Sabtu, 24 September 2011

Siapakah Ulil Amri?

soal:
Siapa sebenarnya ulil amri yang keputusannya layak ditaati? Dalam hal apa ulil amri wajib ditaati? Dalam hal apa pula ulil amri tidak boleh ditaati?
Jawab:
Secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uliadalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan.[1]
Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim (penguasa).[2] Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut  musytarak (mempunyai banyak konotasi). Imam al-Bukhari memaknai frasa tersebut dengan dzawi al-amr (orang-orang yang mempunyai dan memegang urusan). Ini juga merupakan pendapat Abu Ubaidah. Adapun Abu Hurairah ra. memaknai frasa tersebut dengan al-umara’ (para penguasa); Maimun bin Mahran dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahl al-’ilm wa al-khayr (ahli ilmu dan orang baik); Mujahid, ‘Atha’, Abi al-Hasan dan Abi al-’Aliyah memaknainya dengan al-’ulama’ (ulama’). Dalam riwayat lain, Mujahid menyatakan bahwa mereka adalah Sahabat. Bahkan Ikrimah menyebutkan lebih spesifik, mereka adalah Abu Bakar dan Umar.[3]
Imam ar-Razi telah mengumpulkan pendapat para mufassir dalam kitabnya tentang makna frasa ini. Beliau menyatakan, bahwa ulil amri mempunyai banyak konotasi.Pertama: Khulafaur Rasyidin. Kedua: Komandan detasemen. Ketiga: para ulama’ yang mengeluarkan fatwa hukum syariah serta mengajarkan agama kepada masyarakat.Keempat: pendapat Syiah Rawafidh, bahwa mereka adalah imam yang maksum.[4]
Terkait ulil amri, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian memang mengimani Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan merupakan sebaik-baik penjelasan (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Konotasi kata ulil amri di sini, menurut Ibn Abbas, adalah al-umara’ wa al-wullat (para penguasa). Konteks ayat ini juga turun berkaitan dengan kewajiban untuk menaati penguasa.[5] Karena itu, ulil amri dengan konotasi penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang konotasi ulama atau yang lain. Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar menaati penguasa. Namun, penguasa seperti apa?
Sayyidina Ali bin Abi Thalib-karrama-Llahu wajhah-menjelaskan, bahwa seorang imam/kepala negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang diturunkan oleh Allah, serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu maka rakyat wajib untuk mendengarkan dan menaatinya.[6] Karena itu, konteks menaati ulil amri dalam surat an-Nisa’ [4]: 59 di atas tidak berlaku mutlak, sebagaimana menaati Allah dan Rasul-Nya yang maksum; tetapi terikat dengan ketaatan ulil amri tersebut kepada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya. Sebab, dengan tegas Nabi saw. bersabda:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Tidak boleh ada sedikit pun ketaatan kepada makhluk dalam melakukan maksiat kepada Khaliq (Allah SWT) (HR Ahmad).
Hukum dan perundang-undangan yang diterapkan penguasa bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama: hukum dan perundang-undangan yang bersifat syar’i (al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). Kedua: hukum dan perundang-undangan yang bersifat administratif (al-ahkam wa al-qawanin al-ijra’iyyah). Hukum dan perundang-undangan yang pertama seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, atau hukum-hukum syariah yang lain, seperti penentuan awal/akhir Ramadhan. Dalam hal ini, tidak boleh seorang pun penguasa atau seorang Muslim mengkaji atau mengambil dari sumber lain, selain syariah Islam. Adapun hukum dan perundang-undangan kedua seperti peraturan lalu lintas, KTP, SIM, Paspor dan sejenisnya. Dalam hal ini, penguasa atau seorang Muslim bisa mempelajari atau mengambil dari sumber manapun, selama tidak bertentangan dengan syariah Islam.[7]
Karena itu, konteks perintah ketaatan di dalam surat an-Nisa’ [04]: 59 di atas berlaku untuk: Pertama, penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara kaffahKedua, penguasa Muslim yang menerapkan syariah Islam secara parsial; dia wajib ditaati dalam konteks syariah yang dia terapkan, seperti peradilan agama Islam (mahkamah syariah) yang  mengatur kawin, cerai dan sebagainya, termasuk ketika seorang penguasa menyerukan jihad untuk melawan pendudukan negara kafir penjajah. Ketiga, penguasa Muslim yang tidak menerapkan syariah Islam, baik secara kaffah maupun parsial. Dalam hal ini, dia hanya ditaati dalam konteks hukum dan perundang-undangan yang bersifatijra’i saja. Lebih dari itu, hukum menaati penguasa tersebut bukan saja tidak wajib, tetapi justru tidak dibolehkan.
Menarik untuk disebut di sini, bahwa keputusan pemerintah dalam menentukan awal/akhir Ramadhan adalah keputusan yang berkaitan dengan hukum syariah, bukan masalah yang terkait dengan ijra’i. Karena ini merupakan masalah hukum syariah, maka proseduristidlal dan istinbat yang benar harus ditempuh sehingga hukum yang dijadikan sebagai keputusan benar-benar merupakan hukum syariah. Dari aspek dalil, rukyat harus didahulukan ketimbang hisab. Sebab, hisab hanyalah saranan untuk melakukan rukyat. Bukan sebaliknya, jika rukyat bertentangan dengan hisab, maka rukyat harus ditolak, karena dianggap mustahil. Sikap yang terakhir ini jelas keliru, karena tidak dibangun berdasarkan satu dalil syariah pun.
Memang, ada dalil yang digunakan, seperti frasa faqduru lahu (perkirakanlah) yang terdapat dalam hadis Nabi saw.:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
Jika kalian terhalang mendung maka perkirakanlah (hitung) bulan itu.
Dalil sebenarnya sangat jauh dari konotasi hisab. Sebab, dalam hadis lain dinyatakan, fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (maka sempurnakanlah hitungan Sya’ban menjadi tiga puluh hari).
Dengan demikian, jika prosedur istidlal dan istinbat ini ditempuh dengan benar, maka perbedaan antara hisab dan rukyat tersebut bisa diselesaikan. Sebab, masing-masing bisa didudukkan secara proporsional tanpa menegasikan satu dengan yang lain. Ini jika perbedaan tersebut terjadi karena faktor fikih maupun astronomi. Namun, jika masalahnya adalah masalah politik, maka solusinya haruslah solusi politik. Di sinilah fungsi imam/kepala negara yang merupakan institusi dengan otoritas untuk menghilangkan perselisihan, sebagaimana dalam kaidah syariah:
أَمْرُ الإمَامِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Perintah imam/kepala negara bisa menghilangkan perselihan pendapat.
Namun, kaidah ini hanya berlaku efektif jika imam/kepala negara tersebut memang wajib ditaati. Sebaliknya, jika dia tidak wajib ditaati, maka perintahnya tidak akan pernah bisa menghilangkan perselisihan. Sebagai contoh, pemerintah memutuskan awal/akhir Ramadhan berdasarkan hisab, dengan menolak rukyat, padahal syariah menetapkan harus tunduk pada hasil rukyat, maka keputusan seperti ini tidak akan pernah bisa menghilanghkan perselisihan di tengah-tengah umat. Sebab, keputusan itu sendiri merupakan keputusan yang batil, dan tidak boleh ditaati. WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:

