ke wilayah di sekitarnya. Tidak lama kemudian, selama tujuh atau, dia pun meninggal dunia, dan dishalatkan oleh kaum Muslim. Dalam riwayat lain dinyatakan, tidak lama kemudian, selama sembilan tahun. ” 
 (HR. At-Thabrani)



Hadits di atas, dengan jelas menyatakan, bahwa akan lahir Khalifah baru setelah meninggalnya Khalifah sebelumnya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam lafadz:

يَكُوْنُ اخْتِلاَفٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيْفَةٍ فَيَخْرُجُ رَجُلٌ
“Akan muncul pertikaian saat kematian seorang Khalifah. Kemudian keluarlah seorang lelaki..” (Hr. At-Thabrani)
 
Dengan demikian, pandangan yang menyatakan, bahwa Imam Mahdilah yang akan mendirikan Khilafah Rasyidah Kedua jelas merupakan pandangan yang lemah. Demikian juga pandangan yang menyatakan, bahwa tidak perlu berjuang untuk menegakkan Khilafah, karena tugas itu sudah diemban oleh Imam Mahdi, sehingga kaum Muslim sekarang tinggal menunggu kedatangannya, adalah juga pandangan yang tidak berdasar.

Jadi jelas sekali, bahwa Imam Mahdi bukanlah orang yang mendirikan Khilafah, dan dia bukanlah Khalifah yang pertama dalam Khilafah Rasyidah Kedua yang insya Allah akan segera berdiri tidak lama lagi. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi setiap Muslim yang khawatir akan mati dalam keadaan jahiliyah, selain bangkit dan berjuang bersama-sama para pejuang syariah dan Khilafah hingga syariah dan Khilafah tersebut benar-benar tegak di muka bumi ini. Allah Akbar.


[1] Lihat, Muslim, Sahih Muslim, juz , hal.
[2] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.
[3] Lihat, Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cetakan II, 1993, juz XV, hal. 236.

Khilafah Ajaran Ahlus Sunnah Vs Demokrasi Ajaran Penjajah

Khilafah Ajaran Aswaja

Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah), menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam [khalifah] dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16).

Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW). Dan disebut wal jamaah, karena mengikuti ijma’ shahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31)

Dari pengertian Aswaja di atas, jelas sekali bahwa ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat dengan ajaran Aswaja. Sebab Khilafah sangat terkait dengan istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di sini maksudnya adalah kaum muslimin yang hidup di bawah kepemimpinan khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisahkan dengan Aswaja.

Kesatuan Aswaja dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi, jika kita menelaah kitab-kitab yang membahas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung : Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat pasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (khalifah) (pasal 61-62).

Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,“Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.

Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,“Ketahuilah bahwa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb al-khalifah…).

Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam kitab-kitab tafsir, hadits, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahwa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut paham Aswaja. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di antara umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham haitsu kaana ‘an asy-syariah asham...). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,“Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Jelaslah, bahwa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Aswaja dalam berkehiduan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut Aswaja. Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib kalau ada individu atau kelompok yang mengklaim penganut Aswaja, tapi mengingkari atau bahkan mencemooh Khilafah. Pengingkaran penganut Aswaja terhadap Khilafah adalah batil, karena tindakan itu sesungguhnya adalah upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah. Ini jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.

Demokrasi Bukan Ajaran Aswaja

Adapun sistem bernegara dan bermasyarakat sekarang, yaitu sistem demokrasi, sama sekali bukan ajaran Aswaja, melainkan konsep kafir penjajah yang sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Banyak ulama masa kini yang mengecam demokrasi dan memfatwakan haramnya menerapkan sistem demokrasi. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin (1990) menegaskan : “Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (ad-dimuqrathiyah nizham kufrin yahrumu akhdzuha aw tathbiquhaa aw ad-da’watu ilaihaa). Demokrasi disebur sistem kufur, tiada lain karena menyerahkan hak menetapkan hukum pada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata (QS Al-An`am : 57). Kecaman serupa terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj dalam kitabnya Ad-Damghah Al-Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyah. Menurut Belhaj, umat Islam haram mengikuti demokrasi, karena termasuk perbuatan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) (hal 18-19).

Karena itu, sesungguhnya telah jelas sekali bahwa demokrasi bukanlah konsep Aswaja. Demikian pula, segala sesuatu yang terkait dengan demokrasi itu, yakni paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang menjadi ide dasar demokrasi. Juga bentuk pemerintahan yang lahir dari sistem demokrasi, yaitu sistem republik, baik republik parlementer maupun presidensial.

Semua konsep itu (demokrasi, sekularisme, republik) bukanlah konsep Aswaja, melainkan ajaran-ajaran asing yang kafir yang sudah berada di luar lingkaran Islam (laisa minal Islam). Semua konsep asing itu terwujud di Dunia Islam bukanlah terjadi secara damai dan atas kesadaran umat Islam itu sendiri, melainkan terjadi melalui paksaan, yaitu penjajahan yang kejam pada abad ke-19 dan ke-20. Terlebih lagi setelah Khilafah Islam di Turki hancur tahun 1924. Penjajahan itu selanjutnya membuat sistem pendidikan sekular yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang walau agamanya Islam (dan mungkin mengklaim berpaham Aswaja), tapi ideologinya sekular-liberal. Tidak kenal atau percaya lagi dengan Khilafah, tapi kenalnya demokrasi, sekularisme, dan sistem republik. Sungguh ironis dan menyedihkan.

Kita sebagai umat Islam, khususnya Aswaja, wajib kembali kepada ajaran yang benar dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu kembali pada Khilafah, bukan pada demokrasi. Kalau kita mengikuti demokrasi, berarti kita sudah terjerumus ke dalam dosa sebagaimana sabda Nabi SAW :

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk ke lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka juga. Para shahabat bertanya, “Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah SAW menjawab,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari dan Muslim).
Fungsi Khilafah : Menegakkan SyariahKhilafah bukan ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan ditujukan untuk menerapkan syariah Islam. Khilafah, menurut Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia (ri’asatun ‘aammatun lil muslimina jami’an fi ad-dunya li iqamati ahkam asy-syar`i al-islami wa haml ad-dakwah al-islamiyah ila al-alam). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Beirut : Darul Ummah, 2003, 2/14).

Jadi, Khilafah itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan sekedar metode (thariqah) untuk menerapkan hukum-hukum syariah Islam dalam segala aspeknya di dalam negeri. Syariah Islam itulah yang nantinya akan menyelesaikan segala masalah manusia (mu’alajat li masyakil al-insan), khususnya masalah publik semisal masalah dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Dan Khilafah berfungsi sebagai institusi pelaksana untuk syariah Islam ini. Inilah fungsi Khilafah dalam negeri, yakni menerapkan Syariah Islam khususnya dalam bidang-bidang yang tidak dapat tegak kecuali dengan adanya Khilafah.

Penutup

Khilafah adalah ajaran asli Aswaja, sedang demokrasi bukan ajaran Aswaja, melainkan ajaran kafir penjajah yang dipaksakan atas umat Islam. Upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah, adalah upaya yang nyata-nyata merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Sudah saatnya umat Islam, khususnya yang berpaham Aswaja, untuk kembali kepada Khilafah dan membuang sistem demokrasi yang kufur. [ ] M. Shiddiq Al-Jawi

PKS Usung Caleg Pendeta Kristen

JAKARTA (voa-islam.com) — Berbagai strategi ditempuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendulang suara dalam Pemilu 2014 mendatang. Dengan slogan barunya “Cinta, Kerja dan Harmoni,” PKS mengusung calon anggota legislatif dari berbagai kalangan, termasuk pendeta Kristen.
“Ada pendeta yang menjadi caleg di Indonesia Timur,” kata Sekretaris Jenderal PKS, Taufik Ridho di Jakarta, Senin (22/4/2013).
Taufik menyatakan, caleg non-Muslim banyak diusung PKS untuk daerah pemilihan Indonesia Timur, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat. “Memang kebutuhannya seperti itu,” ujarnya.
Caleg-caleg non-Muslim diusung PKS untuk memperebutkan kursi di DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten. Untuk DPR Pusat, PKS mengusung dua caleg non-Muslim dari dapil Papua dan Papua Barat. Di sini PKS menargetkan satu kursi.
...Ada pendeta yang menjadi caleg di Indonesia Timur. Caleg non-Muslim banyak diusung PKS untuk daerah pemilihan Indonesia Timur...
Caleg-caleg non-Muslim diusung PKS untuk memperebutkan kursi di DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten
Taufik menyatakan caleg PKS berasal dari beragam latar belakang profesi. Semua diproyeksikan berdasarkan kebutuhan legislasi di DPR. Secara pendidikan, mayoritas caleg PKS memiliki latar belakang S1. Proporsi mereka ada 57 persen. Berikutnya, caleg berlatar belakang pendidikan S2 sebanyak 21,7 persen, S3 6,3 persen, dan SMA 12,4 persen.

Untuk itu, Taufik meminta para kader di akar rumput untuk membantu semua caleg, termasuk caleg pendeta, agar dapat meraih perolehan suara signifikan dalam Pemilu 2014.

Menurutnya, PKS mengandalkan kekuatan kader sebagai magnet elektoral di Pemilu 2014. Bagi PKS caleg-caleg tidak akan bisa berbuat banyak tanpa dukungan para kader.

“Kader adalah mesin partai. Ini sudah terbukti di Pemilu Jawa Barat dan Sumatera Utara,” ujarnya. [taz/rpb]

Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap buku “Hizbut Tahrir Dalam Sorotan” Karya Idrus Ramli

 
Masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a dan berbaliknya dari memusuhi Islam menjadi pendukung dakwah, selain memang pertolongan Allah, juga tidak lepas dari pengaruh opini publik, dimana dia melihat rakyat jelata ikut “pengajiannya” Mush’ab bin ‘Umair r.a, dan besarnya animo masyarakat terhadap “pengajiannya” Mush’ab, sehingga Sa’ad mengutus Usaid bin Khudhair untuk membubarkan “pengajian” tersebut, biidznillah, justru Usaid masuk Islam, dan berakhir dengan masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a. dan kaumnya.

