Selasa, 10 Mei 2011

DAULAH KHILAFAH: METODE PENERAPAN SYARIAT


Pendahuluan
Sebagai konsekuensi keimanannya kepada Allah Swt., seorang muslim wajib terikat pada syariat Islam. Karena itu, syariat Islam harus diterapkan pada semua lini kehidupan, baik dalam konteks kehidupan pribadi, kelompok, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semestinya tidak perlu lagi diperdebatkan  mengingat semua itu merupakan perkara yang telah jelas kewajibannya dalam agama Islam (ma’lumun mina al-dini bi adh-dharurah). Bahkan, sejatinya perwujudan utama dari misi hidup seorang muslim beribadah kepada Allah adalah dengan sebaik-baiknya menjalankan syariat, baik dalam ibadah, akhlak, makanan-minuman, pakaian, maupun dalam muamalah dan dakwah. Di samping itu, sejatinya pula   berdirinya sebuah negara dengan segenap struktur dan kewenangannya dalam pandangan Islam agar tetap dalam konteks ibadah, dan tidak lain adalah untuk menyukseskan penerapan syariat itu. 
Dengan demikian,  perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di mana pun, termasuk di negeri ini jelas sangatlah penting.  Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan akidah Islam. Secara faktual, dalam konteks Indonesia, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah Sosialisme hancur dan Kapitalisme terbukti makin loyo? Juga secara operasional, pemberlakuan  syariat Islam kiranya akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas pendudukan negeri ini yang muslim. Bila itu bisa diwujudkan, maka gagasan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi bagian dari ibadah setiap muslim, akan dapat diwujudkan pula secara nyata. 

Pilar Penegakan Syariat

      Secara faktual, penegakan syariat memerlukan tiga pilar, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan kewenangan negara. Untuk mewujudkan penerapan syariat secara optimal diperlukan ketiga pilar itu sekaligus. Tidak bisa hanya salah satu atau salah dua saja.  Ketakwaan individu adalah pilar dasar. Dari sinilah, dorongan  penerapan syariat Islam berasal. Individu  yang bertakwa adalah muslim yang dengan dorongan imannya tunduk kepada syariat. Kemudian, ia akan melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, baik di saat sendiri maupun ketika bersama orang lain. Ia menyadari bahwa  dengan melaksanakan syariat, misi hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt. dapat diwujudkan secara nyata. Dengan itu pula, ia bisa mengharapkan keridhaan Allah, ampunan,  pertolongan, serta kebaikan  hidup di dunia dan akhirat. Bila ada yang paling ditakuti, maka itu adalah murka Allah. Selain itu, bila ada yang paling diingini, maka itu adalah ampunan dan keridhaan-Nya. Bagi orang yang bertakwa, melaksanakan syariat sama sekali tidak dirasakan sebagai beban. Justru sebaliknya, ia akan merasa amat berat bila harus meninggalkan syariat. Dengan melaksanakan syariat, ia merasakan kelezatan dan kenikmatan. Sebaliknya, meninggalkan syariat merupakan siksakan yang terasa getir, pahit dan menyiksa. Tentu, orang seperti ini  akan menjemput syariat dengan penuh rasa gembira, bukan malah lari meninggalkannya, sebagaimana tampak pada seorang wanita, al-Ghamidiyah dan seorang lelaki bernama Maiz bin Malik al-Aslami.
Dengan dorongan ketakwaannya,  al-Ghamidiyah  datang kepada Rasul menyatakan penyesalannya atas perbuatan maksiatnya di masa lalu dan karenanya ia meminta untuk dirajam. “Tahhirniy (sucikan aku), ya Rasulallah”, serunya kepada Nabi.  Untuk meyakinkan, al-Ghamidiyah menunjukkan kehamilannya. Rasul yang semula kurang percaya, akhirnya meminta al-Ghamidiyah datang setelah melahirkan. Benar, setelah melahirkan al-Ghamidiyah datang membawa bayi. Namun, hukuman tidak langsung dilakukan, Rasul meminta al-Ghamidiyah menyelesaikan susuannya. Kira-kira dua tahun kemudian, al-Ghamidiyah datang lagi kepada Rasul seraya menggandeng anak kecil yang sudah bisa berjalan dan memakan roti. Barulah Rasul benar-benar melaksanakan hukuman rajam. Jadi praktis, al-Ghamidiyah harus menunggu hampir 3 tahun dengan penuh kesabaran untuk hukuman itu, seolah menunggu berkat besar yang akan diterimanya. Ketika mendengar ucapan sahabat yang kurang pantas akibat terciprat darah al-Ghamidiyah saat dirajam, Rasul menasihati untuk tidak mengatakan yang demikian, seraya mengatakan, “qad tabat taubatan law qusimat bayna sab’ina min  ahli madinah lawasa’athum”!
Demikian pula dengan Maiz bin Malik al-Aslami, bahkan untuk meyakinkan Rasul, ia sampai bersumpah empat kali. Untuk memastikan, Rasul menanyai Maiz berulang-ulang, “Tahukah engkau apa itu zina? Apakah yang kau lakukan seperti memasukkan celak ke dalam tempatnya? Apakah yang kau lakukan seperti memasukkan anak timba ke dalam sumur?” Semua dijawab dengan anggukan, “ya”. Heran dengan kekukuhan Maiz meminta untuk dirajam, Nabi bertanya menyelidik, “ma dza turid bi hadza al-qaul?”, yang dijawab Maiz dengan “uridu an tutahhiraniy (aku ingin engkau menyucikan aku)”.
Maiz dan al-Ghamidiyah ngotot menyongsong hukuman rajam, bukan menghindari. Sebenarnya banyak peluang yang mereka bisa ambil untuk menghindari hukuman itu (seperti kata shahabat  kepada Maiz andai ia bersumpah tiga kali saja, tentu ia tidak perlu dirajam) atau melarikan diri (al-Ghamidiyah punya kesempatan tiga tahun), tapi semua tidak mereka lakukan, karena yakin hanya dengan cara seperti itu (melaksanakan syariat rajam) sajalah mereka terbebas dari hukuman yang lebih berat di akhirat nanti.
Demikianlah ketakwaan mendorong seseorang untuk tunduk pada syariat dengan penuh kerelaan. Sementara itu, kontrol masyarakat  hanya mungkin lahir dari individu-individu yang bertakwa, demikian pula lahirnya negara yang menerapkan syariat juga berawal dari dorongan individu yang bertakwa. Akan tetapi, takwa individu saja tidak cukup karena  tanpa kontrol dari masyarakat bisa saja individu yang semula taat pada syariat, karena berbagai faktor dengan mudah  melakukan maksiat.
Kontrol masyarakat timbul dari semangat amar makruf nahi munkar, yakni  keinginan agar  orang lain  juga bersedia tunduk pada syariat dan terhindar dari maksiat. Salah satu ciri keimanan seorang muslim memang adalah adanya keinginan pada orang itu agar orang lain merasakan kebaikan sebagaimana yang dirasakannya. Tegasnya, kontrol masyarakat sesungguhnya berpangkal pada cinta dan rasa solidaritas pada sesama.  Dengan   kontrol dari masyarakat, orang yang akan melanggar syariat tidak mungkin dapat melakukannya secara leluasa.  Apalagi kontrol masyarakat tersebut bukan semata lahir dari kepentingan pribadi, melainkan mewujud dari akidah.  Allah Swt. dalam banyak ayat menunjukkan bahwa salah satu ciri orang beriman adalah senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar.  Secara spesifik Allah Swt. menegaskan:

﴿وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
Hendaklah ada sekelompok umat di antara kalian yang mendakwahkan kebaikan (Islam), beramar makruf dan melakukan nahi munkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung(TQS Ali ‘Imrân [3]:104).

Sementara itu,  dalam kehidupan jahiliah di mana syariat  tidak diterapkan, individu yang bertakwa menjadi berat melaksanakan syariat, merasa asing, dan mengalami godaan terus-menerus untuk meninggalkan syariat. Di sisi lain,  dalam kehidupan seperti itu, justru orang yang tidak bertakwa bisa hidup leluasa, bebas, serta seolah mendapatkan dukungan dari lingkungan dan negara untuk mengabaikan syariat. Bahkan, amat sering terjadi, negara jahiliah justru memerangi muslim yang bertakwa yang berusaha mengamalkan syariat, sebagaimana pernah terjadi pada kasus jilbab dan sebagainya.
Secara individual sekarang pun tidak terlalu sulit untuk melaksanakan syariat Islam.  Shalat, shaum, berbakti pada orang tua, dan yang lainnya dapat dilaksanakan.  Namun, ketika negara tidak menerapkan syariat Islam, tidak dapat dikondisikan setiap orang untuk shalat, penuh ketaatan menunaikan shaum, dan penuh kesadaran berbakti kepada orang tua.  Orang dapat saja menghindarkan diri dari riba, tapi tidak dapat melenyapkan riba dari kehidupan masyarakat tanpa adanya peran negara.  Begitu pula, seseorang dapat menghindari untuk tidak mengelola sumber daya alam milik umum, seperti listrik, air, laut, dan barang tambang.  Namun, tanpa negara yang menerapkan syariat Islam tidak ada yang dapat menghentikan privatisasi barang-barang milik rakyat tersebut kepada swasta, baik lokal maupun asing.  Begitu pula dalam persoalan lainnya. Di sinilah peran negara dalam menerapkan syariat Islam.  Demikian pulalah yang dicontohkan Rasulullah saw., dengan membentuk masyarakat atas dasar Islam di Madinah melalui ditegakkannya Negara di sana.
Berdasarkan hal tersebut, agar dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah haruslah diwujudkan individu-individu yang takwa.  Bukan sekadar individu-individu yang saleh secara pribadi, melainkan juga berupaya untuk membuat saleh orang lain (mushlih), serta bersama-sama mewujudkan kehidupan Islam dalam rangka membentuk individu-individu saleh tadi.  Tidak sekadar itu, wajib diwujudkan pula masyarakat yang terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar.  Tanpa hal itu, kontrol sosial tidak akan terlaksana.  Last but not least, setiap komponen umat Islam berjuang bersama mewujudkan kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah.
Tampaklah, secara internal setiap individu--karena ketakwaannya--selalu menerapkan syariat Islam, masyarakat pun saling memberi kontrol antarsesamanya, serta negara menerapkan aturan-aturan Islam dalam mengurusi berbagai kepentingan masyarakat, termasuk memberikan sanksi kepada siapa pun yang melanggar aturan tersebut.  Bila negara melakukan kezaliman, maka rakyat, baik secara individual maupun kolektif melakukan koreksi (muhâsabah) kepada penguasanya.  Dengan demikian, syariat Islam itu akan dilakukan oleh tiga komponen, yaitu individu, masyarakat kolektif, serta negara.  Penjagaan kelestarian penerapan syariat Islam pun dijaga oleh setiap komponen tersebut.  Hal ini ditunjukkan dengan adanya fungsi kontrol dari setiap komponen.  Konsekuensi dari metode penerapan Islam seperti ini adalah terlaksananya penerapan Islam secara lestari di tengah-tengah masyarakat.  Secara ringkas hal ini dapat digambarkan dalam bagan berikut.

 



1 komentar: