Kamis, 25 April 2013

Khilafah Ajaran Ahlus Sunnah Vs Demokrasi Ajaran Penjajah

Khilafah Ajaran Aswaja

Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah), menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam [khalifah] dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16).

Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW). Dan disebut wal jamaah, karena mengikuti ijma’ shahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31)

Dari pengertian Aswaja di atas, jelas sekali bahwa ajaran Khilafah dengan sendirinya sangat melekat dengan ajaran Aswaja. Sebab Khilafah sangat terkait dengan istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di sini maksudnya adalah kaum muslimin yang hidup di bawah kepemimpinan khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisahkan dengan Aswaja.

Kesatuan Aswaja dan Khilafah ini akan lebih dapat dipastikan lagi, jika kita menelaah kitab-kitab yang membahas aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung : Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w. 204 H), terdapat pasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam (khalifah) (pasal 61-62).

Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,“Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.

Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,“Ketahuilah bahwa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb al-khalifah…).

Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam kitab-kitab tafsir, hadits, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahwa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut paham Aswaja. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,“Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di antara umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham haitsu kaana ‘an asy-syariah asham...). Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,“Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Jelaslah, bahwa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Aswaja dalam berkehiduan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah adalah wajib menurut Aswaja. Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib kalau ada individu atau kelompok yang mengklaim penganut Aswaja, tapi mengingkari atau bahkan mencemooh Khilafah. Pengingkaran penganut Aswaja terhadap Khilafah adalah batil, karena tindakan itu sesungguhnya adalah upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah. Ini jelas-jelas upaya keji dan jahat untuk merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.

Demokrasi Bukan Ajaran Aswaja

Adapun sistem bernegara dan bermasyarakat sekarang, yaitu sistem demokrasi, sama sekali bukan ajaran Aswaja, melainkan konsep kafir penjajah yang sebenarnya haram diterapkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Banyak ulama masa kini yang mengecam demokrasi dan memfatwakan haramnya menerapkan sistem demokrasi. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufrin (1990) menegaskan : “Demokrasi adalah sistem kufur, haram mengambilnya, menerapkannya, dan mempropagandakannya.” (ad-dimuqrathiyah nizham kufrin yahrumu akhdzuha aw tathbiquhaa aw ad-da’watu ilaihaa). Demokrasi disebur sistem kufur, tiada lain karena menyerahkan hak menetapkan hukum pada manusia, padahal menetapkan hukum hanyalah hak Allah semata (QS Al-An`am : 57). Kecaman serupa terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Syaikh Ali Belhaj dalam kitabnya Ad-Damghah Al-Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyah. Menurut Belhaj, umat Islam haram mengikuti demokrasi, karena termasuk perbuatan menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) (hal 18-19).

Karena itu, sesungguhnya telah jelas sekali bahwa demokrasi bukanlah konsep Aswaja. Demikian pula, segala sesuatu yang terkait dengan demokrasi itu, yakni paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang menjadi ide dasar demokrasi. Juga bentuk pemerintahan yang lahir dari sistem demokrasi, yaitu sistem republik, baik republik parlementer maupun presidensial.

Semua konsep itu (demokrasi, sekularisme, republik) bukanlah konsep Aswaja, melainkan ajaran-ajaran asing yang kafir yang sudah berada di luar lingkaran Islam (laisa minal Islam). Semua konsep asing itu terwujud di Dunia Islam bukanlah terjadi secara damai dan atas kesadaran umat Islam itu sendiri, melainkan terjadi melalui paksaan, yaitu penjajahan yang kejam pada abad ke-19 dan ke-20. Terlebih lagi setelah Khilafah Islam di Turki hancur tahun 1924. Penjajahan itu selanjutnya membuat sistem pendidikan sekular yang akhirnya melahirkan manusia-manusia yang walau agamanya Islam (dan mungkin mengklaim berpaham Aswaja), tapi ideologinya sekular-liberal. Tidak kenal atau percaya lagi dengan Khilafah, tapi kenalnya demokrasi, sekularisme, dan sistem republik. Sungguh ironis dan menyedihkan.

Kita sebagai umat Islam, khususnya Aswaja, wajib kembali kepada ajaran yang benar dalam bernegara dan bermasyarakat, yaitu kembali pada Khilafah, bukan pada demokrasi. Kalau kita mengikuti demokrasi, berarti kita sudah terjerumus ke dalam dosa sebagaimana sabda Nabi SAW :

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan (hidup) umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk ke lubang biawak, kamu akan mengikuti mereka juga. Para shahabat bertanya, “Apakah mereka orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah SAW menjawab,”Lalu siapa lagi?” (HR Bukhari dan Muslim).
Fungsi Khilafah : Menegakkan SyariahKhilafah bukan ditujukan untuk kekuasaan itu sendiri, melainkan ditujukan untuk menerapkan syariah Islam. Khilafah, menurut Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), adalah kepemimpinan umum untuk seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia (ri’asatun ‘aammatun lil muslimina jami’an fi ad-dunya li iqamati ahkam asy-syar`i al-islami wa haml ad-dakwah al-islamiyah ila al-alam). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Beirut : Darul Ummah, 2003, 2/14).

Jadi, Khilafah itu sendiri sebenarnya bukanlah tujuan, melainkan sekedar metode (thariqah) untuk menerapkan hukum-hukum syariah Islam dalam segala aspeknya di dalam negeri. Syariah Islam itulah yang nantinya akan menyelesaikan segala masalah manusia (mu’alajat li masyakil al-insan), khususnya masalah publik semisal masalah dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan sebagainya. Dan Khilafah berfungsi sebagai institusi pelaksana untuk syariah Islam ini. Inilah fungsi Khilafah dalam negeri, yakni menerapkan Syariah Islam khususnya dalam bidang-bidang yang tidak dapat tegak kecuali dengan adanya Khilafah.

Penutup

Khilafah adalah ajaran asli Aswaja, sedang demokrasi bukan ajaran Aswaja, melainkan ajaran kafir penjajah yang dipaksakan atas umat Islam. Upaya memisahkan Aswaja dengan Khilafah, adalah upaya yang nyata-nyata merusak, menghancurkan, dan memalsukan ajaran Aswaja sejak prinsip dasarnya.
Sudah saatnya umat Islam, khususnya yang berpaham Aswaja, untuk kembali kepada Khilafah dan membuang sistem demokrasi yang kufur. [ ] M. Shiddiq Al-Jawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar