Minggu, 19 Agustus 2012

Menegakkan Khilafah Kewajiban Paling Agung


Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah di era modern ini adalah gagasan yang tidak rasional dan utopis, di samping tidak relevan di tengah kondisi banyaknya negara yang sudah memiliki sekat-sekat ideologis dan geografis masing-masing, termasuk di Dunia Islam. Wajar  jika ungkapan 'tidak rasional', 'utopis', atau 'tidak relevan' sering juga ditujukan ke tubuh Hizbut Tahrir (HT), yang memang merupakan salah satu partai dakwah yang konsisten memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah.
Untuk mengetahui alasan, mengapa HT dari sejak kemunculannya sampai sekarang tetap konsisten memperjuangkan Khilafah, berikut ini kami mewancarai Ustadz Hafidz Abdurrahman, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).


HT termasuk di Indonesia selama ini dikenal konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Mengapa harus Khilafah?
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan: Pertama, karena menegakkan Khilafah hukumnya wajib, bahkan bisa disebut sebagai kewajiban paling agung (a‘zham wâjibâti ad-dîn). Kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, memerintahkan agar kita menaati ûlî al-amri (pemimpin) dari kalangan kita, yang dalam bahasa al-Quran, ûlî al-amri minkum. Konteks ûlî al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ûlî al-amri minkum, sementara ûlî al-amri minkum tidak ada.
Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan: Man Mâta walaysa fî unuqihi bay'ah mâta mîtatan jâhiliyah (Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah). Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain. Sekalipun hadis ini isinya berita, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Selain itu, Ijma Sahabat juga telah menyatakan kewajiban mengangkat pemimpin yang menggantikan Nabi saw. dalam ihwal pemerintahan. Semuanya ini menjadi landasan syar‘i, mengapa kaum Muslim harus menegakkan Khilafah.
Kedua, karena Khilafah adalah penjaga (hâris) Islam dan umatnya. Tanpanya, kata Imam al-Ghazali, Islam dan umatnya akan lenyap. Inilah yang dilukiskan Nabi saw., bahwa  imam/khalifah itu sebagaijunnah (perisai). Karenanya, para ulama kaum Muslim, baik Syiah, Sunni, Muktazilah maupun Khawarij, telah sepakat atas kewajiban tersebut. Jadi, sangat logis jika persoalan ini dinyatakan sebagai perkarama‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah.
Ketiga, selain fakta sejarah, kenyataan empirik saat ini juga membuktikan urgensi Khilafah dalam membela kepentingan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dicap terorisme, siapa yang membela? Nggakada. Saat kaum Muslim dinodai kehormatannya, negeri mereka dijajah, kekayaan mereka dijarah, siapa yang membela dan mempertahankannya? Nggak ada. Bandingkan keadaannya dengan saat Khilafah masih ada.
Sekalipun demikian, tetap harus dicatat, bahwa Khilafah bukan tujuan perjuangan HT, tetapi metode untuk merealisasikan tujuan untuk memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah).

Bisa diperjelas, Ustadz, apa yang dimaksud dengan memulai kembali kehidupan Islam(Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah)?
Memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah) artinya kita mengembalikan kehidupan yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. setelah berhasil diwujudkan seiring dengan berdirinya negara di Madinah, yang kemudian setelah beliau wafat, dipertahankan oleh Khulafaur Rasyidin hingga terjadinya revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk pada tanggal 3 Maret 1924 M. Revolusi itu telah berhasil menghancurleburkan kehidupan Islam, bersamaan dengan keberhasilannya menghancurkan Khilafah.
Karena itu, perjuangan untuk mewujudkan kehidupan Islam saat ini tidak harus dimulai dari nol, sebab pondasinya masih ada. Ketika Nabi saw. di utus, umat Islam ketika itu memang belum ada, kemudian beliaulah yang membidani kelahirannya. Sejak saat itu hingga sekarang umat Islam tetap eksis dengan Islam yang diajarkan oleh Nabi. Akidah Islam yang menjadi pondasinya pun masih berdiri kokoh di dalam diri mereka; meskipun ada sejumlah perkara yang harus dibersihkan sehingga keyakinan mereka bisa connect dengan hukum-hukum yang dihasilkannya.
Demikian halnya kehidupan yang hendak diwujudkan HT di tengah-tengah masyarakat juga sama sekali bukan hal yang baru, karena sebelumnya sudah dicontohkan pada zaman Nabi saw. dan para khalifah setelahnya. Inilah yang disebut Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah. Tentu, ini lebih mudah diwujudkan oleh umat Islam ketimbang membangun kehidupan yang sama sekali baru, dan tidak pernah mereka kenal sebelumnya, baik kehidupan yang bercorak kapitalis maupun sosialis.

Artinya, dulu Khilafah pernah tegak?  
Ya, bahkan lebih lama daripada usia sistem pemerintahan kapitalis maupun sosialis. 

Bisa ustadz memberikan bukti-bukti historis tentang ini. 
Bukti-bukti historis adanya Khilafah telah banyak diabadikan oleh ulama kaum Muslim dalam buku-buku sejarah, seperti Târîkh al-Khulafâ' karya as-Suyuthi. Fakta tersebut juga telah dituturkan oleh para sejarahwan Muslim secara mutawâtir sehingga fakta keberadaannya tak terbantahkan oleh siapapun. Akan tetapi, bukti yang paling otentik adalah apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushuluddin. Kitab-kitab fikih dan usuluddin dipenuhi pembahasan tentang imâm (khalifah) dan imâmah (khilafah). Kitab-kitab tersebut tidak saja menjelaskan tentang kedudukan imam dan imamah, tetapi juga tentang struktur di bawahnya; seperti wazîr tafwîdh dan tanfîdz, wâlî, qâdhi, dan sebagainya. Mengapa pembahasan tersebut dianggap sebagai bukti otentik? Karena apa yang dibahas di dalamnya adalah fakta yang memang secara real terjadi pada saat itu; fakta itu kemudian dijelaskan hukumnya. Artinya, semua yang dibahas di dalamnya merupakan fakta yang memang ada pada saat itu; bukan hipotesis, yang faktanya tidak ada, selain asumsi yang diada-adakan.   