[1] Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri, Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi, Dar al-Fikr, Beirut, III/207.
[2] Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’ as-TsaniDar al-Ummah, Beirut, cet. Muktamadah.
[3] Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri, IbidIII/207.
[4] Al-Fakhr ar-Razi, Tafsir ar-RaziDar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Beirut, X/107.
[5] As-Syaukani, Naylu al-Awthar fi Syarh Muntaqa al-AkhbarDar al-Fikr, Beirut, 1994, VIII/46.
[6] Al-Baghawi, Tafsir al-Qur’anDar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t, surat an-Nisa’ [04]: 59.
[7] Dr. Muhammad Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih al-Wakil, Legislasi Hukum Islam vs Legislasi Hukum SekulerPustaka Thariqul Izzah, Bogor, cet. I, 2006, 32.

Aktivis ************* Tidak Faham Demokrasi

Saya sangat tertarik ketika membaca tulisan dari seorang ikhwah yang berjudul “Aktivis ***** ****** Tidak Faham Demokrasi”. Si penulis dengan panjang lebar menjelaskan (kekeliruan yang dia duga) demokrasi yang oleh para aktivis tersebut salah dalam memahami hakekat tentang demokrasi, ketika para aktivis tersebut mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur, dan menurut penulis tersebut bahwa mereka (para aktivis, red) salah dalam memahami hakekat demokrasi, sehingga terburu-buru ketika mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem kufur.

Salah satu argumentasi yang penulis tersebut jadikan dasar adalah bahwa dia katakan tidak tepat ketika mengatakan bahwa Demokrasi merupakan buah dari system sekulerisme, karena Demokrasi lahir 600 tahun sebelum kemunculan sekulerisme, jadi tidak masuk akal. Pendapat ini sebenarnya terlihat benar dan masuk akal, namun apakah benar demikian adanya?


 Sejarah Kemunculan Ide Demokrasi
Sewaktu duduk di bangku sekolah sejak tentu kita sudah mendapatkan penjelasan umum tentang demokrasi. Yakni sebuah ide yang muncul di Yunani kuno yakni sekitar abad ke 5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Secara kelahiran demokrasi, saya akui memang pada abad ke 5 SM, namun ini demokrasi yang memiliki pengertian bahwa sebuah system pemerintahan dimana yang dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

 Namun kemudian, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Atau ketika terjadi nya pertentangan antara para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Sehingga akhirnya munculah jalan tengah yang diambil oleh mereka yakni bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan pemeriantahan atau yang kemudian dikenal dengan sekulerisme.
 Nah, dalam ide sekulerisme itulah kemudian akhirnya memuat ide demokrasi dengan definisi yang berbeda, yakni system pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat, ini sebenarnya hampir sama dengan definisi sebelumnya yakni system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, namun definisi sebelumnya tidak setegas definisi yang sekarang, dimana definisi kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat adalah buah dari sekulerisme itu sendiri, ketika kedaulatan berada ditangan rakyat maka itu selaras dengan prinsip dari sekulerisme itu sendiri, itulah kenapa dikatakan bahwa aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

Jadi ketika saya katakan bahwa demokrasi berasal atau lahir dari rahim ide kufur sekulerisme maka ini adalah demokrasi yang berdefiniskan sebagai sebuah pemerintahan yang kedaulatan dan kekuasaanya berada di tangan rakyat, bukan definisi sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena sebagaimana yang saya kemukakan di atas bahwa  arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.