1. Indonesia dalam Bahaya
 
Banjarmasin 2011: 148 kasus perzinaan, mayoritas dilakukan siswi SMP, 30 kasus Infeksi saluran reproduksi. 30 kasus Infeksi menular seksual (IMS) (Data Dinkes Kota Bjm- Radar Banjarmasin, 3/10/2012). 
Survey internasional DKT bekerja sama dengan Sutra and Fiesta Condoms mengungkap bahwa 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun semua mengaku pernah berhubungan seksual. Mayoritas mereka melakukannya pertama kali saat usia 19 tahun. Survey dilakukan Mei 2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta (Republika.co.id, 12/12/2011) 
Media Indonesia, 4 Maret 2012: KINI Indonesia bertengger di peringkat satu dunia dalam jumlah pengunduh dan pengunggah situs porno. Mayoritas pengunduh masih berusia remaja, yakni pelajar SMP dan SMA 
Di Indonesia pada tahun 2010 kasus kekerasan seksual mencapai angka 3.090 kasus per tahun (> 8 org/per hari). (solopos.com, 14 September 2012) 
Ketua komnas Perempuan (Yuniyanti Chuzaifah): di Indonesia setiap hari 20 perempuan jadi korban perkosaan (Majalah detik ed 61. 28 JAN – 3 FEB 2013). 
Di Indonesia, tiap tahun 700.000 remaja lakukan aborsi (lebih dari 1917 bayi per hari), dari 2,6 juta kasus aborsi (>7123 org/hari, hampir 5 org/menit) (Kompas.com, Sabtu, 4 Juli 2009) 
50 Orang Meninggal Setiap Hari akibat Narkoba (Media Indonesia.com/07 Juni 2012) 
Korupsi juga makin merajalela, menteri, anggota DPR dan 291 orang kepala daerah menjadi tersangka. (Suaramerdeka.com, 1/4/2013) 
Menurut Samsudin Haris profesor riset LIPI, Parpol tidak lagi menjadi pilar demokrasi, tetapi berubah menjadi pilar korupsi. Mendekati Pemilihan Umum 2014, skala korupsi diperkirakan semakin meningkat karena parpol membutuhkan biaya kampanye (Kompas, 30/12/12). 
Kekayaan Alam makin dicengkeram asing, sementara hutang tambah banyak. Sepanjang 2012 lalu, utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 166,47 triliun. Hingga akhir 2012, total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.975,42 triliun. Kalau dibagi per rakyat, 1 orang menanggung utang Rp 8,29 juta. (voa-islam.com, Senin, 28 Jan 2013) 
Kondisi umat juga masih terzalimi, di rohingya, iraq, afganistan, … umat juga menjadi sasaran kedzaliman. 
2. Pengabaian Terhadap Hukum Syari’ah : Akar masalah
 
Dikuasainya sumber daya dan kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, kelamnya persoalan perburuhan, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana, adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kezaliman yang diderita umat di berbagai negara, penghinaan terhadap Nabi yang terus terjadi serta sulitnya perubahan ke arah Islam, karena dihambat oleh negara Barat yang tidak mau kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam. Semua itu pada akhirnya mendatangkan kesempitan dalam kehidupan umat manusia, bukan hanya umat Islam. Dan semua kesempitan itu pada dasarnya akibat ditinggalkannya petunjuk dari Allah SWT dalam pengelolaan berbagai interaksi dan urusan di masyarakat. Itulah yang jauh-jauh hari sesungguhnya telah diperingatkan oleh Allah SWT kepada kita semua. Allah SWT berfirman kepada kita semua:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (QS Thaha: 123-124)
 
Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, yakni menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada rasul-Ku, ia berpaling darinya dan berpura-pura melupakannya dan mengambil dari selainnya sebagai petunjuknya; “maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” yakni di dunia.” (Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm). 
Tidak akan ada keberkahan dan keselamatan kecuali kalau manusia mau menerapkan seluruh aturan Allah swt, tanpa pilih-pilih. Rasulullah saw bersabda:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka. (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan). 
Umar r.a pernah berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita.” (diriwayatkan oleh Al Hakim dengan sanad shahih menurut Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi). 
3. Sistem yang Menerapkan Semua Hukum Allah: Sistem Khilafah
 
Kenapa syari’ah tidak bisa tegak secara sempurna? Tidak lain dan tidak bukan karena tidak ada kekuasaan yang menegakkannya, padahal sebagian besar hukum syara’ hanya boleh dilakukan oleh negara.

اتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْفَتْوَى عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ أَحَدٍ حَقَّهُ دُونَ السُّلْطَانِ، وَلَيْسَ لِلنَّاسِ أَنْ يَقْتَصَّ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِسُلْطَانٍ أَوْ مَنْ نَصَّبَهُ السُّلْطَانُ لِذَلِكَ

“Para Imam yg berfatwa telah sepakat bahwa tidak boleh seseorang mengqishas orang lain yg menjadi haknya selain penguasa, dan tidak boleh manusia saling mengqishah sebagian terhadap sebagian yg lain, tetapi yang demikian itu hanyalah adalah hak penguasa atau orang yg diangkat penguasa untuk hal tersebut (Imam Al Qurthuby (w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 2/257).

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الْاِمَامُ الْاَعْظَمُ، اَلْقَائِمُ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِىْ حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” (Al-Imam Muhammad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtâj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289)

والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

“imamah, khilafah, dan imaratul mukminin adalah sinonim. yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.” (Imam An Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm 191, Darul Fikr)
Imam Ibnu Hajar Al Haytami Al Makki Asy Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya : الصواعق المحرقة على أهل الرفض والضلال والزندقة juz 1 hal 25 menulis:

اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات

Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.
 
Oleh karena itu, runtuhnya khilafah akan menjadikan terbengkalainya hukum-hukum Islam, akan berlepasan hukum Islam, satu perkara demi satu perkara, hingga kita saksikan hukum shalat pun banyak yang melalaikannya. Rasulullah katakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad shahih:

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.”
 
4. Pentingnya Sosialisasi dan Membangun Opini
 
Acara ini merupakan salah satu wujud kepedulian terhadap Islam, wujud kerinduan terhadap tegaknya syari’ah Islam, juga wujud upaya menunjukkan bahwa tidak sedikit kaum muslimin yang masih ingin diatur dengan Islam, sehingga diharapkan pemegang kekuasaan tergerak hatinya untuk turut berupaya merealisasikan syari’ah Islam dalam kehidupan. Dan yang terpenting lagi, kami juga berharap acara ini bisa menjadi salah satu hujjah bagi siapa saja yang mendukung dan hadir, saat Allah meminta pertanggung jawaban, saat ditanya : apa yang telah engkau lakukan untuk tegaknya Islam? Apa yang telah engkau lakukan untuk menolong saudara-saudaramu?, minimal kita bisa berhujjah : yaa Allah, kami sudah berusaha, kami juga sudah mendukung dan hadir dalam acara Muktamar Khilafah J. Tentunya upaya tersebut tidak berhenti pada muktamar saja. 
Bagi yang mencermati perubahan sistem di berbagai negara, tentunya bisa melihat bahwa salah satu faktor utama terjadinya perubahan adalah opini publik. Proses perubahan revolusioner yang terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994 merupakan buah dari berubahnya opini publik, pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya. 
Di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa. Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik. Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi. 
Begitu juga dakwah Rasulullah di Makkah dan Madinah, atas izin Allah swt, Mush’ab bin Umair setelah berhasil menggalang “pengajian” di kebun-kebun kurma, akhirnya berhasil “membuat gerah” pimpinan suku, yakni Sa’ad bin Muadz yang akhirnya justru Allah gerakkan hatinya untuk menganut Islam. Dan setelah masuk Islam, justru Sa’ad berkata kepada kaumnya:

يَا بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ، كَيْفَ تَعْلَمُونَ أَمْرِي فِيكُمْ؟ قَالُوا: سَيِّدُنَا (وَأَوْصَلُنَا) وَأَفْضَلُنَا رَأْيًا، وَأَيْمَنُنَا نَقِيبَةً، قَالَ: فَإِنَّ كَلَامَ رِجَالِكُمْ وَنِسَائِكُمْ عَلَيَّ حَرَامٌ حَتَّى تُؤْمِنُوا باللَّه وبرسوله

Wahai Bani Abdil Asy-Hal, bagaimana kalian ketahui urusan (kepemimpinan)ku ditengah-tengah kalian? Mereka menjawab: (engkau) pemimpin kami, (dan orang yang gemar menyambung silaturahmi) dan orang yang pendapatnya paling utama, dan pemimpin yang paling amanah. Dia (Sa’ad) berkata: sesungguhnya ucapan lelaki dan wanita kalian haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. (Ibnu Hiysam (wafat 213 H), Sirah Nabawiyyah, 1/437) 
Masuk Islamnya Sa’ad dan berbaliknya dari memusuhi Islam menjadi pendukung dakwah, selain memang pertolongan Allah,  juga tidak lepas dari pengaruh opini publik, dimana dia melihat rakyat jelata ikut “pengajiannya” Mush’ab bin ‘Umair r.a, dan besarnya animo masyarakat terhadap “pengajiannya” Mush’ab, sehingga Sa’ad mengutus Usaid bin Khudhair untuk membubarkan “pengajian” tersebut, biidznillah justru Usaid masuk Islam, dan berakhir dengan masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a. 
Suatu kebenaran bisa menjadi opini publik bila  diopinikan terus menerus. Bila pengopinian mengendur, maka yang menjadi opini publik adalah hal lain, yang bisa jadi benar bisa jadi juga salah. Lihatlah iklan pepsodent, semua orang juga sudah tahu bahwa pepsodent itu pasta gigi. Akibat opininya terus menerus, maka jika disebut pasta gigi, otomatis orang akan ingat pepsodent, kalau opininya melemah kemungkinan jika disebut pasta gigi orang akan ingat yang lain. 
Siapa tahu dengan hadirnya kita, melengkapi hadirnya umat Islam yang lain, Allah akan memperkuat opini publik bahwa hanya syari’ah yang akan menyelesaikan masalah negeri ini, dengannya Allah berkenan membuka hati para penguasa untuk berbalik mendukung tegaknya Syari’ah Allah, mereka yang awalnya ragu jadi berani, yang awalnya memusuhi jadi terbuka hati, yang awalnya membenci jadi mencari informasi sehingga mendapat informasi yang benar. Hal yang mungkin tidak pernah kita hitung, namun hitungannya sungguh besar disisi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Maka demi Allah, sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan perantaraan engkau, itu lebih baik bagi engkau daripada engkau memiliki onta merah (HR. Al Bukhary)
Dalam riwayat Ibnul Mubârak (wafat 181 H):

لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا، خَيْرٌ لَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan perantaraan engkau, itu lebih baik bagi engkau daripada engkau memiliki dunia dan isinya. (Az Zuhdu li Ibnil Mubârak, 1/484)
Masihkah kita ragu untuk berkontribusi, mendukung dan menghadirinya? Sungguh pengorbanan dan biaya yang kita keluuarkan tidak sebanding dengan tersebarnya informasi dan tertunjukinya orang ke jalan-Nya, walaupun hanya satu orang. Semoga Allah memudahkan semua urusan kita. [M. Taufik N.T/[www.al-khilafah.org
 
Masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a dan berbaliknya dari memusuhi Islam menjadi pendukung dakwah, selain memang pertolongan Allah, juga tidak lepas dari pengaruh opini publik, dimana dia melihat rakyat jelata ikut “pengajiannya” Mush’ab bin ‘Umair r.a, dan besarnya animo masyarakat terhadap “pengajiannya” Mush’ab, sehingga Sa’ad mengutus Usaid bin Khudhair untuk membubarkan “pengajian” tersebut, biidznillah, justru Usaid masuk Islam, dan berakhir dengan masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a. dan kaumnya.

1. Indonesia dalam Bahaya
 
Banjarmasin 2011: 148 kasus perzinaan, mayoritas dilakukan siswi SMP, 30 kasus Infeksi saluran reproduksi. 30 kasus Infeksi menular seksual (IMS) (Data Dinkes Kota Bjm- Radar Banjarmasin, 3/10/2012). 
Survey internasional DKT bekerja sama dengan Sutra and Fiesta Condoms mengungkap bahwa 462 responden berusia 15 sampai 25 tahun semua mengaku pernah berhubungan seksual. Mayoritas mereka melakukannya pertama kali saat usia 19 tahun. Survey dilakukan Mei 2011 di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bali, dan Yogyakarta (Republika.co.id, 12/12/2011) 
Media Indonesia, 4 Maret 2012: KINI Indonesia bertengger di peringkat satu dunia dalam jumlah pengunduh dan pengunggah situs porno. Mayoritas pengunduh masih berusia remaja, yakni pelajar SMP dan SMA 
Di Indonesia pada tahun 2010 kasus kekerasan seksual mencapai angka 3.090 kasus per tahun (> 8 org/per hari). (solopos.com, 14 September 2012) 
Ketua komnas Perempuan (Yuniyanti Chuzaifah): di Indonesia setiap hari 20 perempuan jadi korban perkosaan (Majalah detik ed 61. 28 JAN – 3 FEB 2013). 
Di Indonesia, tiap tahun 700.000 remaja lakukan aborsi (lebih dari 1917 bayi per hari), dari 2,6 juta kasus aborsi (>7123 org/hari, hampir 5 org/menit) (Kompas.com, Sabtu, 4 Juli 2009) 
50 Orang Meninggal Setiap Hari akibat Narkoba (Media Indonesia.com/07 Juni 2012) 
Korupsi juga makin merajalela, menteri, anggota DPR dan 291 orang kepala daerah menjadi tersangka. (Suaramerdeka.com, 1/4/2013) 
Menurut Samsudin Haris profesor riset LIPI, Parpol tidak lagi menjadi pilar demokrasi, tetapi berubah menjadi pilar korupsi. Mendekati Pemilihan Umum 2014, skala korupsi diperkirakan semakin meningkat karena parpol membutuhkan biaya kampanye (Kompas, 30/12/12). 
Kekayaan Alam makin dicengkeram asing, sementara hutang tambah banyak. Sepanjang 2012 lalu, utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 166,47 triliun. Hingga akhir 2012, total utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 1.975,42 triliun. Kalau dibagi per rakyat, 1 orang menanggung utang Rp 8,29 juta. (voa-islam.com, Senin, 28 Jan 2013) 
Kondisi umat juga masih terzalimi, di rohingya, iraq, afganistan, … umat juga menjadi sasaran kedzaliman. 
2. Pengabaian Terhadap Hukum Syari’ah : Akar masalah
 
Dikuasainya sumber daya dan kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, kelamnya persoalan perburuhan, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik horizontal yang tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana, adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kezaliman yang diderita umat di berbagai negara, penghinaan terhadap Nabi yang terus terjadi serta sulitnya perubahan ke arah Islam, karena dihambat oleh negara Barat yang tidak mau kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam. Semua itu pada akhirnya mendatangkan kesempitan dalam kehidupan umat manusia, bukan hanya umat Islam. Dan semua kesempitan itu pada dasarnya akibat ditinggalkannya petunjuk dari Allah SWT dalam pengelolaan berbagai interaksi dan urusan di masyarakat. Itulah yang jauh-jauh hari sesungguhnya telah diperingatkan oleh Allah SWT kepada kita semua. Allah SWT berfirman kepada kita semua:

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا

Dan jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit. (QS Thaha: 123-124)
 
Imam Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, yakni menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada rasul-Ku, ia berpaling darinya dan berpura-pura melupakannya dan mengambil dari selainnya sebagai petunjuknya; “maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” yakni di dunia.” (Imam Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm). 
Tidak akan ada keberkahan dan keselamatan kecuali kalau manusia mau menerapkan seluruh aturan Allah swt, tanpa pilih-pilih. Rasulullah saw bersabda:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka. (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan). 
Umar r.a pernah berkata:

إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ

“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam, bilamana kita mencari kemuliaan selain dengan yang Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita.” (diriwayatkan oleh Al Hakim dengan sanad shahih menurut Bukhory dan Muslim, disepakati oleh Adz Dzahabi). 
3. Sistem yang Menerapkan Semua Hukum Allah: Sistem Khilafah
 
Kenapa syari’ah tidak bisa tegak secara sempurna? Tidak lain dan tidak bukan karena tidak ada kekuasaan yang menegakkannya, padahal sebagian besar hukum syara’ hanya boleh dilakukan oleh negara.

اتَّفَقَ أَئِمَّةُ الْفَتْوَى عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَقْتَصَّ مِنْ أَحَدٍ حَقَّهُ دُونَ السُّلْطَانِ، وَلَيْسَ لِلنَّاسِ أَنْ يَقْتَصَّ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِسُلْطَانٍ أَوْ مَنْ نَصَّبَهُ السُّلْطَانُ لِذَلِكَ

“Para Imam yg berfatwa telah sepakat bahwa tidak boleh seseorang mengqishas orang lain yg menjadi haknya selain penguasa, dan tidak boleh manusia saling mengqishah sebagian terhadap sebagian yg lain, tetapi yang demikian itu hanyalah adalah hak penguasa atau orang yg diangkat penguasa untuk hal tersebut (Imam Al Qurthuby (w. 671 H), Al Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 2/257).

اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الْاِمَامُ الْاَعْظَمُ، اَلْقَائِمُ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِىْ حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” (Al-Imam Muhammad ar-Ramli, Nihayat al-Muhtâj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289)

والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

“imamah, khilafah, dan imaratul mukminin adalah sinonim. yang dimaksud dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.” (Imam An Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 19, hlm 191, Darul Fikr)
Imam Ibnu Hajar Al Haytami Al Makki Asy Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya : الصواعق المحرقة على أهل الرفض والضلال والزندقة juz 1 hal 25 menulis:

اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات

Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’ (sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang terpenting.
 
Oleh karena itu, runtuhnya khilafah akan menjadikan terbengkalainya hukum-hukum Islam, akan berlepasan hukum Islam, satu perkara demi satu perkara, hingga kita saksikan hukum shalat pun banyak yang melalaikannya. Rasulullah katakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad shahih:

لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terburai adalah masalah hukum (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat.”
 
4. Pentingnya Sosialisasi dan Membangun Opini
 
Acara ini merupakan salah satu wujud kepedulian terhadap Islam, wujud kerinduan terhadap tegaknya syari’ah Islam, juga wujud upaya menunjukkan bahwa tidak sedikit kaum muslimin yang masih ingin diatur dengan Islam, sehingga diharapkan pemegang kekuasaan tergerak hatinya untuk turut berupaya merealisasikan syari’ah Islam dalam kehidupan. Dan yang terpenting lagi, kami juga berharap acara ini bisa menjadi salah satu hujjah bagi siapa saja yang mendukung dan hadir, saat Allah meminta pertanggung jawaban, saat ditanya : apa yang telah engkau lakukan untuk tegaknya Islam? Apa yang telah engkau lakukan untuk menolong saudara-saudaramu?, minimal kita bisa berhujjah : yaa Allah, kami sudah berusaha, kami juga sudah mendukung dan hadir dalam acara Muktamar Khilafah J. Tentunya upaya tersebut tidak berhenti pada muktamar saja. 
Bagi yang mencermati perubahan sistem di berbagai negara, tentunya bisa melihat bahwa salah satu faktor utama terjadinya perubahan adalah opini publik. Proses perubahan revolusioner yang terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994 merupakan buah dari berubahnya opini publik, pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya. 
Di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa. Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik. Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi. 
Begitu juga dakwah Rasulullah di Makkah dan Madinah, atas izin Allah swt, Mush’ab bin Umair setelah berhasil menggalang “pengajian” di kebun-kebun kurma, akhirnya berhasil “membuat gerah” pimpinan suku, yakni Sa’ad bin Muadz yang akhirnya justru Allah gerakkan hatinya untuk menganut Islam. Dan setelah masuk Islam, justru Sa’ad berkata kepada kaumnya:

يَا بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ، كَيْفَ تَعْلَمُونَ أَمْرِي فِيكُمْ؟ قَالُوا: سَيِّدُنَا (وَأَوْصَلُنَا) وَأَفْضَلُنَا رَأْيًا، وَأَيْمَنُنَا نَقِيبَةً، قَالَ: فَإِنَّ كَلَامَ رِجَالِكُمْ وَنِسَائِكُمْ عَلَيَّ حَرَامٌ حَتَّى تُؤْمِنُوا باللَّه وبرسوله

Wahai Bani Abdil Asy-Hal, bagaimana kalian ketahui urusan (kepemimpinan)ku ditengah-tengah kalian? Mereka menjawab: (engkau) pemimpin kami, (dan orang yang gemar menyambung silaturahmi) dan orang yang pendapatnya paling utama, dan pemimpin yang paling amanah. Dia (Sa’ad) berkata: sesungguhnya ucapan lelaki dan wanita kalian haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya. (Ibnu Hiysam (wafat 213 H), Sirah Nabawiyyah, 1/437) 
Masuk Islamnya Sa’ad dan berbaliknya dari memusuhi Islam menjadi pendukung dakwah, selain memang pertolongan Allah,  juga tidak lepas dari pengaruh opini publik, dimana dia melihat rakyat jelata ikut “pengajiannya” Mush’ab bin ‘Umair r.a, dan besarnya animo masyarakat terhadap “pengajiannya” Mush’ab, sehingga Sa’ad mengutus Usaid bin Khudhair untuk membubarkan “pengajian” tersebut, biidznillah justru Usaid masuk Islam, dan berakhir dengan masuk Islamnya Sa’ad bin Muadz r.a. 
Suatu kebenaran bisa menjadi opini publik bila  diopinikan terus menerus. Bila pengopinian mengendur, maka yang menjadi opini publik adalah hal lain, yang bisa jadi benar bisa jadi juga salah. Lihatlah iklan pepsodent, semua orang juga sudah tahu bahwa pepsodent itu pasta gigi. Akibat opininya terus menerus, maka jika disebut pasta gigi, otomatis orang akan ingat pepsodent, kalau opininya melemah kemungkinan jika disebut pasta gigi orang akan ingat yang lain. 
Siapa tahu dengan hadirnya kita, melengkapi hadirnya umat Islam yang lain, Allah akan memperkuat opini publik bahwa hanya syari’ah yang akan menyelesaikan masalah negeri ini, dengannya Allah berkenan membuka hati para penguasa untuk berbalik mendukung tegaknya Syari’ah Allah, mereka yang awalnya ragu jadi berani, yang awalnya memusuhi jadi terbuka hati, yang awalnya membenci jadi mencari informasi sehingga mendapat informasi yang benar. Hal yang mungkin tidak pernah kita hitung, namun hitungannya sungguh besar disisi Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

Maka demi Allah, sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan perantaraan engkau, itu lebih baik bagi engkau daripada engkau memiliki onta merah (HR. Al Bukhary)
Dalam riwayat Ibnul Mubârak (wafat 181 H):

لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا، خَيْرٌ لَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan perantaraan engkau, itu lebih baik bagi engkau daripada engkau memiliki dunia dan isinya. (Az Zuhdu li Ibnil Mubârak, 1/484)
Masihkah kita ragu untuk berkontribusi, mendukung dan menghadirinya? Sungguh pengorbanan dan biaya yang kita keluuarkan tidak sebanding dengan tersebarnya informasi dan tertunjukinya orang ke jalan-Nya, walaupun hanya satu orang. Semoga Allah memudahkan semua urusan kita. [M. Taufik N.T/[www.al-khilafah.org]

Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru

Oleh : Muhammad Bajuri
 
Pengantar
Islam adalah agama yang paling sempurna. Kesempurnaan Islam ini tampak jelas dari syariah yang dibawanya. Syariah Islam tidak hanya berisi fikrah (konsep) tetapi juga tharîqah (metode penerapannya). Sehingga, ketika syara’ mewajibkan umat Islam mengangkat seorang Khalifah, maka syara’ juga menetapkan tharîqah baku yang harus ditempuh dalam proses pengangkatan Khalifah.
 
Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 34 tentang prosedur hingga terjadinya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah baru, yang berbunyi: “Metode untuk mengangkat Khalifah adalah baiat. Adapun tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat Khalifah adalah sebagai berikut: (a) Mahkamah Mazhalim mengumumkan kosongnya jabatan Khilafah; (b) Amir sementara melaksanakan tugasnya dan mengumumkan dibukanya pintu pencalonan seketika itu; (c) Penerimaan pencalonan para calon yang memenuhi syarat-syarat in’iqad dan penolakan mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat in’iqad yang ditetapkan oleh Mahkamah Mazhalim; (d) Para calon yang pencalonannya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh anggota Majelis Umah yang Muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama, dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak; (e) Nama kedua calon terpilih diumumkan. Kaum Muslim diminta untuk memilih satu dari keduanya; (f) Hasil pemilihan diumumkan, dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapat suara lebih banyak; (g) Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; (h) Setelah proses baiat selesai, Khalifah kaum Muslim diumumkan ke seluruh penjuru sehingga sampai kepada umat seluruhnya. Pengumuman itu disertai penyebutan nama Khalifah dan bahwa ia telah memenuhi sifat-sifat yang menjadikannya berhak untuk menjabat Khilafah; dan (i) Setelah proses pengangkatan Khalifah yang baru selesai, masa jabatan amir sementara berakhir.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 137-138).