Tapi, ustadz, banyak yang tidak mengerti, bagaimana langkah-langkah HT sehingga kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah bisa kembali tegak?
Memang, karena perjuangan HT itu merupakan perjuangan ideologis, bukan pragmatis. Perjuangan ideologis itu kan sama artinya dengan mengubah kehidupan saat ini, yang notabene bukan kehidupan Islam, hingga menjadi kehidupan Islam. Artinya, realitas kehidupan saat inilah yang harus disesuaikan dengan Islam, dan bukan sebaliknya. Itulah esensi perjuangan ideologis.
Karena itu, ibarat orang yang hendak membangun rumah, harus ada arsitek yang menggambar maket rumah yang hendak dibangun hingga tergambar dengan jelas bentuk, ukuran, bahan, jumlah SDM yang dibutuhkan dan biayanya; termasuk saluran air, listrik, telpon, dan lingkungan di sekitarnya. Maket kehidupan Islam yang hendak diwujudkan oleh HT itu jelas sudah tergambar dengan sangat deskriptif, yang semuanya itu telah dituangkan dalam buku-bukunya; baik berkaitan dengan sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, maupun politik luar negeri dan hubungan internasionalnya. Semuanya itu bisa terwujud kalau ada SDM yang qualifide.
Karena itu, HT juga menyiapkan buku-buku untuk mencetak SDM yang dibutuhkan, baik dengan buku-buku yang menjelaskan maket di atas maupun buku-buku yang berkaitan dengan pembentukan SDM, seperti as-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Setelah SDM-nya tersedia, SDM tersebut tinggal di-drive agar bisa mewujudkan apa yang tertuang di dalam maket tadi supaya sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan; dimulai dengan pembangunan pondasi (marhalah ta'sis), yang dilakukan pada fase tatsqif (pembinaan); dilanjutkan dengan pembudayaan ide dan gagasan yang ingin diwujudkan, dengan cara membangun interaksi ideologis dengan umat, yang dilakukan pada fase tafâ‘ul ma‘a al-ummah. Setelah itu berhasil, yang ditandai, misalnya, dengan perubahan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan umat maka umatlah yang akan memberikan mandat kepada siapa saja yang mereka kehendaki untuk mengimplementasikan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan mereka. Inilah yang disebut fase istilâm al-hukm. Ini bisa terjadi jika ada nushrah (pertolongan) yang diberikan oleh mereka yang memiliki (ahl an-nushrah)-nya.
Uniknya, semuanya tadi berlangsung secara alamiah. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.; sebuah perubahan fundamental, tetapi smart, dan tanpa pertumpahan darah. Subhânallâh!

Dari penjelesan ustadz, aspek fikriyyah (pemikiran) demikian menonjol dalam perjuangan HT. Mengapa ini penting?
Oh, iya. Karena pemikiran itulah yang menjadi ruh, yang menentukan hidup dan matinya perjuangan. Inilah yang sekaligus membedakan HT dengan kelompok lain.

Tadi Ustadz menyinggung thalab an-nusrah. Bisa Ustadz perjelas maksudnya?
Thalab an-nushrah itu secara harfiah berarti mencari pertolongan (memobilisasi dukungan). Untuk apa? Tentu untuk dakwah; supaya dakwah yang diemban tetap eksis, sekaligus memberikan ruang kepada para pengembannya agar bisa mengemban dakwah.
Nushrah (dukungan/pertolongan) itu bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, dalam konteks himâyah(perlindungan), seperti himâyah Abu Thalib kepada Nabi saw., Abu Daghanah kepada Abu Bakar, Wail as-Sahami kepada Umar, dan sebagainya. Tuntunan Nabi saw. menyatakan, bahwa himâyah ini bisa diberikan oleh orang non-Muslim. Kedua, dalam konteks istilâm al-hukm (penyerahan mandat), seperti penolakan Nabi saw. atas mandat kekuasaan yang diberikan oleh kaum Kafir Quraisy, sebaliknya beliau menerima mandat dari kaum Muslim Anshar. Tuntunan ini menegaskan, bahwa nushrah dalam konteksistilâm al-hukm itu hanya bisa diterima jika yang memberikan adalah kaum Muslim.

Metode HT seperti itu sering disebut utopis. Bagaimana komentar Ustadz?
            Mengapa dianggap utopis? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena dianggap sulit. Kedua, karena tidak tahu. Padahal yang sulit bukan berarti tidak mungki, buktinya perjuangan Rasulullah saw sulit, tapi berhasil.
            Demikian juga tidak tahu, bukan berarti tidak ada. Ada yang tidak tahu jalan ke Jakarta, kan bukan berarti Jakarta itu tidak ada. Kalau Anda tidak, atau belum tahu cara menegakkan Khilafah, jangan sebut hal itu tidak ada sehingga dianggap mustahil.  
Semuanya tadi kan proses politik. Ingat, dalam proses politik tidak ada yang utopis. Sebab, tidak ada yang tetap dalam kamus politik. Mengapa? Karena politik itu kan seni kemungkinan. Jadi, semuanya serba mungkin. Apa yang tidak mungkin saat ini, dengan izin Allah, bisa menjadi kemungkinan pada waktu yang akan datang.
Tidak perlu dikhawatirkan, karena proses tadi tidak mengubah apapun kecuali pemikiran. So, yang berubah itu kan hanya pemikirannya, bukan fisiknya. Itu artinya, siapa saja yang menjadi tokoh atau pemimpin pada zaman Jahiliah toh tetap bisa menjadi tokoh dan pemimpin setelah zaman Islam, setelah pemikiran mereka berubah menjadi pemikiran Islam. Ya, kan? Coba, siapa yang menafikan ketokohan Umar, Abu Bakar, dan Hamzah sebelum dan setelah masuk Islam. Nah, jadi semuanya tadi membuktikan, bahwa perubahan seperti ini justru alami, dan smart.

Bisa Ustadz berikan bukti-bukti historis 'keberhasilan' metode seperti itu?
Ya, perjuangan Rasulullah itu. 

Kembali ke Khilafah, Ustadz. Apa mungkin Khilafah merupakan solusi terhadap seluruh persoalan umat manusia sekarang?
Ya, Khilafahlah solusinya, meski persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Artinya, Khilafah sebagai solusi memang iya. Tetapi, bagaimana Khilafah menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia saat ini, itu kan masih harus dirinci lagi.

Bisa Ustadz memberikan contoh sederhana, bahwa Khilafah adalah solusi?
Sebagai negara kesatuan, Khilafah bisa mengerahkan potensi dana, logistik, SDM dari seluruh negeri untuk membantu daerah bencana di salah satu negerinya. Bencana di Indonesia, misalnya, tidak seharusnya diselesaikan oleh penduduk Indonesia sendiri, karena mereka merupakan satu-kesatuan. Bisa saja logistiknya dari Malaysia, dananya dari Saudi, SDM-nya dari yang lain. Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme.  

Ada kritikan lain tentang sistem Khilafah ini, yaitu kekhawatiran bahwa Khilafah hanya memberikan kebaikan untuk kaum Muslim. Bagaimana menurut pendapat Ustadz.
Oh, tidak. Justru dengan Khilafah, Islam sebagai rahmatan li al-'âlamîn yang notabene berlaku untuk Muslim dan non-Muslim secara nyata bisa diwujudkan. Orang non-Muslim bisa hidup di dalam negara Khilafah, tetap sebagai orang non-Muslim; sementara mereka bebas menjalankan agamanya, tradisi pernikahan, termasuk makan dan minum mereka. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama dengan orang Muslim, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.

Terakhir, Ustadz. Dalam konteks Indonesia, bisa Ustadz memberikan gambaran harapan dan tantangan untuk tegaknya Khilafah?
Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam; meski itu bukan berarti tanpa hambatan. Hambatannya, saya kira, justru terletak pada sejumlah penyesatan intelektual dan politik yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat di negeri ini menjadi 'tak sadarkan diri'. [Hafidz Abdurrahman]

Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islamiyah di era modern ini adalah gagasan yang tidak rasional dan utopis, di samping tidak relevan di tengah kondisi banyaknya negara yang sudah memiliki sekat-sekat ideologis dan geografis masing-masing, termasuk di Dunia Islam. Wajar  jika ungkapan 'tidak rasional', 'utopis', atau 'tidak relevan' sering juga ditujukan ke tubuh Hizbut Tahrir (HT), yang memang merupakan salah satu partai dakwah yang konsisten memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah.
Untuk mengetahui alasan, mengapa HT dari sejak kemunculannya sampai sekarang tetap konsisten memperjuangkan Khilafah, berikut ini kami mewancarai Ustadz Hafidz Abdurrahman, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).


HT termasuk di Indonesia selama ini dikenal konsisten memperjuangkan tegaknya Khilafah. Mengapa harus Khilafah?
Setidak-tidaknya ada beberapa alasan: Pertama, karena menegakkan Khilafah hukumnya wajib, bahkan bisa disebut sebagai kewajiban paling agung (a‘zham wâjibâti ad-dîn). Kewajiban ini telah dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma Sahabat. Nash al-Quran, misalnya, memerintahkan agar kita menaati ûlî al-amri (pemimpin) dari kalangan kita, yang dalam bahasa al-Quran, ûlî al-amri minkum. Konteks ûlî al-amri minkum adalah pemimpin yang wajib ditaati karena ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatannya itu kemudian diwujudkan dalam kebijakannya, yaitu ketika dia mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek pemerintahannya. Jika pemimpin seperti itu tidak ada maka harus diadakan agar ketaatan tersebut bisa diwujudkan. Sebab, tidak mungkin ada perintah untuk menaati ûlî al-amri minkum, sementara ûlî al-amri minkum tidak ada.
Di samping itu, Nabi saw. dengan tegas juga menyatakan: Man Mâta walaysa fî unuqihi bay'ah mâta mîtatan jâhiliyah (Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah). Agar baiat itu ada di atas pundak setiap kaum Muslim, maka harus ada khalifah, karena memang baiat itu hanya untuk khalifah, bukan yang lain. Sekalipun hadis ini isinya berita, ia berkonotasi perintah, yang intinya agar Khalifah (Khilafah) itu diadakan sehingga kita tidak dinyatakan mati jahiliah.
Selain itu, Ijma Sahabat juga telah menyatakan kewajiban mengangkat pemimpin yang menggantikan Nabi saw. dalam ihwal pemerintahan. Semuanya ini menjadi landasan syar‘i, mengapa kaum Muslim harus menegakkan Khilafah.
Kedua, karena Khilafah adalah penjaga (hâris) Islam dan umatnya. Tanpanya, kata Imam al-Ghazali, Islam dan umatnya akan lenyap. Inilah yang dilukiskan Nabi saw., bahwa  imam/khalifah itu sebagaijunnah (perisai). Karenanya, para ulama kaum Muslim, baik Syiah, Sunni, Muktazilah maupun Khawarij, telah sepakat atas kewajiban tersebut. Jadi, sangat logis jika persoalan ini dinyatakan sebagai perkarama‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah.
Ketiga, selain fakta sejarah, kenyataan empirik saat ini juga membuktikan urgensi Khilafah dalam membela kepentingan Islam dan kaum Muslim. Saat Islam dicap terorisme, siapa yang membela? Nggakada. Saat kaum Muslim dinodai kehormatannya, negeri mereka dijajah, kekayaan mereka dijarah, siapa yang membela dan mempertahankannya? Nggak ada. Bandingkan keadaannya dengan saat Khilafah masih ada.
Sekalipun demikian, tetap harus dicatat, bahwa Khilafah bukan tujuan perjuangan HT, tetapi metode untuk merealisasikan tujuan untuk memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah).

Bisa diperjelas, Ustadz, apa yang dimaksud dengan memulai kembali kehidupan Islam(Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah)?
Memulai kembali kehidupan Islam (Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah) artinya kita mengembalikan kehidupan yang pernah dibangun oleh Rasulullah saw. setelah berhasil diwujudkan seiring dengan berdirinya negara di Madinah, yang kemudian setelah beliau wafat, dipertahankan oleh Khulafaur Rasyidin hingga terjadinya revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk pada tanggal 3 Maret 1924 M. Revolusi itu telah berhasil menghancurleburkan kehidupan Islam, bersamaan dengan keberhasilannya menghancurkan Khilafah.
Karena itu, perjuangan untuk mewujudkan kehidupan Islam saat ini tidak harus dimulai dari nol, sebab pondasinya masih ada. Ketika Nabi saw. di utus, umat Islam ketika itu memang belum ada, kemudian beliaulah yang membidani kelahirannya. Sejak saat itu hingga sekarang umat Islam tetap eksis dengan Islam yang diajarkan oleh Nabi. Akidah Islam yang menjadi pondasinya pun masih berdiri kokoh di dalam diri mereka; meskipun ada sejumlah perkara yang harus dibersihkan sehingga keyakinan mereka bisa connect dengan hukum-hukum yang dihasilkannya.
Demikian halnya kehidupan yang hendak diwujudkan HT di tengah-tengah masyarakat juga sama sekali bukan hal yang baru, karena sebelumnya sudah dicontohkan pada zaman Nabi saw. dan para khalifah setelahnya. Inilah yang disebut Isti'nâf al-hayâh al-Islâmiyah. Tentu, ini lebih mudah diwujudkan oleh umat Islam ketimbang membangun kehidupan yang sama sekali baru, dan tidak pernah mereka kenal sebelumnya, baik kehidupan yang bercorak kapitalis maupun sosialis.

Artinya, dulu Khilafah pernah tegak?  
Ya, bahkan lebih lama daripada usia sistem pemerintahan kapitalis maupun sosialis. 

Bisa ustadz memberikan bukti-bukti historis tentang ini. 
Bukti-bukti historis adanya Khilafah telah banyak diabadikan oleh ulama kaum Muslim dalam buku-buku sejarah, seperti Târîkh al-Khulafâ' karya as-Suyuthi. Fakta tersebut juga telah dituturkan oleh para sejarahwan Muslim secara mutawâtir sehingga fakta keberadaannya tak terbantahkan oleh siapapun. Akan tetapi, bukti yang paling otentik adalah apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih dan ushuluddin. Kitab-kitab fikih dan usuluddin dipenuhi pembahasan tentang imâm (khalifah) dan imâmah (khilafah). Kitab-kitab tersebut tidak saja menjelaskan tentang kedudukan imam dan imamah, tetapi juga tentang struktur di bawahnya; seperti wazîr tafwîdh dan tanfîdz, wâlî, qâdhi, dan sebagainya. Mengapa pembahasan tersebut dianggap sebagai bukti otentik? Karena apa yang dibahas di dalamnya adalah fakta yang memang secara real terjadi pada saat itu; fakta itu kemudian dijelaskan hukumnya. Artinya, semua yang dibahas di dalamnya merupakan fakta yang memang ada pada saat itu; bukan hipotesis, yang faktanya tidak ada, selain asumsi yang diada-adakan.   

Tapi, ustadz, banyak yang tidak mengerti, bagaimana langkah-langkah HT sehingga kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah bisa kembali tegak?
Memang, karena perjuangan HT itu merupakan perjuangan ideologis, bukan pragmatis. Perjuangan ideologis itu kan sama artinya dengan mengubah kehidupan saat ini, yang notabene bukan kehidupan Islam, hingga menjadi kehidupan Islam. Artinya, realitas kehidupan saat inilah yang harus disesuaikan dengan Islam, dan bukan sebaliknya. Itulah esensi perjuangan ideologis.
Karena itu, ibarat orang yang hendak membangun rumah, harus ada arsitek yang menggambar maket rumah yang hendak dibangun hingga tergambar dengan jelas bentuk, ukuran, bahan, jumlah SDM yang dibutuhkan dan biayanya; termasuk saluran air, listrik, telpon, dan lingkungan di sekitarnya. Maket kehidupan Islam yang hendak diwujudkan oleh HT itu jelas sudah tergambar dengan sangat deskriptif, yang semuanya itu telah dituangkan dalam buku-bukunya; baik berkaitan dengan sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, peradilan, maupun politik luar negeri dan hubungan internasionalnya. Semuanya itu bisa terwujud kalau ada SDM yang qualifide.
Karena itu, HT juga menyiapkan buku-buku untuk mencetak SDM yang dibutuhkan, baik dengan buku-buku yang menjelaskan maket di atas maupun buku-buku yang berkaitan dengan pembentukan SDM, seperti as-Syakhsiyyah al-Islamiyyah. Setelah SDM-nya tersedia, SDM tersebut tinggal di-drive agar bisa mewujudkan apa yang tertuang di dalam maket tadi supaya sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah digariskan; dimulai dengan pembangunan pondasi (marhalah ta'sis), yang dilakukan pada fase tatsqif (pembinaan); dilanjutkan dengan pembudayaan ide dan gagasan yang ingin diwujudkan, dengan cara membangun interaksi ideologis dengan umat, yang dilakukan pada fase tafâ‘ul ma‘a al-ummah. Setelah itu berhasil, yang ditandai, misalnya, dengan perubahan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan umat maka umatlah yang akan memberikan mandat kepada siapa saja yang mereka kehendaki untuk mengimplementasikan pemahaman, standarisasi, dan keyakinan mereka. Inilah yang disebut fase istilâm al-hukm. Ini bisa terjadi jika ada nushrah (pertolongan) yang diberikan oleh mereka yang memiliki (ahl an-nushrah)-nya.
Uniknya, semuanya tadi berlangsung secara alamiah. Itulah yang dicontohkan oleh Nabi saw.; sebuah perubahan fundamental, tetapi smart, dan tanpa pertumpahan darah. Subhânallâh!

Dari penjelesan ustadz, aspek fikriyyah (pemikiran) demikian menonjol dalam perjuangan HT. Mengapa ini penting?
Oh, iya. Karena pemikiran itulah yang menjadi ruh, yang menentukan hidup dan matinya perjuangan. Inilah yang sekaligus membedakan HT dengan kelompok lain.

Tadi Ustadz menyinggung thalab an-nusrah. Bisa Ustadz perjelas maksudnya?
Thalab an-nushrah itu secara harfiah berarti mencari pertolongan (memobilisasi dukungan). Untuk apa? Tentu untuk dakwah; supaya dakwah yang diemban tetap eksis, sekaligus memberikan ruang kepada para pengembannya agar bisa mengemban dakwah.
Nushrah (dukungan/pertolongan) itu bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, dalam konteks himâyah(perlindungan), seperti himâyah Abu Thalib kepada Nabi saw., Abu Daghanah kepada Abu Bakar, Wail as-Sahami kepada Umar, dan sebagainya. Tuntunan Nabi saw. menyatakan, bahwa himâyah ini bisa diberikan oleh orang non-Muslim. Kedua, dalam konteks istilâm al-hukm (penyerahan mandat), seperti penolakan Nabi saw. atas mandat kekuasaan yang diberikan oleh kaum Kafir Quraisy, sebaliknya beliau menerima mandat dari kaum Muslim Anshar. Tuntunan ini menegaskan, bahwa nushrah dalam konteksistilâm al-hukm itu hanya bisa diterima jika yang memberikan adalah kaum Muslim.

Metode HT seperti itu sering disebut utopis. Bagaimana komentar Ustadz?
            Mengapa dianggap utopis? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, karena dianggap sulit. Kedua, karena tidak tahu. Padahal yang sulit bukan berarti tidak mungki, buktinya perjuangan Rasulullah saw sulit, tapi berhasil.
            Demikian juga tidak tahu, bukan berarti tidak ada. Ada yang tidak tahu jalan ke Jakarta, kan bukan berarti Jakarta itu tidak ada. Kalau Anda tidak, atau belum tahu cara menegakkan Khilafah, jangan sebut hal itu tidak ada sehingga dianggap mustahil.  
Semuanya tadi kan proses politik. Ingat, dalam proses politik tidak ada yang utopis. Sebab, tidak ada yang tetap dalam kamus politik. Mengapa? Karena politik itu kan seni kemungkinan. Jadi, semuanya serba mungkin. Apa yang tidak mungkin saat ini, dengan izin Allah, bisa menjadi kemungkinan pada waktu yang akan datang.
Tidak perlu dikhawatirkan, karena proses tadi tidak mengubah apapun kecuali pemikiran. So, yang berubah itu kan hanya pemikirannya, bukan fisiknya. Itu artinya, siapa saja yang menjadi tokoh atau pemimpin pada zaman Jahiliah toh tetap bisa menjadi tokoh dan pemimpin setelah zaman Islam, setelah pemikiran mereka berubah menjadi pemikiran Islam. Ya, kan? Coba, siapa yang menafikan ketokohan Umar, Abu Bakar, dan Hamzah sebelum dan setelah masuk Islam. Nah, jadi semuanya tadi membuktikan, bahwa perubahan seperti ini justru alami, dan smart.

Bisa Ustadz berikan bukti-bukti historis 'keberhasilan' metode seperti itu?
Ya, perjuangan Rasulullah itu. 

Kembali ke Khilafah, Ustadz. Apa mungkin Khilafah merupakan solusi terhadap seluruh persoalan umat manusia sekarang?
Ya, Khilafahlah solusinya, meski persoalannya tidak sesederhana yang kita bayangkan. Artinya, Khilafah sebagai solusi memang iya. Tetapi, bagaimana Khilafah menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia saat ini, itu kan masih harus dirinci lagi.

Bisa Ustadz memberikan contoh sederhana, bahwa Khilafah adalah solusi?
Sebagai negara kesatuan, Khilafah bisa mengerahkan potensi dana, logistik, SDM dari seluruh negeri untuk membantu daerah bencana di salah satu negerinya. Bencana di Indonesia, misalnya, tidak seharusnya diselesaikan oleh penduduk Indonesia sendiri, karena mereka merupakan satu-kesatuan. Bisa saja logistiknya dari Malaysia, dananya dari Saudi, SDM-nya dari yang lain. Seperti sekarang, untuk membangun kembali Aceh, misalnya, Indonesia tidak perlu ngutang ke negara-negara imperialis, karena seluruh kekayaan negeri kaum Muslim adalah satu. Mereka diikat oleh satu akidah, bukan nasionalisme.  

Ada kritikan lain tentang sistem Khilafah ini, yaitu kekhawatiran bahwa Khilafah hanya memberikan kebaikan untuk kaum Muslim. Bagaimana menurut pendapat Ustadz.
Oh, tidak. Justru dengan Khilafah, Islam sebagai rahmatan li al-'âlamîn yang notabene berlaku untuk Muslim dan non-Muslim secara nyata bisa diwujudkan. Orang non-Muslim bisa hidup di dalam negara Khilafah, tetap sebagai orang non-Muslim; sementara mereka bebas menjalankan agamanya, tradisi pernikahan, termasuk makan dan minum mereka. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama dengan orang Muslim, baik dalam bidang ekonomi maupun pendidikan.

Terakhir, Ustadz. Dalam konteks Indonesia, bisa Ustadz memberikan gambaran harapan dan tantangan untuk tegaknya Khilafah?
Sebagai negeri kaum Muslim yang terbesar, Indonesia tentu mempunyai potensi yang sangat besar sebagai bagian dalam perjuangan penegakan Khilafah. Apalagi dalam sejarahnya, Islam masuk ke Indonesia kan berjalan dengan smart, bukan melalui peperangan. Ini jelas merupakan potensi yang luar biasa dari masyarakat Indonesia dalam menerima Islam; meski itu bukan berarti tanpa hambatan. Hambatannya, saya kira, justru terletak pada sejumlah penyesatan intelektual dan politik yang didesain sedemikian rupa sehingga masyarakat di negeri ini menjadi 'tak sadarkan diri'. [Hafidz Abdurrahman]