Artinya, system demokrasi yang dijadikan aturan oleh bebarapa Negara di dunia ini memang demokrasi yang telah mengalami perubahan istilah atau makna. Dan inilah yang dikritik oleh para pejuang Islam.
 Sebagaimana yang juga dikatakan oleh Utsman Khalil dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8, beliau berkata :

“Sesungguhnyan egara-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di egara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
Atau sebagai mana yang dikatakan olehMuhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
Itulah kenapa, ketika kami mengkritisi demokrasi, kami selalu juga mendefisikan demokrasi itu sendiri sebagai sebuah system yang kekuasan dan kedaulatan berada di tangan rakyat, yang jelas ini menyalahi akidah seorang yang beragama Islam, dimana kedaulatan itu bukan berada ditangan rakyat,melainkan sang pembuat hokum yakni Allah swt.

 Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

 Demokrasi Memiliki Makna Yang Khas
Sebagai sebuah ide asing yang datangnya bukan dari Islam, Demokrasi memiliki makna yang khas, yakni tentang pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri. Dewasa ini ketika kita berdiskusi tentang demokrasi maka bukan lagi membahas  system pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, namun lebih ke arah pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan itu sendiri.
 Nah, ketika demokrasi kita sepakati adalah sebuah ide yang memiliki makna yang khas,maka kita tidak boleh keluar dari makna itu.
 Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan. Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad),’Raa’ina’, tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS Al Baqarah : 104)
 “Raa’ina” artinya adalah “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Di kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut “Raa’ina”, padahal yang mereka katakan adalah “Ru’uunah” yang artinya “kebodohan yang sangat.” Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan “Raa’ina” dengan “Unzhurna” yang sama artinya dengan “Raa’ina”.

 Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan

(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)

 (2). Aqidah
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
 Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
 Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
 Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
 Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)

(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas). Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut :
(1) Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada Perjanjian Hudaibiyah.
(2) Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar merupakan dalil untuk ini.
(3) Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal (tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas. Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.

 (5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:
 a. Kebebasan beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
 Ini bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)
 Banyak para ‘ulama yang telah membuat buku untuk menunjukan kesalahan ide kufur demokrasi itu sendiri. Diantaranya :
 1. Al-Hamlah Al-Amirikiyyah Li Al-Qadha` ‘Ala Al-Islam, Bab Ad Dimuqrathiyyah (Serangan Amerika Untuk Menghancurkan Islam, bab Demokrasi), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1996;
2. Afkar Siyasiyah (Bab An-Niham ad-Dimuqrathiy Nizham Kufur min Wadh’i al-Basyar, h.135-140), dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1994;
3. Ad-Damghah Al-Qawiyyah li Nasfi Aqidah Ad-Dimuqrathiyyah (Menghancurkan Demokrasi), karya Syekh Ali Belhaj (tokoh FIS Aljazair);
4. Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah Juz I (Bab Asy-Syura h. 246-261) karya Syekh Taqiyyuddin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir);
5. Qawaid Nizham Al-Hukmi fi Al- Islam (Bab Naqdh Ad-Dimuqrathiyyah, h. 38-95) karya Mahmud Al-Khalidi (ulama Hizbut Tahrir);
6. Ad-Dimuqratiyyah fi Dhaw’i as-Syari’ah al-Islamiyyah (Demokrasi dalam Sorotan Syariah Islam), karya Mahmud Al- Khalidi;
7. Ad-Dimuqratiyyah wa Hukmul Islam fiiha, karya Hafizh Shalih (ulama Hizbut Tahrir);
8. Ad-Da’wah Ila Al-Islam (Bab Ad-Dimuqrathiyah Laisat Asy-Syura, h. 237-239) karya Ahmad Al-Mahmud (ulama Hizbut Tahrir);
9. Syura Bukan Demokrasi (Fiqh asy-Syura wa al-Istisyarat), karya Dr. Taufik Syawi, terbitan GIP Jakarta, tahun 1997;.
10. Naqdh al-Judzur Al-Fikriyah li Ad-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, karya Prof. Dr. Muhammad Ahmad Mufti (ulama Hizbut Tahrir) (2002);
11. Haqiqah Ad-Dimuqrathiyah, karya Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif (1411 H);
12. Ad-Dimuqrathiyah wa Akhowatuha, karya Abu Saif Al-Iraqi (1427 H);
13.Ad-Dimuqrathiyah Diin (Agama Demokrasi), karya Syekh Abu Muhammad Al-Maqdisi, terbitan Kafayeh Klaten, 2008 (cet II).
 Bahkan, para ‘ulama lain pun mengkritik konsep demokrasi itu sendiri :
 antara lain adalah Dr. Fathi Ad Darini, salah seorang ulama besar dalam fiqih siyasah. Dalam kitabnya Khasha`ish At Tasyri’ Al Islami fi As Siyasah wa Al Hukm halaman 370 Dr. Fathi Ad Darini berkata :
”Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi Barat, dalam substansinya hanyalah merupakan ungkapan dari politik tersebut (sekularisme—penerj.) dan sudah diketahui bahwa demokrasi –pada asalnya— bersifat individualistis dan etnosentris.Bahwa demokrasi bersifat individualistis, dikarenakan tujuan tertinggi demokrasi adalah individu dan pengutamaan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Sudah banyak koreksi-koreksi yang diberikan pada prinsip ini pada abad XX M.”
Syaikh Abul A’la Al Maududi dalam kitabnya Al Islam wa Al Madaniyah Al Haditsah halaman 36 mengatakan :
“Telah saya katakan sebelumnya bahwa pengertian demokrasi dalam peradaban moderen adalah memberikan wewenang membuat hukum kepada mayoritas rakyat (hakimiyah al jamahir). Artinya, individu-individu suatu negeri dapat secara bebas mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat dan bahwa undang-undang negeri ini mengikuti hawa nafsu mereka. Demikian juga tujuan dari pembentukan pemerintahan –dengan bantuan struktur organisasinya dan potensi-potensi materilnya— bukanlah untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan masyarakat, berkebalikan dengan apa yang seharusnya diwujudkan. Maka dari itu, kita menentang sistem sekuler yang nasionalistis-demokratis baik yang ditegakkan oleh orang-orang Barat maupun Timur, muslim ataupun non muslim. Setiap kali bencana ini turun dan di mana pun dia ada, maka kita akan mencoba untuk menyadarkan hamba-hamba Allah akan bahayanya yang besar dan akan mengajak mereka untuk memeranginya.”
Salah satu ‘ulama gerakan Islam FIS (Front Islamic du Salut) pengarang buku Ad Damghah Al Qawwiyah li Nasfi Aqidah Ad Dimuqrathiyah . di dalam buku itu dengan sangat jelas beliau menggambarkan ide kufur demokrasi. Beliau mengatakab bahwa STANDAR KEBENARAN DEMOKRASI : SUARA MAYORITAS padahal di dalam Islam Kebenaran Tidak Ditentukan Oleh Banyaknya Pelakunya, Tetapi Oleh Dalil-Dalil Syar’i.
 Kemudian ada Muhammad Yusuf Musa dalam kitabnya Nizham Al Hukm fi Al Islam halaman 245 berkata : “Sesungguhnya sistem pemerintahan Islam bukanlah sistem demokrasi, baik dalam pengertiannya menurut kaum Yunani kuno maupun dalam pengertiannya yang moderen.”
 Muhammad Asad dalam kitabnya Minhaj Al Islam fi Al Hukm halaman 52 mengatakan :
“Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
 Utsman Khalil berkata dalam kitab Ad Dimuqrathiyah Al Islamiyah halaman 8 :
“Sesungguhnya sistem-sistem demokrasi modern yang diimpor dari Barat, di negara-negara Barat sendiri dianggap sebagai hal baru yang diada-adakan pada abad ke-20 ini.”
 ‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy telah mengatakan dalam kitabnya Syura Laa Ad-Dimuqrathiyah halaman 103 :
“Dalam kehidupan dunia, kebenaran (pendapat) tidaklah diukur dan ditetapkan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi kebenaran itu harus diukur dan ditetapkan oleh kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan manhaj rabbani yang diturunkan dari langit. Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya (Al-Qur`an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS.Huud [11] : 17)
selanjutnya ‘Adnan ‘Aly Ridha An-Nahwy berkata :
 “Kebenaran bukan ditetapkan oleh suara mayoritas, sekalipun yang menang tersebut kaum muslimin. Juga, ukuran kebenaran bukan ditentukan oleh kongres atau parlemen yang mengacungkan dan menurunkan tangan berdasarkan hawa nafsu yang mengakibatkan kehancuran bangsa tersebut. Islam telah memiliki manhaj rabbani, satunya-satunya pelindung bagi manusia walau dalam keadaan berbeda dan saling silang pendapat.”

 Bahkan, orang-orang kafir penganut ide demokrasi di dinegara asalnya sana saja tidak meyakini ide kedaulatan demokrasi bisa diterapkan. Coba kita simak penuturan mereka :
Benjamin Constan berkata :
 ”Demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.”
 Barchmi berkata :
“Prinsip kedaulatan di tangan rakyat sebenarnya tidak pernah ada, yaitu bahwa kedaulatan rakyat dianggap selalu mewujudkan kebenaran dan keadilan. Paham ini mengklaim bahwa kekuasaan menjadi legal dengan melihat sumbernya. Atas dasar ini maka setiap aspirasi yang muncul dari kehendak rakyat, dianggap telah memenuhi parameter kebenaran dan keadilan. Aspirasi rakyat itu juga dianggap tak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi dari segi ini (memenuhi kebenaran dan keadilan-penerj.), bukan karena argumentasinya kuat, melainkan karena ia muncul dari kehendak rakyat. Jadi prinsip kedaulatan rakyat ini memberikan sifat maksum (mustahil keliru/dosa) kepada rakyat. Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat akan membawa rakyat (atau para wakilnya) berpeluang melahirkan kekuasaan absolut, yaitu kesewenang-wenangan (kediktatoran). Karena apabila kehendak rakyat dianggap kehendak yang legal hanya karena muncul dari rakyat, maka dengan demikian dari segi legislasi undang-undang, rakyat akan dapat berbuat apa saja. Jadi rakyat pada dasarnya tidak perlu lagi mendatangkan justifikasi-justifikasi terhadap apa yang diinginkannya.”
Dougey berkata :
”Sesungguhnya teori kedaulatan rakyat, meskipun ia adalah teori buatan, ia telah menjadi teori yang layak didukung andaikata ia dapat menafsirkan hakikat-hakikat dan fakta-fakta politik pada masa modern, dan andaikata hasil-hasilnya praktisnya cukup baik. Akan tetapi kenyataannya ternyata bertolak belakang dengan apa yang kita ramalkan.”
Orientalis Polandia bernama Boogena Giyanah Stchijfska mengatakan :
“Hukum-hukum positif buatan manusia yang lahir dari konsensus-konsensus demokratis tidaklah bersifat tetap. Teks-teksnya tidak membolehkan atau melarang sesuatu secara mutlak, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan tanggung jawab pribadi. Semua itu didasarkan pada kepentingan dan kebutuhan yang selalu berkembang. Padahal sudah diketahui bahwa kepentingan dan kebutuhan itu selalu berganti dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Bukan suatu hal yang aneh dalam sejarah hukum-hukum positif buatan manusia, bahwa hukum yang terakhir akan bertentangan dengan hukum yang pertama dalam rincian-rinciannya. Demikian pula yang dibenci dapat berubah menjadi disukai, yang dilarang dapat berubah menjadi boleh, dan yang ganjil dapat berubah menjadi wajar.”

Jadi, siapakah yang sebenarnya tidak faham? apaakh para pengusung dan pembela demokrasi itu belum sadar akan fakta dari sistem kufur demokrasi yang di buat olehy manusia tersebut? Wallahu A’lam.


Adi Victoria
Al_ikhwan1924@yahoo.com

Berterimakasih Pada Demokrasi ?

Alhamdulillah. Luar biasa! Allahu Akbar! Itulah kata yang mungkin paling pantas diucapkan melihat kesuksesan Konferensi Rajab 1432 H yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia di sepanjang bulan Juni lalu. 

Gelegar Konferensi dirasakan oleh paling sedikit 130 ribu umat Islam baik dari kalangan ulama, ustadz dan ustadzah, tokoh masyarakat, intelektual, pengusaha dan kalangan profesional, mahasiswa ataupun rakyat biasa yang mengikuti konferensi itu di 30 kota di seluruh Indonesia. Mereka tidak hanya tercerahkan oleh materi-materi orasi yang memang sangat argumentatif mengenai bagaimana Khilafah dengan syariahnya bakal menyejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali. Mereka juga tergugah untuk turut berjuang bersama HTI karena perjuangan untuk tegaknya syariah dan Khilafah memang merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Dalam konferensi itu juga tertanam keyakinan yang sangat kokoh tentang kepastian tegaknya Khilafah, karena Khilafah adalah wa’dulLah (janji Allah). Maka dari itu, siapapun yang hadir dalam konferensi itu dengan hati yang ikhlas dan pikiran yang terbuka pasti akan larut dalam gelegak suasana perjuangan yang membuncah.
Namun, bagi kalangan liberal, semua sukses itu hanya berarti satu kata: HTI harus makin berterima kasih pada demokrasi.
Menurut mereka, berkat demokrasilah Hizbut Tahrir di Indonesia kini bebas beraktivitas, menerbitkan banyak media, termasuk menyelenggarakan berbagai even-even kolosal seperti Konferensi Khilafah Internasional pada tahun 2007 dan Konferensi Rajab tahun ini.
++++
Diakui, Hizbut Tahrir memang tidak bisa bergerak bebas dan tumbuh berkembang di negara-negara totaliter seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania, Suriah dan negara Timur Tengah lain; terutama pada era sebelum revolusi yang baru lalu terjadi. Aktivitasnya dilarang dan banyak anggotanya yang dipenjara. Sebaliknya, Hizbut Tahrir justru berkembang di negara-negara yang jauh seperti di Indonesia terutama setelah era reformasi. Namun, menyatakan bahwa itu semua berkat jasa demokrasi, dan karenanya HT harus berterima kasih padanya adalah pernyataan yang serampangan.
Bila benar perkembangan pesat Hizbut Tahrir di Indonesia karena demokrasi, mestinya keadaan serupa terjadi di semua negara yang menganut paham demokrasi. Kenyataannya tidak demikian. Lihatlah bagaimana keadaan dakwah di negara-negara yang katanya demokratis itu. Di Inggris, misalnya, Hizbut Tahrir Britain (HTB) terus mendapat tekanan politik. Terakhir mereka bahkan mendapat kesulitan untuk penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional pada Juli lalu yang rencananya akan diikuti oleh 10.000 peserta dari 40 negara. Pasalnya, semua tempat dipaksa untuk menolak begitu tahu yang bakal menyewa adalah HTB. Di Denmark, Jerman dan sejumlah negara Eropa yang ngakunya negara demokratis, Hizbut Tahrir malah dilarang. Hizbut Tahrir Amerika Serikat tahun lalu juga gagal menyelenggarakan konferensi Khilafah karena mendapat tekanan serupa. 
Keadaan kurang lebih sama terjadi di kawasan Asia Selatan. Di India, Bangladesh dan Pakistan, yang juga dianggap negara-negara demokratis, Hizbut Tahrir tidak bebas bergerak. Di Bangladesh dilarang. Beberapa aktivisnya, termasuk Jurubicara HT Bangladesh, Prof. Mohiuddin Ahmed, hingga sekarang masih di dalam penjara tanpa pengadilan. Di Turki, negeri Muslim yang sering dipuja-puja sebagai yang paling demokratis, ratusan anggota HT Turki dipenjara tanpa pernah diadili. Beberapa di antaranya ditangkap begitu mendarat di Ankara sepulang dari Jakarta mengikuti Muktamar Ulama Nasional tahun 2009 lalu dengan tuduhan turut dalam pertemuan mempersiapkan kegiatan terorisme. 
Keadaan buruk di negara-negara yang disebut demokratis bukan hanya menimpa Hizbut Tahrir, tetapi juga umat Islam secara keseluruhan. Lihatlah, bagaimana pemerintah Swiss memberlakukan kebijakan larangan pembangunan menara masjid yang disahkan melalui referendum pada tahun 2009. Pemerintah Prancis pun, mulai tahun 2011 ini resmi melarang burqa. Pakaian yang sejatinya dalam perspektif hak asasi manusia harus dianggap wajar karena merupakan ekspresi keyakinan beragama seseorang dan sama sekali tidak menimbulkan gangguan pada kehidupan publik, nyatanya justru dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. “Jilbab seluruh wajah adalah bendera sebuah ideologi sektarian dan mengancam kehormatan manusia,” kata ketua kelompok hak-hak wanita Prancis Ni Putes Ni Soumises, Sihem Habchi. 
Penindasan itu agaknya akan terus menyebar. Buktinya, undang-undang yang sama kini tengah dibahas di Belgia, Spanyol dan Italia. Bahkan Australia melalui sebuah RUU akhir tahun lalu juga berniat mengikuti kebijakan negara-negara Eropa dalam melarang jilbab. Bila RUU itu disahkan, orang-orang percaya bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menyerang dan menyakiti para perempuan yang memakai hijab.
Bukan hanya soal pakaian, penindasan juga ditunjukkan dengan tindakan diskriminatif terhadap Muslim di sana. Sebuah survei yang disponsori oleh Komisi Eropa yang hasilnya dirilis pada 26 November 2010 memperlihatkan sebagian besar umat Muslim yang tinggal di negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (UE) mengalami diskriminasi. Survei dilakukan oleh Eurobarometer melalui telepon kepada 4.000 Muslim dewasa yang tinggal di negara-negara UE. Dalam survei itu, responden diberi pertanyaan apakah pernah diperlakukan diskriminasi oleh non-Muslim. Hasilnya, 79 persen umat Islam itu mengaku pernah diperlakukan diskriminasi setidaknya satu kali.
Terakhir pemerintah Belanda melarang penyembelihan binatang secara syariah di tempat-tempat penyembelihan hewan karena tanpa dibius. Para anggota parlemen yang menyetujui ketentuan itu mengklaim bahwa cara penyembelihan menurut syariah Islam itu “tidak manusiawi”. Sebab, undang-undang Belanda mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan tidak sadar, agar tidak merasakan sakit atau ketakutan. Sebaliknya, aturan Islam mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan sadar. Larangan serupa sebelumnya sudah diberlakukan juga di Selandia Baru, negara-negara Skandinavia dan Swiss.
++++
Jadi, haruskah HTI berterima kasih pada demokrasi? Ingat, kebebasan beraktivitas yang diperoleh oleh HTI adalah hak setiap Muslim, yakni untuk melaksanakan kewajiban dakwah. Hak ini harus dilindungi. Ini bukan pemberian siapa-siapa. Bahkan sebaliknya, siapa saja yang telah atau hendak merampas hak ini berarti telah berbuat dosa karena menghalangi jalan dakwah. Oleh karena itu, HTI tidak merasa harus berterima kasih pada siapa pun, apalagi pada demokrasi. 
Kalaulah kita harus berterima kasih, tentu tidak lain kepada Allah SWT, bukan pada demokrasi yang justru mengingkari kekuasaan Allah dalam penetapan hukum. Ucap terima kasih yang sama semestinya juga harus dilakukan oleh kalangan liberal, juga manusia lain, siapapun dia. Karena atas berkat rahmat Allahlah mereka hidup, menghirup udara segar, berjalan dan berbicara serta mengenyam segala nikmat. Dengan semua nikmat yang telah mereka reguk itu, sungguh sangat tidak pantas mereka malah menyanjung-nyanjung demokrasi, sementara kekuasaan Allah SWT mereka lecehkan!! []

Bolehkah Menasehati Penguasa Di Tempat Umum, Baik Secara Langsung Maupun Dengan Demonstrasi?