Prosedur Pengangkatan Dan Pembaiatan Khalifah Baru
 
 
Baiat Tharîqah Baku Pengangkatan Khalifah
Terkait dengan baiat sebagai tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah, sangat jelas dari baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw. Sebab, baiat kaum Muslim kepada Rasulullah Saw, bukan baiat atas kenabian, melainkan baiat atas kekuasaan. Jadi, Rasulullah Saw itu dibaiat adalah dalam kapasitasnya sebagai seorang penguasa, bukan sebagai Nabi dan Rasul, karena pengakuan atas kenabian dan kerasulan itu adalah keimanan bukan baiat; juga perintah Rasulullah Saw kepada kami agar membaiat seorang Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 139).
Dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ»
Kami telah membai’at Rasulullah Saw. untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami senangi; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin; juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq di manapun kami berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela.” (HR. Bukhari).
Dan juga sabdanya:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiah (kepada khalifah), maka dia mati (dalam keadaan berdosa), seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Nash-nash tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tharîqah baku satu-satunya dalam pengangkatan Khalifah adalah baiat. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 140).
Sehubungan dengan hal ini, Imam an-Nawawi berkata: “Akad khilafah itu dinyatakan sah hanya dengan baiat.” (An-Nawawi, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, VII/390).
 Prosedur Pembaiatan Khalifah
Di saat jabatan Khilafah kosong—karena wafatnya atau dipecatnya seorang Khalifah—, maka Mahkamah Mazhalim mengumumkan tentang kosongnya jabatan Khilafah. Dan seketika itu pula amir sementara—yang tugas pokoknya adalah melangsungkan pemilihan Khalifah baru dalam jangka waktu tiga hari—mulai melaksanakan tugasnya serta mengumumkan dibukanya pintu pencalonan. Kemudian Mahkamah Mazhalim memverifikasi para calon untuk menetapkan siapa-siapa dari mereka yang telah memenuhi syarat-syarat in’iqad dan yang tidak. Selanjutnya dilakukan pembatasan hingga menjadi dua orang calon saja, dan diumumkan kepada masyarakat untuk memilih salah satu dari keduanya.
Prosedur tersebut dipahami dari apa yang terjadi pada proses pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin sesudah wafatnya Rasulullah Saw. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali—semoga Allah meridhai mereka semua. Sementara terkait pembatasan hingga menjadi dua calon saja, maka hal itu terlihat jelas dalam mekanisme pembaiatan Khulafa’ur Rasyidin. Di Saqifah bani Saidah calonnya adalah Abu Bakar, Umar, Abu Ubaidah dan Sa’ad bin Ubadah. Namun Umar dan Abu Ubaidah mengundurkan diri karena merasa tidak level bersaing dengan Abu Bakar. Sehingga praktis calonnya tinggal dua, yaitu Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubadah. Kemudian  ahlul hall wal ‘aqd di Saqifah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah dan membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), dan keesokan harinya baiat taat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 42).
Ibnu Qutaibah berkata: “Pada hari yang sama ketika Rasulullah Saw wafat, Abu Bakar dibaiat—sebagai baiat ‘iniqâd—di Saqifah Bani Sa’idah bin Ka’ab bin al-Khazraj, kemudian besoknya, pada hari Selasa, ia dibaiat dengan baiat umum, yakni baiat taat (Ibnu Qutaibah, al-Ma’ârif, hlm. 74).
Abu Bakar mencalonkan Umar sebagai Khalifah bagi kaum Muslim, dan tidak ada calon lain selain beliau. Dengan kata lain, Umar ketika itu merupakan calon tunggal. Kemudian kaum Muslim membaiatnya dengan baiat ‘iniqâd (baiat pengangkatan), lalu baiat taat.
Sementara Umar mencalonkan enam orang dan membatasi mereka saja untuk dipilih di antara mereka menjadi Khalifah. Kemudian  Abdurrahman bin Auf berdiskusi dan menanyakan lima orang lainnya, siapa di antara mereka yang lebih pantas menjadi Khalifah, hasilnya ditetapkan dua orang, yaitu Ali dan Utsman. Setelah itu dilakukan polling (pemungutan suara), dan Utsman pun diangkat menjadi Khalifah.
Sedangkan Ali, maka beliau merupakan calon tunggal, karena tidak ada calon lain selain beliau untuk jabatan Khilafah. Kemudian mayoritas kaum Muslim di Madinah dan Kufah membaiatnya, sehingga beliau menjadi Khalifah yang keempat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 142-143; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 31-32).
Dengan demikian, beberapa perkara berikut wajib diambil sebagai ketentuan saat pencalonan Khalifah setelah kosongnya jabatan Khilafah, baik karena Khalifah sebelumnya meninggal atau dipecat, yaitu:
  1. Aktivitas di seputar pencalonan hendaknya dilakukan sepanjang malam dan siang hari selama hari-hari yang telah ditentukan.
  2. Seleksi para calon dari segi terpenuhinya syarat-syarat in’iqad. Hal ini dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim.
  3. Pembatasan jumlah calon yang telah memenuhi kelayakan dilakukan dua kali: Pertama, dibatasi sebanyak enam orang. Kedua, dibatasi menjadi dua orang. Sementara pihak yang melakukan dua kali pembatasan ini adalah Majelis Umat dalam kapasitasnya sebagai wakil umat. Sebab, umat telah mendelegasikan pencalonan itu kepada Umar, lalu Umar menetapkan calon sebanyak enam orang. Keenam orang itu kemudian mendelegasikan pencalonannya kepada Abdurrahman. Setelah melalui diskusi, kemudian Abdurrahman membatasi pencalonan pada dua orang. Rujukan atas semua ini, seperti yang sudah dijelaskan, adalah umat atau pihak yang mewakilinya.
  4. Setelah selesainya pemilu dan pembaiatan, maka diumumkan kepada seluruh rakyat, orang yang telah menjadi Khalifah kaum Muslim, sehingga berita pengangkatannya sampai pada seluruh umat, dengan menyebutkan namanya, dan sifat-sifat yang dimilikinya yang menjadikannya layak untuk menduduki jabatan Khilafah.
  5. Wewenang amir sementara berakhir dengan berakhirnya proses pengangkatan dan pembaiatan Khalifah, bukan dengan pengumuman hasil pemilihan Khalifah. Sebab kepemimpinan Suhaib belum berakhir dengan terpilihnya Utsman, tetapi berakhir dengan sempurnanya pembaiatan Utsman (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 145; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 34).
Untuk Fakta Sekarang
Prosedur di atas adalah apabila telah ada Khalifah, lalu Khalifahnya meninggal atau dipecat, dan hendak mengangkat Khalifah baru untuk menggantikannya. Namun apabila belum ada Khalifah sama sekali, sementara kaum Muslim wajib mengangkat Khalifah untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, seperti halnya sekarang, sejak dihapusnya institusi negara Khilafah pada tanggal 28 Rajab 1342 H, yang bertepatan dengan 3 Maret 1924, oleh Attaturk—seorang agen loyalis kaum kafir najis, Inggris—, maka setiap negeri dari seluruh dunia Islam berhak untuk membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah. Apabila suatu negeri telah membaiat Khalifah dan mengadakan akad khilafah, maka kaum Muslim yang berada di negeri-negeri lainnya wajib membaiatnya dengan baiat taat, yakni baiat ketundukan. Syaratnya bahwa negeri itu telah memenuhi empat perkara berikut:
  1. Kekuasaan negeri itu merupakan kekuasaan yang hakiki (otonomi penuh, sulthân[an] dzâtiy[an]), yang hanya bersandar kepada kekuasaan kaum Muslim saja, dan tidak bergantung pada negara kafir manapun, atau tidak di bawah pengaruh orang (negara) kafir.
  2. Keamanan kaum Muslim di daerah atau negeri itu haruslah dengan keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya, perlindungan daerah atau negeri itu, baik keamanan dalam negeri maupun luar negerinya merupakan perlindungan Islam, yakni berasal dari kekuatan kaum Muslim—yang dipandang sebagai kekuatan Islam—saja.
  3. Negeri itu harus memulai penerapan Islam secara total, revolusioner (sekaligus) dan menyeluruh, serta langsung melakukan tugas mengemban dakwah Islam.
  4. Khalifah yang dibaiat harus telah memenuhi syarat-syarat in’iqad (legalitas Khilafah), meskipun belum memenuhi syarat afdhaliyah (keutamaan), sebab yang wajib dipenuhi hanyalah syarat-syarat in’iqad (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 146; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 35; Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 233; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), hlm. 25).
Dengan demikian, apabila suatu negeri telah memenuhi empat syarat tersebut, dan penduduk negeri itu telah membaiat khalifah sesuai ketentuan syara’, maka khilafah benar-benar telah terwujud, dan selanjutnya tidak boleh membaiat khalifah lain. Apabila ada negeri lain yang membaiat khalifah lain setelah itu, maka baiatnya batal dan tidak sah. Rasulullah saw bersabda:
« إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا الآخَرَ مِنْهُمَا »
Apabila dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang lain (terakhir) dari keduanya.” (HR. Muslim).
Jadi, apabila khilafah telah tegak di suatu negeri, dan khalifah telah terwujud, maka wajib bagi kaum Muslim di seluruh dunia untuk bergabung di bawah panji khilafah dan membaiat khalifah tersebut sebagai baiat taat. Sebab, jika tidak, maka semuanya berdosa di sisi Allah SWT (Rodhi, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah. Hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 26). WalLâhu a’lam bish-shawâb.
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilâfah (fi al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Ibnu Qutaibah, Abdullah ad-dainuri, al-Ma’ârif, (Mesir: al-Maktabah al-Husainiyah), 1934.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nawawi, Yahya bin Syaraf, Nihâyah al-Muhtâj ila Syarhi al-Minhâj, (Syirkah Mustafa al-Halabi), 1933.
Rodhi, Muhammad Muhsin, Hizb at-Tahrir Tsaqofatuhu wa Manhajuhu fi Iqomah Daulah al-Khilafah al-Islamiyah, (Departemen Pendidikan Tinggi dan Kajian Keilmuan Universitas Islam Baghdad), 2006.
[www.al-khilafah.org]