Kewajiban Khilafah dan Pandangan 'Ulama Empat Madzhab Terhadap Khilafah


Imam al-Lughah al-Fairus Abadi dalam Qamus al-Muhiith:

الإمامة في اللغة مصدر من الفعل ( أمَّ ) تقول : ( أمَّهم وأمَّ بهم : تقدّمَهم ، وهي الإمامة ، والإمام : كل ما ائتم به من رئيس أو غيره ) …. 
“Secara bahasa imamah merupakan masdar dari kata kerja “amma”, (maka) anda menyatakan: ammahum dan amma bihim artinya adalah taqaddamahum (yang mendahului (memimpin) mereka; yakni, imamah (kepemimpinan). Sedangkan imam adalah setiap orang yang harus diikuti baik pemimpin maupun yang lain”.[al-Fairuz Abadi, al-Qaamus al-Muhith, juz IV hal 78]

Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan;
الإمام كل من ائتم به قوم كانوا على الصراط المستقيم أو كانوا ضالين .. والجمع : أئمة ، وإمام كل شيء قيَّمه والمصلح له ، والقرآن إمام المسلمين ، وسيدنا محمد رسول الله r إمام الأئمة ، والخليفة إمام الرعية ، وأممت القوم في الصلاة إمامة ، وائتم به : اقتدي به .
“Imam adalah setiap orang yang diikuti oleh suatu kaum baik mereka berada di atas jalan yang lurus maupun sesat… Bentuk jama’nya adalah “a’immah”. Dan imam itu adalah setiap hal yang meluruskan dan yang memperbaiki dirinya, (maka) al-Qur’an adalah imam bagi kaum Muslim; Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW adalah imamnya para imam. Khalifah adalah imamnya rakyat. Anda mengimami suatu kaum dalam shalat sebagai imam; maknanya adalah i’tamma bihi: memberi contoh di dalamnya”. [Imam Ibn Mandzur, Jamaluddin Muhammad bin Makram, Lisan al-Arab, juz XII hal 24]


Pengarang kitab Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, Al-’Allamah Muhammad Murtadlo Az-Zabidiy menyatakan:
( والإمام : الطريق الواسع ، وبه فُسِّر قوله تعالى : وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجر آية 79( أي : بطريق يُؤم ، أي : يقصد فيتميز قال : ( والخليفة إمام الرعية ، قال أبو بكر : يقال فلان إمام القوم معناه : هو المتقدم عليهم ، ويكون الإمام رئيسًا كقولك : إمام المسلمين ) ، قال : ( والدليل : إمام السفر ، والحادي : إمام الإبل ، وإن كان وراءها لأنه الهادي لها .. ) أ . هـ .
“Imamah adalah jalan yang lapang. Pengertian tersebut ditafsirkan dari firman-Nya Ta’ala:

وَإِنَّهُمَا لَبِإِمَامٍ مُّبِينٍ) سورة الحجرآية 79
(Maksudnya pada jalan yang dituju (“yu’ammu”), sehingga menjadi lebih jelas (spesifik). (Orang) berkata: Khalifah adalah imamnya rakyat. Abu Bakar berkata: (kalau) fulan dikatakan sebagai imam suatu kaum artinya ia adalah orang yang terkemuka dari kaum tersebut. Imam itu adalah raais (kepala), sebagaimana pernyataan anda: imamnya kaum Muslim. Selanjutnya (dia) berkata: buktinya adalah: imam safar; dan al-haadiy : imamnya unta meski dia di belakang unta, karena dialah yang mengarahkan unta…” [Muhammad Murtadlo Az-zubaidi, Tajul Arus min Jawahir Al-qamus, Juz VIII hal 193]

Dalam al-Shihah al-Jauhari berkata:
( الأمُّ بالفتح القصد،يقال : أَمّهُ وأمّمَه وتأمّمَه إذا قصده )
“Al-‘ammu, dengan fathah (maksudnya) adalah tujuan. Maka dikatakan ammahu, wa ammamahu, wa ta’ammamahu apabila ia menujunya.” [Imam Isma’il bin Hamad al-Jauhari, Taaj al-Lughah wa Shihah al-’Arabiyyah, Juz 5 hal 1865]

Pengenalan secara syar’i / istilah :
Tentang Imamah Imam Al Mawardi Asy-Syafi’i menyatakan:
( الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به ) أ . هـ ….
“Imamah itu menduduki posisi untuk khilafah nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya duniawi”.[Imam Al Mawardi, Ali bin Muhammad, Al-Ahkaam Al Sulthaniyyah, hal 5]

Imam Al-Haramain berkata:
( الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ) أ . هـ .“
Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia”. [Imam Al Haramain, Abu Al Ma’ali Al Juwaini, Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-dzulam hal 15]

Shahib Al Mawaqif menyatakan:
( هي خلافة الرسول r في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة ) .
“Imamah adalah merupakan khilafah Rasul SAW dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya. Itulah sebagian penjelasan para Ulama’ tentang imamah”. [‘Idhuddin Abdurrahman bin Ahmad Al Aiji, Al-Mawaaqif, juz III, hal 574]

Pada bagian yang lain Imam Al Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:
قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Sebagaian kelompok dari shahabat kami menyatakan bahwa imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”.[Idem, Juz III hal 578]

Imam Al Ramli menyatakan:
الخليفة هو الإمام الأعظم, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]

Syeikh Musthafa Shabari, Syeikhul Islam Khilafah Ustmaniyyah, menyatakan:
الخلافة عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم فى تنفيذ ما أتى به من شريعة الاسلام
“Khilafah itu adalah penganti dari Rasulullah SAW dalam melaksanakan syariat Islam yang datang melalui beliau saw”.

Shahibu Ma’atsiril Inafah fii Ma’alimil Khilafah menyatakan:
هى الولاية العامة على كافة الامة
“Khilafah adalah kepemimpinan umum untuk umat secara keseluruhan”.[Asy Syeikh Musthafa Shabari, Mauqiful Aqli, wal Ilmi wal ‘Alam, juz IV, hal 262]


Kata Imam, khaliifah atau amiril mu’minin adalah sinonim :
Para Ulama’ mengklasifikasikan kata imam, khalifah, sebagai bentuk sinonim (taraaduf).