Nasehat adalah hak setiap orang, mulai dari rakyat jelata hingga para penguasa. Artinya, mereka mempunyai hak untuk dinasehati, dan sebaliknya menjadi kewajiban bagi setiap orang Mukallaf, tatkala menyaksikan kemungkaran atau kezaliman yang dilakukan oleh orang lain; baik pelakunya penguasa maupun rakyat jelata. Inilah yang dinyatakan dalam hadits Nabi:

الدِّينُالنَّصِيحَةُلِلَّهِوَلِرَسُولِهِوَلأَئِمَّةِالْمُسْلِمِينَوَعَامَّتِهِمْ


Agama adalah nasehat, untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan orang-orang awam.” (H.r. al-Bukhari dan Muslim)


Karena itu, nasehat sebagai upaya mengubah perilaku munkar atau zalim orang lain —baik penguasa maupun rakyat jelata— sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah bi al-lisan (melalui lisan maupun tulisan), sebagaimana sabda Nabi:

مَنْرَأَىمِنْكُمْمُنْكَرًافَلْيُغَيِّرْهُبِيَدِهِفَإِنْلَمْيَسْتَطِعْفَبِلِسَانِهِ

Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka hendaknya dengan lisannya.” (H.r. Muslim)

Inilah yang dilakukan oleh para ulama Salaf as-Shalih terdahulu, seperti Abdullah bin Yahya an-Nawawi kepada Sultan Badruddin. Dalam Tahdzib al-Asma’, karya Abu Yahya Muhyiddin bin Hazzam disebutkan, tatkala Abdullah bin Yahya an-Nawawi mengirim surat kepada Sultan Badruddin, dan baginda menjawab suratnya dengan marah dan nada ancaman, ulama’ ini pun menulis surat kembali kepada baginda, “Bagiku, ancaman itu tidak akan mengancam diriku sedikitpun. Akupun tidak akan mempedulikannya, dan upaya tersebut tidak akan menghalangiku untuk menasehati Sultan. Karena saya berkeyakinan, bahwa ini adalah ke-wajibanku dan orang lain, selain aku. Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari kewajiban ini merupakan kebaikan dan tambahan kebajikan.”[1]

Adapun jenis kemungkaran yang hendak diubah, dilihat dari aspek bagaimana pelakunya melakukan kemungkaran tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua:

Pertama, kemungkaran yang dilakukan secara diam-diam, rahasia dan pelakunya berusaha merahasiakannya;

Kedua, kemungkaran yang dilakukan secara terbuka, demonstratif dan pelakunya tidak berusaha untuk merahasiakannya, justru sebaliknya.

Jenis kemungkaran yang pertama, dan bagaimana cara mengubah kemungkaran tersebut dari pelakunya, tentu berbeda dengan kemunkaran yang kedua. Orang yang tahu perkara tersebut hendaknya menasehatinya secara diam-diam, dan kemungkaran yang dilakukannya pun tidak boleh dibongkar di depan umum. Sebaliknya, justru wajib ditutupi oleh orang yang mengetahuinya. Nabi bersabda:

مَنْسَتَرَعَوْرَةًفَكَأَنَّمَااِسْتَحْيَامَوْءُوْدَةًمِنْقَبْرِهَا



Siapa saja yang menutupi satu aib, maka (pahalanya) seolah-olah sama dengan menghidupkan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup dari kuburnya.” (H.r. Ibn Hibban)

Berbeda dengan jenis kemungkaran yang kedua, yaitu kemungkaran yang dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan. Dalam kasus seperti ini, pelaku kemungkaran tersebut sama saja dengan menelanjangi dirinya sendiri dengan kemungkaran yang dilakukannya. Untuk menyikapi jenis kemungkaran yang kedua ini, sikap orang Muslim terhadapnya dapat dipilah menjadi dua:

1. Jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut pengaruhnya terbatas pada individu pelakunya, dan tidak mempengaruhi publik, maka kemaksiatan atau kemungkaran seperti ini tidak boleh dibahas atau dijadikan perbincangan. Tujuannya agar kemungkaran tersebut tidak merusak pikiran dan perasaan kaum Muslim, dan untuk menjaga lisan mereka dari perkara yang sia-sia. Kecuali, jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut diungkapkan untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya orang fasik yang melakukan kemaksiatan tersebut. Maka, pengungkapan seperti ini boleh.
2. Jika kemaksiatan atau kemungkaran tersebut pengaruhnya tidak terbatas pada individu pelakunya, sebaliknya telah mempengaruhi publik, misalnya seperti kemungkaran yang dilakukan oleh sebuah institusi, baik negara, organisasi, kelompok atau komunitas tertentu, maka kemaksiatan atau kemungkaran seperti ini justru wajib dibongkar dan diungkapkan kepada publik agar mereka mengetahui bahayanya untuk dijauhi dan ditinggalkan supaya mereka terhindar dari bahaya tersebut. Inilah yang biasanya disebut kasyf al-khuthath wa al-mu’amarah (membongkar rancangan dan konspirasi jahat) atau kasyf al-munkarat (membongkar kemungkaran).


Ini didasarkan pada sebuah hadits Zaid bin al-Arqam yang menga-takan, “Ketika aku dalam suatu peperangan, aku mendengar Abdullah bin ‘Ubay bin Salul berkata: ‘Janganlah kalian membelanjakan (harta kalian) kepada orang-orang yang berada di sekitar Rasulullah, agar mereka meninggal-kannya. Kalau kita nanti sudah kembali ke Madinah, pasti orang yang lebih mulia di antara kita akan mengusir yang lebih hina. Aku pun menceritakannya kepada pamanku atau ‘Umar, lalu beliau menceritakan-nya kepada Nabi saw. Beliau saw. pun memanggilku, dan aku pun menceritakannya kepada beliau.” [2]


Apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay, dan diketahui oleh Zaid bin al-Arqam, kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw. adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang membahayakan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, bukan hanya diri pelakunya. Abdullah bin Ubay sendiri ketika ditanya, dia mengelak tindakannya, yang berarti masuk kategori perbuatan yang ingin dirahasiakan oleh pelakunya, tetapi tindakan Zaid bin al-Arqam yang membongkar ihwal dan rahasia Abdullah bin Ubay tersebut ternyata dibenarkan oleh Nabi. Padahal, seharusnya tindakan memata-matai dan membongkar rahasia orang lain hukum asalnya tidak boleh. Perubahan status dari larangan menjadi boleh ini menjadi indikasi, bahwa hukum membeberkan dan membongkar rahasia seperti ini wajib, karena dampak bahayanya bersifat umum.[3]

Karena itu, tindakan mengkritik kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa, baik secara langsung ketika berada di hadapannya maupun tidak langsung, misalnya melalui tulisan, demonstrasi atau masirah, bukan saja boleh secara syar’i tetapi wajib.[4] Kewajiban ini bahkan pahalanya dinyatakan sebanding dengan pahala penghulu syuhada’, yaitu Hamzah bin Abdul Muthallib, seperti dalam hadits Nabi:

سَيِّدُالشُّهَدَاءِحَمْزَةُبْنُعَبْدِالمُطَلِّبِوَرَجُلٌقَالَإِلَىإِمَامٍجَائِرٍفَأَمَرَهُوَنَهَاهُفَقَتَلَهُ


Penghulu syuhada’ adalah Hamzah bin Abdul Muthallib, dan orang yang berkata di hadapan seorang penguasa yang zalim, lalu dia memerintahkannya (pada kemakrufan) dan melarangnya (terhadap kemunkaran), kemudian penguasa itu membunuhnya.” (H.r. al-Hakim)

Apa yang dilakukan oleh para sahabat terhadap ‘Umar dalam kasus pembatasan mahar, pembagian tanah Kharaj, hingga kain secara terbuka di depan publik adalah bukti kebolehan tindakan ini. Adapun pernyataan ‘Irbadh bin Ghanam yang menyatakan, “Siapa saja yang hendak menasehati seorang penguasa, maka dia tidak boleh mengemukakannya secara terbuka, tetapi hendaknya menarik tangannya dan menyendiri. Jika dia menerimanya, maka itu kebaikan baginya, dan jika tidak, pada dasarnya dia telah menunaikannya.” [5] pada dasarnya tidak menunjukkan adanya larangan mengkritik atau menasehati penguasa di depan publik, tetapi hanya menjelaskan salah satu cara (uslub) saja.



Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa menasehati penguasa atau mengkritik kebijakan penguasa yang zalim, termasuk membongkar kemunkaran atau konspirasi jahat terhadap Islam dan kaum Muslim hukumnya wajib, hanya saja cara (uslub)-nya bisa beragam; bisa dilakukan langsung, dengan bertemu face to face, atau secara tidak langsung, dengan melalui tulisan, surat, demonstrasi atau masirah. Melakukan upaya dengan lisan, termasuk melalui tulisan, seperti surat terbuka, buletin, majalah, atau yang lain, baik langsung maupun tidak jelas lebih baik, ketimbang upaya bi al-qalb (dengan memendam ketidaksukaan), apalagi jika tidak melakukan apa-apa, sementara terus mengkritik orang lain yang telah melakukannya. Faliyadzu billah.

(KH. Hafidz Abdurrahman)

(Footnotes)

1. H.r. al-Bukhari dan Muslim, Shahihayn, hadits no. 4520 dan 4976.
2. Ibn Hazzam, Tahdzib al-Asma’, Dar al-Fikr, Beirut, cet. Pertama, 1996, juz I, hal. 22.
3. Hizbut Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. Pertama, 2004, hal. 112-113.
4. Meski sebagai cara (uslub) menyampaikan pendapat, tulisan, demonstrasi atau masirah tersebut statusnya tetap mubah, dan tidak berubah menjadi wajib. Yang wajib adalah menyampaikan nasehat dan kritik terhadap kebijakan zalim atau munkar yang dilakukan oleh penguasa.
5. Abu Syuja’, al-Firdaus min Ma’tsur al-Khaththab,