Imam Al Hafidz Al Nawawi. Beliau menyatakan:
( يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين )…
“Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul Mukminin”. [Syeikhul Islam Imam Al Hafidz Yahya bin Syaraf An Nawawi, Raudhah Ath Thalibin wa Umdah Al Muftiin, juz X hal 49; Syeikh Khatib Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz IV, hal 132]

Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun berkata:
وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام أ . هـ
“Dan ketika telah menjadi jelas bagi kita penjelasan ini, bahwa imam itu adalah wakil pemilik syariah dalam menjaga agama serta politik duniawi di dalamnya disebut khilafah dan imamah. Sedangkan yang menempatinya adalah khalifah atau imam”. [ Abdurrahman Ibn Khaldun, Al Muqaddimah, hal 190]

Syeikh Muhammad Najib Al Muthi’iy dalam takmilahnya atas Kitab Al Majmuu’ karya Imam An Nawawi. Beliau menegaskan:
( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
“Imamah, khilafah dan imaratul mukminin itu sinonim”

Syeikh Muhammad Abu Zahrah menegaskan:
( المذاهب السياسية كلها تدور حول الخلافة وهي الإمامة الكبرى ، وسميت خلافة لأن الذي يتولاها ويكون الحاكم الأعظم للمسلمين يخلف النبي في إدارة شؤونهم ، وتسمى إمامة : لأن الخليفة كان يسمى إمامًا ، ولأن طاعته واجبة ، ولأن الناس كانوا يسيرون وراءه كما يصلون وراء من يؤمهم الصلاة )
“Madzhab-madzahab politik secara keseluruhan selalu beredar di sekitar pembahasan khilafah. Khilafah adalah imamah al-kubra (imamah agung). Disebut khilafah karena pihak yang memegang jabatan khilafah dan yang menjadi penguasa agung atas kaum Muslim menggantikan Nabi SAW dalam mengatur urusan mereka. Disebut imamah karena, khalifah disebut Imam, dan karena taat kepadanya adalah wajib, dan karena manusia berjalan di belakang imam tersebut layaknya mereka shalat di belakang orang yang mengimami mereka dalam shalat”.[ Syeikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-madzahib Al-islamiyyah, juz I hal 21]


Kewajiban mengangkat seorang Khalifah menurut para ‘Ulama :
Syeikh Al-Islam Al Imam Al Hafidz Abu Zakaria An Nawawi berkata:
الفصل الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية ……
“…Pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan mengenai metode (jalan untuk mewujudkannya). Adalah suatu keharusan bagi umat adanya seorang imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang didzalimi, menunaikan hak, dan menempatkan hak pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurusi urusan imamah itu adalah fardhu kifayah”.[Imam Al Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An Nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433].

Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ . هِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَأْتِي فِيهَا أَقْسَامُهُ الْآتِيَةُ مِنْ الطَّلَبِ وَالْقَبُولِ وَعَقَّبَ الْبُغَاةِ لِكَوْنِ الْكِتَابِ عُقِدَ لَهُمْ وَالْإِمَامَةُ لَمْ تُذْكَرْ إلَّا تَبَعًا بِهَذَا ؛ لِأَنَّ الْبَغْيَ خُرُوجٌ عَلَى الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ الْقَائِمِ بِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا …
“…(Pasal ) tentang syarat-syarat imam agung (khalifah) serta penjelasan metode-metode pengangkatan imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan”. [Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj, juz 34 hal 159]

Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata:
(فصل) في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جرهمي على ما في التتمة، ثم رجل من بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل في الشجاعة …[Syaikhul Islam Imam Al Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2, hal 268]
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad (pengangkatan) imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah ahli dalam peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, bisa mendengar, melihat dan bisa bicara; semua ini berdasarkan syarat-syarat pada bab peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …” [Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268]


Imam Fakhruddin Al Razi, penulis kitab Manaqib Asy Syafi’i, tatkala menjelaskan surat Al Maidah :38, beliau menegaskan:
“..احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكنالخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتىالواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ“
“… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam tertentu untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka, adalah keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas pelaku kriminal yang merdeka kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan ketika tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali ketika adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu masih dalam batas kemampuan mukallaf, maka (adanya) imam adalah wajib. Oleh karena itu, seketika itu juga, kewajiban mengangkat seorang Imam adalah sesuatu yang bersifat qath’i…” [ Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233]

Imam Abul Qasim An Naisaburi Asy Syafi’i berkata:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab pada firmanNya: (“maka jilidlah”) adalah imam; sehingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas wajibnya mengangkat seorang imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula”. [Imam Abul Qasim Al Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy Syafi‘iy An Naisaburi, Tafsir An Naisaburi, juz 5 hal 465 ]

Al-’Allamah Asy Syeikh Abdul Hamid Asy Syarwani menyatakan:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
“ …perkataannya: (mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan keharusan bagi umat adanya imam yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…” [Asy Syeikh Abdul Hamid Asy Syarwani, Hawasyi Asy Syarwani, juz 9, hal 74]

Al ‘Allamah Asy Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al Bajairami berkata:
…فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
“…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah. Mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Disyaratkan untuk seorang imam, hendaknya ia memiliki keahlian dalam peradilan; dan dari suku Quraisy, berdasarkan hadits,“Para imam itu dari Quraisy“; berani, agar berani berperang secara langsung; tidak memiliki cacat kekurangan yang menghalangi kesempurnaan dan kegesitan gerakan nya sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah satu syarat imamah…” [ Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad
Al Bajairami, Hasyiyah Al Bajairami ‘ala Al Khathib, juz 12 hal 393]

Dalam kitab Hasyiyyah Al-bajairimi alal Minhaj dinyatakan:
( فَصْلٌ ) فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ...
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam agung dan penjelasan metode-metode in'iqad imamah. Dan (adanya) imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan…” [Hasyiyyah Al Bajayrimi ala Al Minhaj, juz 15 hal 66

Imam Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri mendokumentasikan ijma' ulama' mengenai kefardluan menegakkan imamah:
... واتفقوا أن الإمامة فرض وإنه لا بد من إمام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا الإجماع وقد تقدمهم واتفقوا أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان واحد ...
“…Meraka (para ulama') sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An Najdat. Pendapat mereka sungguh telah menyalahi ijma' dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka. Mereka (para ulama') sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…” [Imam Al Hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al Andalusi Adz Dzahiri, Maratibul Ijma' , juz 1 hal 124]

Imam ‘Alauddin Al Kasani Al Hanafi berkata:
“.. وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ – بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ – ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …
“ …dan karena sesungguhnya mengangkat imam agung itu adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq mengenai masalah ini. Khilafah sebagian kelompok Qadariyyah sama sekali tidak perlu diperhatikan, berdasarkan ijma’ shahabat ra atas perkara itu, serta kebutuhan terhadap imam yang agung tersebut; serta demi keterikatan dengan hukum; dan untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya imam…” [Imam 'Alauddin Al-Kassani Al Hanafi, Bada'iush Shanai' fii Tartibis Syarai', juz 14 hal. 406

Imam Al Hafidz Abul Fida' Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata:
...وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
“…dan sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong pihak yang didzalimi dari yang mendzalimi, menegakkan had-had, dan mengenyahkan kerusakan, serta urusan-urusan penting lain yang tidak mungkin ditegakkan tersebut kecuali dengan adanya seorang imam, dan ما لايتم الواجب الا به فهو واجب ( apabila suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengan suatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula)”. [ Imam al-Hafidz Abu Al-fida' Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur'anil Adzim, juz 1 hal 221)]

Imam Al Qurthubi ketika menafsirkan Surah Al Baqarah : 30 berkata
… هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الاصم … ثم قال القرطبي: فلو كان فرض الإمامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
“…ayat ini dalil paling asal dalam persoalan pengangkatan imam dan khalifah yang wajib didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbadaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham …Selanjutnya beliau berkata: “…Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib”. Kemudian beliau menegaskan: “…Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan masalah ini jelas sekali”. [Al Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al Qurthubi, Al Jaami' li Ahkamil Qur'an, juz 1 hal 264-265]

Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali Ad Dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al Baqarah ayat 30 berkata:
…وقال « ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
“… dan Ibn Al Khatib berkata, “Khalifah itu isim yang cocok baik untuk tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita. Kemudian beliau berkata, “ ….Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah yang didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikuti dia…” [Imam Umar bin Ali bin Adil Al Hanbali Ad Dimasyqi, Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, juz 1 hal 204]

Berkata Imam Abu al Hasan Al Mardawiy Al Hanbali dalam kitab Al Inshaaf:
…بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ، أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
“…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Berkata di dalam Al Furuu’, “..Fardhu kifayahlah yang paling tepat….”[Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al Mardawi Al Hanbali, Al-inshaaf fii Ma'rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hanbal, juz 16 hal. 60 dan 459]

Imam Al Bahuti Al Hanafi berkata:
…( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ ) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
“…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar ma’ruf dan nahi munkar…”. [Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al Bahuti Al Hanafi, Kasyful Qanaa' ‘an Matnil Iqnaa', juz 21 hal. 61]

Sedangkan dalam kitab Mathaalib Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan:
…( وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا. الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
“…(dan mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar”. [Al ‘Allamah Asy Syeikh Musthafa bin Sa'ad bin Abduh As Suyuthi Ad Dimasyqi Al Hanbali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381 ]

Berkata Shahiibu Al Husuun Al-Hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Affandi:
اعلم أنه يجب على المسلمين شرعا نصب إمام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“Ketahuilah, sesungguhnya wajib atas kaum Muslim secara syar’iy, mengangkat seorang Imam yang menegakkan had, memelihara perbatasan (negara), menyiapkan pasukan..”.[Sayyid Husain Afandi, Al-Husun Al-Hamidiyyah li Al Muhafadzah ‘ala Al-Aqaa'id Al-Islamiyyah, hal 189].


Nash Syara’ Tentang Kewajiban Khilafah
Dalil dari al-kitab, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).

Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib.
Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.
Adapun dalil dari as-Sunah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku : “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ وَ مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat kelak tanpa memiliki hujah, dan siapa saja yang mati sedang di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyah (HR. Muslim)

Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Imam muslim meriwayatkan dari al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
Seorang imam tidak lain laksana perisai, dimana orang-orang akan berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung (HR. Muslim)

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ” aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak, para sahabat bertanya : “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya (HR. Muslim)

Di dalam hadits-hadits ini terdapat sifat bagi Khalifah sebagai junnah yakni perisai. Sifat yang diberikan Rasul saw bahwa imam adalah perisai merupakan ikhbar (pemberitahuan) yang di dalamnya terdapat pujian atas eksistensi seorang imam.
Ini merupakan tuntutan. Karena pemberitahuan dari Allah dan Rasul saw, jika mengandung celaan merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan. Dan jika mengandung pujian maka merupakan tuntutan untuk melakukan. Dan jika aktivitas yang dituntut pelaksanaannya memiliki konsekuensi tegaknya hukum syara’, atau pengabaiannya memiliki konsekuensi terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan itu bersifat tegas.

Dalam hadits ini juga terdapat pemberitahuan bahwa orang yang mengurus kaum muslim adalah para Khalifah. Maka hadits ini merupakan tuntutan mengangkat Khalifah. Terlebih lagi, Rasul saw memerintahkan untuk mentaati para Khalifah dan memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya dalam jabatan khilafahnya. Ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah dan menjaga keberlangsungan khilafahnya dengan cara memerangi semua orang yang hendak merebutnya. Imam Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasul saw pernah bersabda :
وَ مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggallah orang lain itu (HR. Muslim)

Perintah mentaati imam merupakan perintah untuk mengangkatnya. Dan perintah memerangi orang yang hendak merebut kekuasaannya merupakan qarinah (indikasi) yang tegas atas wajibnya kelangsungan eksistensi Khalifah yang satu.

Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib.

Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat.

Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah.

Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah. Wallahu’alam